KUTULISKAN
PERMOHONANKU PADA...
Tahun ini adalah awal ajaran baru untukku. Ya, tahun ini
aku menjadi seorang siswi Sekolah Menengah Atas. Menyenangkan memang, tapi
sepertinya gaya hidupku akan berubah 180° dari sebelumnya. Gaya bermalas-malasan, rajin bermain dan segala sesuatu
yang menjadi hobbbyku semasa SMP harus aku tinggalkan. Jika sekarang aku masih
berkubang dalam kebiasaan iu, pasti aku sudah menjadi langganan guru BK di
sekolahku kini.
3 tahun lalu aku memang menjadi orang bodoh tak
berguna karena kemalasanku, bahkan dalam urusan cinta. Cinta? Oh tidak, bahkan
aku belum merasakan cinta pada seseorang. Tak lazim memang, tapi itulah yang
aku rasakan. Aku tidak terlalu memperdulikan soal cinta, tapi kini aku mencoba
mencari cinta. Hmm, mungkin cinta ini dibarengi dengan prestasi.
Sudah berapa lama kau melamun, Alissa? Oh tidak,
kebiasaan ini selalu terulang, melamun ketika terbangun dari tidurku. “Jam
berapa sekarang?” tanyaku dalam hati lalu bergegas melihat jam kecil yang
berada di atas meja samping tempat tidurku.
“Sudah rusak jam ini,” ucapku sembari tertawa masam.
“Hey kau jam, baru saja aku ganti batumu dengan yang baru, tapi mengapa malah
membohongiku sekarang?!” seruku seperti orang tak waras. “Apakah kau tidak akan
sekolah kakakku yang manis?”. Terdengar suara adikku dibalik pintu. Seperti
berada di angan-angan, aku seakan tak memperdulikan kata-kata yang terdengar
selintas itu. “Jam tanganku sudah menunjukan pukul 06.40, hari ini adalah hari
MOS di sekolah barumu, bukan?”
MOS? Oh tidaaaak!!! Aku lupa! Bagaimana bisa?
Serentak aku menuju kamar mandi yang berada di kamarku. “Bodohnya dirimu Al
sampai-sampai hal yang begini saja kau lupa!” gerutuku sambil memukul kepalaku
berkali-kali.
Hanya menghabiskan waktu 5 menit untuk mandi. Mandi
koboy? Apakah bisa dikatakan seperti itu? Tentu!
“Ibu, mengapa kau tak
membangunkanku sejak pagi?” tanyaku kesal ketika turun dari kamarku sambil
berlari ke ruang makan.
“Apakah kau tidak
memiliki telinga? Ibu telah membangunkanmu pagi-pagi buta!” seru adikku
memotong.
Ada hak apa gadis ingusan itu menjawab pertanyaaanku
yang sebenarnya bukan untuknya? Tak sopan. “Aku tak bicara padamu anak
ingusaaaan!” ejekku cepat. “Hey hey, kalian itu setiap pagi kerjaannya ribut
saja. Sudah diam,” terdengar suara ibuku menengahi. “Ibu tadi sudah coba
membangunkanmu Alissa, tapi kau tidak menyahut,” lanjutnya. “Ah aku tak
dengar,” ujarku singkat.
06.55...
“Oh Tuhan! Sial sekali
hari ini,” seruku lantang. “Ibu aku buru-buru, aku pergi dulu,” pamitku pada
ibu lalu bergegas pergi. “Kau tidak akan berangkat bersama adikmu?” terdengar
suara ibu ketika aku sudah berjalan menjauh dari rumah. “Berangkat bersama
bagaimana? Dia kan masuk pukul 07.30, sedangkan aku 5 menit lagi akan masuk,”
gerutuku dalam hati.
Menit demi menit pun berlalu mengantarku pada gerbang
sekolah. Terlihat satpam sekolah berhiaskan kumis lebatnya telah memandangiku
dari kejauhan tepat saat aku turun dari taksi.
“Tolong buka gerbangnya
Pak,” mohonku sambil mengatur nafas. Ya, ketika itu aku tengah berlari demi
menggapai pintu gerbang. Satpam itu menatapku tajam, “Kau tahu anak manis?
Sekarang pukul berapa?” tanyanya padaku. Berpaling ke jam tangan,” Jamku rusak
Pak ,” jawabku sambil tersenyum cemas. Bagaimana tidak cemas? Aku telah
berbohong. “Sekarang jam 07.15 dan sekarang kau tidak bisa masuk anak manis..”
ujar satpam itu sekali lagi. Mataku terbelalak, “A-apa? Tapi hari ini hari
MOS-ku pak!”. “Tetap tidak bisa, kau terlalu siang untuk datang ke sekolah
ini,” katanya mengubah mimik mukanya menjadi sangar.
“Buka gerbangnya, Pak..”
Aku tak merasa telah berkata seperti itu. Lalu itu
suara siapa? Dalam satu kedipan mata aku langsung mengalihkan pandanganku pada
sumber suara itu. “A-a-a “ terdengar pita suaraku menjadi terputus-putus.
“Revan? Tapi anak ini sudah telat, Nak..” terdengar satpam itu berceloteh.
“Biarkan dia masuk Pak. Nanti aku yang akan tanggung jawab,” sahut lelaki itu
dingin.
Siapa dia? Apakah dia kakak kelas? Ya, sepertinya.
Lalu mengapa ia begitu baik padaku? “Hmm tampan, ah mungkin hanya menjadi trik
belaka untuk menarik perhatian siswa baru,” ujarku dalam hati lalu bersuara
ketika ia menatapku, “O-oh terima kasih kak.” Terlihat lelaki itu hanya
mengedipkan kedua matanya yang menandakan berkata sama-sama.
Aku berjalan menyusuri koridor kelas untuk mencari
kelasku, hingga pada akhirnya “Ketemu!!!” Aku mencoba mengetuk pintu kelas lalu
“Permisi..” aku menatap ke seisi kelas, tak kusangka lelaki itu tampak lagi
dipandanganku. “Ma-maaf kak, aku terlambat..” ujarku terbata-bata karena perasaan
shock. Terdengar suara bising kelas berisi cibiran atas diriku pun sampai di
telingaku. Aku mencoba tak memperdulikan seruan mereka. “Kau dihukum!”
tiba-tiba saja terdengar ditelingaku kata-kata yang berasal dari kakak kelas
itu. “Kak, apakah kau bisa mendengar alasan keterlambatanku?” tanyaku memasang
wajah melas. “Lalu setelah kau menjelaskan, kau akan meminta maaf lagi bukan?
Dan memohon untuk dimaafkan?” sela salah satu dari kakak kelas itu lagi. Aku
terdiam. “Cepat letakkan tasmu dan berdiri dibawah tiang bendera! Beri hormat
jangan lupa!” lanjutnya meninggikan suara. “Baik kak,” jawabku murung.
Terdengar suara bel dari salah satu ruangan. Suara
apa itu? Apakah bel tanda waktu pulang? Semua siswa terlihat pergi meninggalkan
kelasnya. Ah ternyata bukan, ternyata mereka menuju salah satu pusat jajanan
sekolah. Kantin. Lalu, apakah hukumanku sudah berakhir?
“hei, kau ingin minum
anak baru?” seru salah seorang kakak kelas yang tadi berada di kelasku
menghampiriku. Aku mengangguk. “Kasihan... tapi masa hukumanmu belum berakhir,”
ejek kakak kelas itu sambil tertawa sinis.
Satu jam berlalu, terik matahari semakin membakar
tubuhku. Aku baru ingat, tadi pagi aku belum sempat sarapan. Hanya sesuap nasi
mungkin yang aku lahap. Oh tuhan, pantas saja perutku berdemo. Hingga pada
akhirnya...
Putih, apakah itu kabut?
Oh bukan itu bukan kabut, bahak itu tidaklah berwarna putih, tapi hitam, ya,
hitam...
“Kau sudah siuman?”
terdengar suara seorang lelaki yang sudah tak asing lagi ku dengar sebelumnya. Baru
akan membuka mulut untuk menanggapi kata-katanya, “Maafkan teman-temanku tadi
yang menghukummu,” selanya lalu melanjutkan “Mereka hanya mengerjaimu..” Aku
tersenyum, “Tidak apa-apa Kak. Ohya, kakak?” tanyaku tak nyambung. “Oh aku
Revan,” sahutnya cepat seakan mengerti apa yang ku maksud. “Oh, aku alissa Kak.
Terimakasih atas bantuannya,” ujarku kembali memberikan ia senyuman manis.
Bantuan? Bantuan apa memang? Oh tidak!
Lagi-lagi aku berkata ngawur. “Ya, sama-sama Al. Mmm, kalau kau merasa baikan
segeralah masuk kelas,” ujarnya lalu melanjutkan “tapi, kalau kau masing pusing
tetaplah disini.” Mengapa begitu perhatian?” tanyaku dalam hati. “Oh ya Kak,
aku mengerti,” sahutku cepat.
Hari yang melelahkan. Sampai-sampai adegan drama pun
aku lakukan hari ini. Sungguh diluar dugaan sebelumnya. Akan tetapi, terlintas
dibenakku sosok laki-laki itu. Kak Revan? Hmm, malaikat penolong, bahkan dia
sudah menolongku dua kali dalam sehari ini..
***
“Alissa, kau sdenag membuat apa?”
Aku tersentak dengan
suara itu, oh ternyata Namira. Aku langsung tersenyum tetapi tetap fokus pada
sesuatu di tanganku, “Aku sedang membuat origami burung bangau.” Dia terlihat
kebingungan, “Burung bangau? Apakah kau sedang menginginkan sesuatu?” tanyanya.
“Sesuatu? Oh tentu tidak, aku hanya sedang ingin membuatnya,” ujarku sembari
tertawa kecil.
Origami ini memang
selalu bermakna pembuatnya sedang menginginkan sesuatu, karena ketika seseorang
mambuat 100 buah origami ini, maka permintaannya akan terkabul. Klasik memang,
tetapi mitos ini berasal dari Jepang dan mereka masih mempercayainya.
Aku memalingkan wajahku
ke jendela kelas, tak sengaja seseorang melintasi bola mataku. Aku mencoba
berkedip. Siapa itu? Tak ku sangka itu Kak Revan. Ia kembali muncul dihadapanku
setelah terakhir bertemu itu ketika aku tak sadarkan diri saat “hukuman itu”
berlangsung. Tak kusadari bibirku berubah menjadi sedikit melebar.
“Hey Al, mengapa
senyam-senyum sendiri?” lagi-lagi Namira mengagetkan. Oh Tuhan, mengapa ada
yang mengganggu saat-saat seperti ini?! “A-ah tidak. Aku hanya sedang
berfikir,” sahutku sambil menggaruk-garuk kepala. Namira mengerutkan alisnya,
pikirnya mana ada orang waras berfikir sembari senyam-senyum sendiri, aku hanya
bisa tertawa masam.
—
Entah mengapa ketika sampai dirumah, bayangan itu
tidaklah hilang. Ya, Kak Revan. Dia terus menerus hinggap di fikiranku. Sempat
terlintas bahwa ia begitu mirip dengan tokoh artis yang ku idolakan ―Mario
Maurer― meskipun tidak seratus persen. Apa aku telah jatuh cinta padanya? Ah
tidak. Tapi, aku memng tidak bisa membohongi perasaanku sendiri kali ini, aku
memang menyukainya...
“Kau sedang apa?”
Aku menoleh pada
namira,“Membuat origami lagi, tapi didalamnya aku selipkan tulisan permintaanku
dan pengharapanku,” “Untuk siapa?” tanyanya lagi. “Untuk Kak...eu...eu...”
jawabku gugup. “Kak siapa, Al?” tanya Namira meojokkan. “Apakah Kak...???”
tanyanya berlanjut. Aku menarik nafas panjang lalu dihembuskan sembari berkata,
“Sudah diam. Kau tak perlu tahu tentang ini.”
Tidak boleh ada yang tahu tentang ini, aku harus sebisa
mungkin menyembunyikan misi ini. Misi apa? Ini bukanlah sebuah perang gerilya
Alissa...
“Aku harus menaruhnya di
atas sepeda motor Kak Revan,” ujarku dalam hati.
Kupandangi lingkungan
sekitar, tidak ada seorang pun yang melihat, ayo lakukan,Al!!
“Hmm semoga kau menyimpannya,” harapku setelah
meletakkan origami bangau itu di sepeda motor Kak Revan.
Satu kali telah aku coba lakukan hal gila ini. Aku
harus melakukan hal itu seribu kali, butuh waktu berapa lama Tuhan? Apakah aku
harus membuat origami bangau bertuliskan “Saya suka kak Revan” di dalam
kertasnya seumur hidupku? Lalu kapan dia akan membacanya? Mungkin dia hanya
melihat bentuk origaminya dan tak melihat isi dalamnya. “Uuuh aku telah
berfikir apa sih?” ujarku sembari menggeleng-geleng kepala. “Kau harus tetap
bersemangat melakukan hal ini Al, kau bahkan belum pernah memperjuangkan
cintamu. Untuk kali ini Kak Revan adalah satu-satunya lelaki yang membuatmu
berani melakukan hal konyol seperti ini, so GANBATE!!!” lanjutku tak lebih
untuk diri sendiri.
***
“Seribu!!!”
“Kau kenapa Al?” tanya salah seorang temanku. “A-a-a?
Oh tidak-tidak,” jawabku sambil tertawa seperti orang tak waras. Oh Tuhan, aku
telah membuat origami ini selama berminggu minggu. Melelahkan sekali tetapi apa
boleh buat, aku sudah bertekad.
Satu bulan dua bulan berlalu, baru sekitar 300
origami bangau yang telah aku berikan sembunyi-sembunyi pada Kak Revan. Hmm,
butuh waktu berapa lama lagi?
“Alissa!!!”
Siapa itu? Siapa yang
memanggilku? Sepertinya aku mengenali suara itu. Jangan-jangan itu....
“Kak Revan?!”
“Oh hai, sudah lama tak
bertemu,” sapanya ringan lalu melanjutkan, “Bagaimana sekolahmu? Apakah
menyenangkan menjadi anak SMA seperti ini?”
Suaranya seakan membuatku hanyut, aku bagaikan sedang
berada di suatu planet dan hanya suaranya lah yang aku dengar, sungguh lembut,
sungguh indah, sungguh....
“Hei!”
“A-a.. Oh maaf Kak,” kagetku
sambil menggaruk kepala. “Sangat menyenagkan Kak,” ujarku melanjutkan sambil
tersenyum manis. “Oh baguslah,” sahutnya. Aku melihat ia mengenggam sesuatu,
itu...itu kertas, tapi sepertinya bukan kertas biasa, apakah itu... “Al, apakah
kau tahu temanmu yang sering membuat origami seperti ini?” tanyanya tiba-tiba
dengan menyodorkan sesuatu ditangannya itu. “A-apa?” lagi-lagi aku kaget.
“Tidak Kak, aku tidak tahu.. Ma-maaf,” jawabku sangat gugup. Aku lihat dia
tersenyum seraya berkata, “Oh begitu, aku hanya merasa aneh, banyak sekali
origami ini yang dikirimkan untukku, sepertinya aku memiliki banyak pengagum
rahasia,” ucapnya tertawa kecil.
Pengagum rahasia? Iya memang betul, akulah pelakunya.
“Kau tak apa, Al?” suaranya kembali membangunkanku dari fikiran konyolku. “Oh
oh aku tidak apa-apa Kak,” sahutku. “Oh baiklah. Yasudah aku pergi dulu, sampai
bertemu lain waktu,” ujarnya sambil berlalu meninggalkanku.
Aku melihatnya punggungnya, lama kelamaan semakin
sulit untuk ku jangkau, benar saja, ia semakin jauh untuk ku perhatikan.
Percakapan singkat barusan membuatku tak kuat menahan rasa gembiraku. Sepanjang
hari aku tak pernah melewatkan wajah berser-seriku begitu beruntungnya diriku
kali ini...
***
“Kau menyukai Kak Revan?”
“Suara siapa itu?” aku
berkata dalam hati, “Ah kau Namira. Apa yang kau katakan? Tidak. Kau ini
ada-ada saja,” ujarku ketika mengetahui itu adalah Namira. “Aku sering
memperhatikanmu, kau sering melihat kak Revan lalu tersenyum-senyum tak jelas.
Ayo mengakulah...” Namira menyelidik. Mengapa ketahuan juga Tuhan? “Kau jangan
beritahu siapapun, Mir.” Aku menekuk kepala. “Hahaha, aku akan menjaga rahasia
ini, percayalah padaku,” katanya cepat. Aku mengiyakan.
Semester awal tak terasa
cepat berlalu, awal semester dua pun segera dimulai. Tak kusangka aku telah
memberikan origami bangauku sebanyak 709 buah. Pada kak Revan. Sebanyak dan
selama itu pula aku tak pernah berhenti memikirkan, bosankah ia menerima hal
konyol ini?
“Alissa!!” terlihat
Namira berlari ke arahku. “Namira? Ada apa?” tanyaku bingung. Masih mengatur
nafas, “Kak Revan..di-dia...” ujar Namira terbata-bata. “Ada apa dengannya
Mir?!” aku khawatir, ”A-apakah dia kecelakaan? Apa dia berkelahi?” lanjutku
menambah panas suasana. “Bukan Al, tapi...” Namira kembali berhenti berbicara.
Aku semakin penasaran, “Cepatlah sedikit Mir, kau malah membuatku panik.” Ia
menatapku, tatapannya menunjukkan ia tak ingin memberitahuku, namun pada akhirnya
ia mengatakan bahwa kak Revan akan pindah sekolah pada semester baru ini.
Mengapa harus pindah
sekolah? Apakah dia tidak nyaman bersekolah disini? Tidak! Bukan itu alasannya,
mungkin saja itu keputusan keluarganya. Sebenarnya sama saja, pindah atau tidak
pindah, dua tahun kedepan kami pun akan berpisah, ya, dia akan melanjutkan ke
perguruan tinggi. Lalu? Apa harapanmu kali ini? Entahlah, aku belum bisa
berfikir untuk hal ini. Yang aku fikirkan adalah aku harus memberikan semua
origami bangauku padanya sebelum ia pergi.
“Tinggal 100 lagi,”
ujarku sambil menghela nafas. “Apa?” tanya Namira tiba-tiba. “Origamiku,”
ucapku sambil menunduk memperhatikan origami-origami bangau di tanganku lalu
melanjutkan, “untuk kak Revan. Aku telah berhasil memberikannya 900 buah yang
lain.” Namira terkaget-kaget “Ja-jadi selama ini?” aku mengangguk tanpa
mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutku. “Selama hampir setahun kau
memberikan ini?” tanya Namira untuk kedua kalinya. Aku mengangguk lagi. “Kau
ingin dia menjadi pacarmu?” ujarnya. Dan lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk.
“Mengapa kau repot-repot melakukan hal ini? Kau bisa menarik perhatiannya
dengan cara yang lebih mudah,” sahut Namira kecewa. “Kalau begini kau akan
terlambat, sebentar lagi ia akan pindah sekolah dan bahkan ia takkan pernah
tahu bahwa kau menyukainya. Bukankah ia juga tak tahu origami ini berasal dari
kau?” Namira berkata panjang lebar, aku tak sanggup berbicara, aku hanya bisa
menggeleng seakan meresapi apa yang dikatakan namira. “Lalu kau mau apa sekarang?”
tanyanya lagi. Kali ini aku mengeluarkan suara, “Aku akan memberikan sisa
origami bangauku padanya.” “Dengan tetap sembunyi-sembunyi?” aku hanya menjawab
untuk terakhir kalinya bahwa tak akan ada cara lain.
***
Butuh waktu yang cukup lama untuk menuntaskan misi
ini. Meskipun pada akhirnya kak Revan pergi tanpa mengetahui seluruh kenyataan
dan pengharapanku. Menyedihkan memang, tapi apa mau dikata? Tak bisa dicegah,
tak bisa pula aku putar takdir ini. Hingga pada akhirnya ketika tersisa satu
buah origami bangau aku masih merasakan begitu bodohkah diriku? Untuk apa
capek-capek membuat seribu buah origami bangau jika tak menuai hasil?
“Alissa! Alissa!”
“Apa itu suara Kak
Revan?” pikirku dalam hati lalu membalikkan badan. Seketika...
“Kau tahu aku akan
pindah sekolah?” ujar seseorang yang aku sempat aku pikirkan tadi. “A-a Kak
Revan? O-oh tentu, aku tahu,” sahutku ramah menyembunyikan rasa gugupku. Dia
mengalingkan pandangannya, “Hmm, berat memang, tapi aku ingin minta tolong
padamu,” diam sejenak lalu, “Jika suatu hari kau mengetahui siapa yang
mengirimkan origami ini tolong beritahu aku,” ujarnya sambil menunjukkan
origami—buatanku—sambil menyunggingkan senyuman. Aku mengedipkan mata begitu
berat, “A-a oh ya, tentu, tenang saja,” ujarku terbata-bata lalu melanjutkan,
“Kau akan pergi ketika kenaikan kelas?”. Dia mengiyakan bahkan memintaku
mendoakannya berbahagia disana—sekolah barunya.
Satu minggu lagi. aku belum bisa memberikan satu buah origami bangauku
padanya. Padahal tinggal satu buah lagi maka pengharapanku selama ini akan
terkabul. Hingga pada hari dimana ia pergi, aku tak bisa melakukan apapun, aku
hanya mengurung diriku dikamar. Aku hanya bisa terus menerus memaki diriku yang
bodoh yang tak bisa melakukan sesuatau yang lebih agar dia tahu bahwa aku
mencintainya...
“Sudah terlambat,” ujar
Namira tiba-tiba. Aku tertawa,”Ya, benar, sudah terlambat,” sahutku seakan
sambil menahan air mata.
Percakapan itu dimulai saat aku dan Namira berada di
sudut sekolah setelah dua hari pasca kepergian kak Revan.
“Kau menyesal?”
“Entah, Aku masih menyisakan ini...”
“Kau belum memberikan seluruh origamimu?”
“Tersisa satu...”
“Tetap saja kau terlambat! Kau bodoh Al!”, aku
menatap Namira, lalu kembali menatap origami ditanganku. “Kau tahu, seharusnya
kau bisa mewujudkan permohonanmu!” lanjutnya.
“Mungkin akan datang waktu yang tepat, kau tahu
Namira? Tuhan pasti merencanakan sesuatu yang tak pernah kita fikirkan
sebelumnya.” Kataku berlaga pujangga yang berusaha merangkai kata-kata, berlaga
wanita super yang menahan air mata, berlaga putri dalam dongeng yang berusaha
merelakan pangeran yang dicintainya...
“Kau ingin menangis?”
tanya Namira. “Apa? Menangis? Tidah Mir, aku tak semudah itu merelakan air
mataku jatuh,” jawabku sembari tertawa masam. “Kau tahu? Air matamu sudah
berdemo untuk keluar dari kelopak matamu itu,” kembali Namira memojokkan. Aku
menatap Namira dengan mata yang berkaca-kaca, tak sanggup lagi aku bendung air
mataku lagi. “Kau benar Namira, kau benar,” ujarku tersedu-sedu.
Seakan terbebas dari rasa sedih yang menyelimutiku,
aku mencoba melupakan segalanya. Cinta pertamaku kandas di tengah perjalanan,
ketika aku mencoba menggapai, cinta itu hilang entah kemana. Tapi kini aku tak
ingin terpuruk dalam hal ini terus, aku mencoba membuka lembaran baru. Hingga
pada akhirnya usai juga tiga tahun aku bersekolah di sekolahku ini. Selama itu
pula aku telah berhasil melupakan segalanya...
—Selamat Datang
Mahasiswa Baru Universitas Indonesia—
“Tidak terasa sekarang
aku beranjak dewasa, jadi anak kuliahan, yuhuuuu!!!”
Kembali seperti cerita awalku, aku menjalani ospek di
Universitas ini. Tapi, kali ini aku tak melakukan kesalahan yang sama untuk
kedua kalinya, ya, aku tak datang terlambat.
“Revan!”
Serentak telingaku terfokus
pada nama itu, aku tak berani membalikkan badan untuk membuang rasa
penasaranku, namun...
“Alissa?” mataku
terbelalak ketika seseorang memanggilku, kali ini aku segera membalikkan badan.
“A-a-a ka-a-u?” seakan terhempas pada jurang kebahagiaan, alur kehidupanku
sudah seperti sinetron. “Wow, kita bertemu kembali,” ujarnya yang ternyata itu
adalah kak Revan. Aku mengedipkan mata dan seketika itu pula aku menelan air
liurku, “A-a benar, kita bertemu kembali.” Terlihat dia tersenyum, “Apakah kau
sudah mendapat jawabannya?” Kali ini aku kebingungan, “Jawaban apa?”. “Tentang
pengirim origami itu?” Aku tercengang mendengarnya, ah mengapa aku sampai lupa
begini, pikirku.
“Revan!”
Lagi-lagi seseorang
memanggilnya, kami menoleh pada sumber suara itu. “Kau ini, aku memanggilmu
daritadi,” aku hanya menatapnya heran, siapa dia? Terlihat mereka menatapku
lalu kak Revan mengenalkanku pada wanita itu, ya, seseorang yang memanggilnya
adalah seorang wanita. “Oh Alissa, aku Claudia,” ujar wanita itu memperkenalkan
dirinya. Aku hanya tersenyum. Dalam hati aku ingin melakukan sesuatu yang akan
menjadi finish dari semua perjuanganku selama ini, aku akan memberitahu bahwa
pengirim origami itu sebenarnya adalah aku. Tapi takdir berkata lain, wanita
itu membuyarkan segalanya...
“Cla, sepertinya malam
nanti aku ada acara keluarga, dinner kita ditunda dulu ya,” kak revan membuka
percakapan bersama kak Claudia. “Hmm OK sayang, yasudah aku akan ke kantin,
bye!”
Apa? Apa yang dia
katakan? Panggilan itu? Hatiku hancur tepat pada saat itu juga, aku telah
terlambat. “Al, kau kenapa? Matamu...” Seakan buyar semua pikiran yang ada di
otakku, aku menatap kak Revan, aku tak bisa mengelak, mataku dipenuhi gerlingan
air mata yang siap untuk terjatuh, lagi-lagi aku tak ingin merelakan air mataku
jatuh. “A-apa? Ohaha aku kelilipan,” sahutku sambil mengusap kedua mataku
dengan telapak tangan. Dia hanya tersenyum heran, “Oh ya, kau belum menjawab
pertanyaanku.” Aku menggeleng pelan, “A-aku belum tahu Kak, maaf..” Kak Revan
terlihat kecewa pada saat itu, dan mengatakan bahwa dia sampai sekarang masih
penasaran, terlebih lagi dia telah membuka
salah satu lipatan dari origamiku, dia tertawa saat menceritakannya
padaku, “sudah terlambat” ujarnya karena kini dia sudah memiliki seorang
kekasih—kak Claudia. Namun dia juga mengatakan, “Kalau aku
tahu siapa pengirimnya, aku akan menjadikannya kekasih, sepertinya dia sangat
menyukaiku, “ lalu tertawa kecil. Hatiku semakin hancur, apakah itu adalah
sebuah lelucon? Bukan, itu adalah perjuangan, kau tidak tau. Aku kira takdir
cintaku akan berakhir sempurna, namun ternyata tidak, mungkin jika aku
memberikan satu origami terakhirku, ceritaku tidak akan berakhir seperti ini.
Aku yang salah, aku yang lamban, aku yang terlalu mengulur-ulur waktu, aku yang
penakut, aku yang tidak selalu siap menerima takdir, dan aku yang menyedihkan!
Hingga pada akhirnya aku meninggalkan kak Revan di tempat itu, tujuanku yaitu
toilet, aku berlari secepat mungkin, ketika sampai aku tak kuasa membendung air
mataku, aku menghadapkan wajahku pada cermin lalu membasuh wajahku itu dengan
air, aku menatap penuh kesedihan pada diriku sendiri. “Selamat, kau terlamabat
Alissa..” ujarku dalam hati lalu kembali menangis tanpa perduli pada
orang-orang yang ada pada saat itu.
~ARB~
xxx
ReplyDeletecerpennya keren neng :D
ReplyDeletetapi background sama warna tulisan ga singkron (versi mobile)
hanya masukan :D
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteyang caka pasang dong venna....
ReplyDeletemau baca..