Wednesday, May 29, 2013

Origami?


KUTULISKAN PERMOHONANKU PADA...
            Tahun ini adalah awal ajaran baru untukku. Ya, tahun ini aku menjadi seorang siswi Sekolah Menengah Atas. Menyenangkan memang, tapi sepertinya gaya hidupku akan berubah 180° dari sebelumnya. Gaya bermalas-malasan, rajin bermain dan segala sesuatu yang menjadi hobbbyku semasa SMP harus aku tinggalkan. Jika sekarang aku masih berkubang dalam kebiasaan iu, pasti aku sudah menjadi langganan guru BK di sekolahku kini.
                3 tahun lalu aku memang menjadi orang bodoh tak berguna karena kemalasanku, bahkan dalam urusan cinta. Cinta? Oh tidak, bahkan aku belum merasakan cinta pada seseorang. Tak lazim memang, tapi itulah yang aku rasakan. Aku tidak terlalu memperdulikan soal cinta, tapi kini aku mencoba mencari cinta. Hmm, mungkin cinta ini dibarengi dengan prestasi.
                Sudah berapa lama kau melamun, Alissa? Oh tidak, kebiasaan ini selalu terulang, melamun ketika terbangun dari tidurku. “Jam berapa sekarang?” tanyaku dalam hati lalu bergegas melihat jam kecil yang berada di atas meja samping tempat tidurku.
06.37...
                “Sudah rusak jam ini,” ucapku sembari tertawa masam. “Hey kau jam, baru saja aku ganti batumu dengan yang baru, tapi mengapa malah membohongiku sekarang?!” seruku seperti orang tak waras. “Apakah kau tidak akan sekolah kakakku yang manis?”. Terdengar suara adikku dibalik pintu. Seperti berada di angan-angan, aku seakan tak memperdulikan kata-kata yang terdengar selintas itu. “Jam tanganku sudah menunjukan pukul 06.40, hari ini adalah hari MOS di sekolah barumu, bukan?”
                MOS? Oh tidaaaak!!! Aku lupa! Bagaimana bisa? Serentak aku menuju kamar mandi yang berada di kamarku. “Bodohnya dirimu Al sampai-sampai hal yang begini saja kau lupa!” gerutuku sambil memukul kepalaku berkali-kali.
                Hanya menghabiskan waktu 5 menit untuk mandi. Mandi koboy? Apakah bisa dikatakan seperti itu? Tentu!
“Ibu, mengapa kau tak membangunkanku sejak pagi?” tanyaku kesal ketika turun dari kamarku sambil berlari ke ruang makan.
“Apakah kau tidak memiliki telinga? Ibu telah membangunkanmu pagi-pagi buta!” seru adikku memotong.
                Ada hak apa gadis ingusan itu menjawab pertanyaaanku yang sebenarnya bukan untuknya? Tak sopan. “Aku tak bicara padamu anak ingusaaaan!” ejekku cepat. “Hey hey, kalian itu setiap pagi kerjaannya ribut saja. Sudah diam,” terdengar suara ibuku menengahi. “Ibu tadi sudah coba membangunkanmu Alissa, tapi kau tidak menyahut,” lanjutnya. “Ah aku tak dengar,” ujarku singkat.
06.55...
“Oh Tuhan! Sial sekali hari ini,” seruku lantang. “Ibu aku buru-buru, aku pergi dulu,” pamitku pada ibu lalu bergegas pergi. “Kau tidak akan berangkat bersama adikmu?” terdengar suara ibu ketika aku sudah berjalan menjauh dari rumah. “Berangkat bersama bagaimana? Dia kan masuk pukul 07.30, sedangkan aku 5 menit lagi akan masuk,” gerutuku dalam hati.
                Menit demi menit pun berlalu mengantarku pada gerbang sekolah. Terlihat satpam sekolah berhiaskan kumis lebatnya telah memandangiku dari kejauhan tepat saat aku turun dari taksi.
“Tolong buka gerbangnya Pak,” mohonku sambil mengatur nafas. Ya, ketika itu aku tengah berlari demi menggapai pintu gerbang. Satpam itu menatapku tajam, “Kau tahu anak manis? Sekarang pukul berapa?” tanyanya padaku. Berpaling ke jam tangan,” Jamku rusak Pak ,” jawabku sambil tersenyum cemas. Bagaimana tidak cemas? Aku telah berbohong. “Sekarang jam 07.15 dan sekarang kau tidak bisa masuk anak manis..” ujar satpam itu sekali lagi. Mataku terbelalak, “A-apa? Tapi hari ini hari MOS-ku pak!”. “Tetap tidak bisa, kau terlalu siang untuk datang ke sekolah ini,” katanya mengubah mimik mukanya menjadi sangar.
“Buka gerbangnya, Pak..”
                Aku tak merasa telah berkata seperti itu. Lalu itu suara siapa? Dalam satu kedipan mata aku langsung mengalihkan pandanganku pada sumber suara itu. “A-a-a “ terdengar pita suaraku menjadi terputus-putus. “Revan? Tapi anak ini sudah telat, Nak..” terdengar satpam itu berceloteh. “Biarkan dia masuk Pak. Nanti aku yang akan tanggung jawab,” sahut lelaki itu dingin.
                Siapa dia? Apakah dia kakak kelas? Ya, sepertinya. Lalu mengapa ia begitu baik padaku? “Hmm tampan, ah mungkin hanya menjadi trik belaka untuk menarik perhatian siswa baru,” ujarku dalam hati lalu bersuara ketika ia menatapku, “O-oh terima kasih kak.” Terlihat lelaki itu hanya mengedipkan kedua matanya yang menandakan berkata sama-sama.
                Aku berjalan menyusuri koridor kelas untuk mencari kelasku, hingga pada akhirnya “Ketemu!!!” Aku mencoba mengetuk pintu kelas lalu “Permisi..” aku menatap ke seisi kelas, tak kusangka lelaki itu tampak lagi dipandanganku. “Ma-maaf kak, aku terlambat..” ujarku terbata-bata karena perasaan shock. Terdengar suara bising kelas berisi cibiran atas diriku pun sampai di telingaku. Aku mencoba tak memperdulikan seruan mereka. “Kau dihukum!” tiba-tiba saja terdengar ditelingaku kata-kata yang berasal dari kakak kelas itu. “Kak, apakah kau bisa mendengar alasan keterlambatanku?” tanyaku memasang wajah melas. “Lalu setelah kau menjelaskan, kau akan meminta maaf lagi bukan? Dan memohon untuk dimaafkan?” sela salah satu dari kakak kelas itu lagi. Aku terdiam. “Cepat letakkan tasmu dan berdiri dibawah tiang bendera! Beri hormat jangan lupa!” lanjutnya meninggikan suara. “Baik kak,” jawabku murung.
                Terdengar suara bel dari salah satu ruangan. Suara apa itu? Apakah bel tanda waktu pulang? Semua siswa terlihat pergi meninggalkan kelasnya. Ah ternyata bukan, ternyata mereka menuju salah satu pusat jajanan sekolah. Kantin. Lalu, apakah hukumanku sudah berakhir?
“hei, kau ingin minum anak baru?” seru salah seorang kakak kelas yang tadi berada di kelasku menghampiriku. Aku mengangguk. “Kasihan... tapi masa hukumanmu belum berakhir,” ejek kakak kelas itu sambil tertawa sinis.
                Satu jam berlalu, terik matahari semakin membakar tubuhku. Aku baru ingat, tadi pagi aku belum sempat sarapan. Hanya sesuap nasi mungkin yang aku lahap. Oh tuhan, pantas saja perutku berdemo. Hingga pada akhirnya...
Putih, apakah itu kabut? Oh bukan itu bukan kabut, bahak itu tidaklah berwarna putih, tapi hitam, ya, hitam...
“Kau sudah siuman?” terdengar suara seorang lelaki yang sudah tak asing lagi ku dengar sebelumnya. Baru akan membuka mulut untuk menanggapi kata-katanya, “Maafkan teman-temanku tadi yang menghukummu,” selanya lalu melanjutkan “Mereka hanya mengerjaimu..” Aku tersenyum, “Tidak apa-apa Kak. Ohya, kakak?” tanyaku tak nyambung. “Oh aku Revan,” sahutnya cepat seakan mengerti apa yang ku maksud. “Oh, aku alissa Kak. Terimakasih atas bantuannya,” ujarku kembali memberikan ia senyuman manis. Bantuan?  Bantuan apa memang? Oh tidak! Lagi-lagi aku berkata ngawur. “Ya, sama-sama Al. Mmm, kalau kau merasa baikan segeralah masuk kelas,” ujarnya lalu melanjutkan “tapi, kalau kau masing pusing tetaplah disini.” Mengapa begitu perhatian?” tanyaku dalam hati. “Oh ya Kak, aku mengerti,” sahutku cepat.
                Hari yang melelahkan. Sampai-sampai adegan drama pun aku lakukan hari ini. Sungguh diluar dugaan sebelumnya. Akan tetapi, terlintas dibenakku sosok laki-laki itu. Kak Revan? Hmm, malaikat penolong, bahkan dia sudah menolongku dua kali dalam sehari ini..
***
                “Alissa, kau sdenag membuat apa?”
Aku tersentak dengan suara itu, oh ternyata Namira. Aku langsung tersenyum tetapi tetap fokus pada sesuatu di tanganku, “Aku sedang membuat origami burung bangau.” Dia terlihat kebingungan, “Burung bangau? Apakah kau sedang menginginkan sesuatu?” tanyanya. “Sesuatu? Oh tentu tidak, aku hanya sedang ingin membuatnya,” ujarku sembari tertawa kecil.
Origami ini memang selalu bermakna pembuatnya sedang menginginkan sesuatu, karena ketika seseorang mambuat 100 buah origami ini, maka permintaannya akan terkabul. Klasik memang, tetapi mitos ini berasal dari Jepang dan mereka masih mempercayainya.
Aku memalingkan wajahku ke jendela kelas, tak sengaja seseorang melintasi bola mataku. Aku mencoba berkedip. Siapa itu? Tak ku sangka itu Kak Revan. Ia kembali muncul dihadapanku setelah terakhir bertemu itu ketika aku tak sadarkan diri saat “hukuman itu” berlangsung. Tak kusadari bibirku berubah menjadi sedikit melebar.
“Hey Al, mengapa senyam-senyum sendiri?” lagi-lagi Namira mengagetkan. Oh Tuhan, mengapa ada yang mengganggu saat-saat seperti ini?! “A-ah tidak. Aku hanya sedang berfikir,” sahutku sambil menggaruk-garuk kepala. Namira mengerutkan alisnya, pikirnya mana ada orang waras berfikir sembari senyam-senyum sendiri, aku hanya bisa tertawa masam.
                Entah mengapa ketika sampai dirumah, bayangan itu tidaklah hilang. Ya, Kak Revan. Dia terus menerus hinggap di fikiranku. Sempat terlintas bahwa ia begitu mirip dengan tokoh artis yang ku idolakan ―Mario Maurer― meskipun tidak seratus persen. Apa aku telah jatuh cinta padanya? Ah tidak. Tapi, aku memng tidak bisa membohongi perasaanku sendiri kali ini, aku memang menyukainya...

“Kau sedang apa?”
Aku menoleh pada namira,“Membuat origami lagi, tapi didalamnya aku selipkan tulisan permintaanku dan pengharapanku,” “Untuk siapa?” tanyanya lagi. “Untuk Kak...eu...eu...” jawabku gugup. “Kak siapa, Al?” tanya Namira meojokkan. “Apakah Kak...???” tanyanya berlanjut. Aku menarik nafas panjang lalu dihembuskan sembari berkata, “Sudah diam. Kau tak perlu tahu tentang ini.”
                Tidak boleh ada yang tahu tentang ini, aku harus sebisa mungkin menyembunyikan misi ini. Misi apa? Ini bukanlah sebuah perang gerilya Alissa...
“Aku harus menaruhnya di atas sepeda motor Kak Revan,” ujarku dalam hati.
Kupandangi lingkungan sekitar, tidak ada seorang pun yang melihat, ayo lakukan,Al!!
                “Hmm semoga kau menyimpannya,” harapku setelah meletakkan origami bangau itu di sepeda motor Kak Revan.
                Satu kali telah aku coba lakukan hal gila ini. Aku harus melakukan hal itu seribu kali, butuh waktu berapa lama Tuhan? Apakah aku harus membuat origami bangau bertuliskan “Saya suka kak Revan” di dalam kertasnya seumur hidupku? Lalu kapan dia akan membacanya? Mungkin dia hanya melihat bentuk origaminya dan tak melihat isi dalamnya. “Uuuh aku telah berfikir apa sih?” ujarku sembari menggeleng-geleng kepala. “Kau harus tetap bersemangat melakukan hal ini Al, kau bahkan belum pernah memperjuangkan cintamu. Untuk kali ini Kak Revan adalah satu-satunya lelaki yang membuatmu berani melakukan hal konyol seperti ini, so GANBATE!!!” lanjutku tak lebih untuk diri sendiri.
***
                “Seribu!!!”
                “Kau kenapa Al?” tanya salah seorang temanku. “A-a-a? Oh tidak-tidak,” jawabku sambil tertawa seperti orang tak waras. Oh Tuhan, aku telah membuat origami ini selama berminggu minggu. Melelahkan sekali tetapi apa boleh buat, aku sudah bertekad.

                Satu bulan dua bulan berlalu, baru sekitar 300 origami bangau yang telah aku berikan sembunyi-sembunyi pada Kak Revan. Hmm, butuh waktu berapa lama lagi?
“Alissa!!!”
Siapa itu? Siapa yang memanggilku? Sepertinya aku mengenali suara itu. Jangan-jangan itu....
“Kak Revan?!”
“Oh hai, sudah lama tak bertemu,” sapanya ringan lalu melanjutkan, “Bagaimana sekolahmu? Apakah menyenangkan menjadi anak SMA seperti ini?”
                Suaranya seakan membuatku hanyut, aku bagaikan sedang berada di suatu planet dan hanya suaranya lah yang aku dengar, sungguh lembut, sungguh indah, sungguh....
“Hei!”
“A-a.. Oh maaf Kak,” kagetku sambil menggaruk kepala. “Sangat menyenagkan Kak,” ujarku melanjutkan sambil tersenyum manis. “Oh baguslah,” sahutnya. Aku melihat ia mengenggam sesuatu, itu...itu kertas, tapi sepertinya bukan kertas biasa, apakah itu... “Al, apakah kau tahu temanmu yang sering membuat origami seperti ini?” tanyanya tiba-tiba dengan menyodorkan sesuatu ditangannya itu. “A-apa?” lagi-lagi aku kaget. “Tidak Kak, aku tidak tahu.. Ma-maaf,” jawabku sangat gugup. Aku lihat dia tersenyum seraya berkata, “Oh begitu, aku hanya merasa aneh, banyak sekali origami ini yang dikirimkan untukku, sepertinya aku memiliki banyak pengagum rahasia,” ucapnya tertawa kecil.
                Pengagum rahasia? Iya memang betul, akulah pelakunya. “Kau tak apa, Al?” suaranya kembali membangunkanku dari fikiran konyolku. “Oh oh aku tidak apa-apa Kak,” sahutku. “Oh baiklah. Yasudah aku pergi dulu, sampai bertemu lain waktu,” ujarnya sambil berlalu meninggalkanku.
                Aku melihatnya punggungnya, lama kelamaan semakin sulit untuk ku jangkau, benar saja, ia semakin jauh untuk ku perhatikan. Percakapan singkat barusan membuatku tak kuat menahan rasa gembiraku. Sepanjang hari aku tak pernah melewatkan wajah berser-seriku begitu beruntungnya diriku kali ini...
***
                Kau menyukai Kak Revan?”
“Suara siapa itu?” aku berkata dalam hati, “Ah kau Namira. Apa yang kau katakan? Tidak. Kau ini ada-ada saja,” ujarku ketika mengetahui itu adalah Namira. “Aku sering memperhatikanmu, kau sering melihat kak Revan lalu tersenyum-senyum tak jelas. Ayo mengakulah...” Namira menyelidik. Mengapa ketahuan juga Tuhan? “Kau jangan beritahu siapapun, Mir.” Aku menekuk kepala. “Hahaha, aku akan menjaga rahasia ini, percayalah padaku,” katanya cepat. Aku mengiyakan.
Semester awal tak terasa cepat berlalu, awal semester dua pun segera dimulai. Tak kusangka aku telah memberikan origami bangauku sebanyak 709 buah. Pada kak Revan. Sebanyak dan selama itu pula aku tak pernah berhenti memikirkan, bosankah ia menerima hal konyol ini?
“Alissa!!” terlihat Namira berlari ke arahku. “Namira? Ada apa?” tanyaku bingung. Masih mengatur nafas, “Kak Revan..di-dia...” ujar Namira terbata-bata. “Ada apa dengannya Mir?!” aku khawatir, ”A-apakah dia kecelakaan? Apa dia berkelahi?” lanjutku menambah panas suasana. “Bukan Al, tapi...” Namira kembali berhenti berbicara. Aku semakin penasaran, “Cepatlah sedikit Mir, kau malah membuatku panik.” Ia menatapku, tatapannya menunjukkan ia tak ingin memberitahuku, namun pada akhirnya ia mengatakan bahwa kak Revan akan pindah sekolah pada semester baru ini.
Mengapa harus pindah sekolah? Apakah dia tidak nyaman bersekolah disini? Tidak! Bukan itu alasannya, mungkin saja itu keputusan keluarganya. Sebenarnya sama saja, pindah atau tidak pindah, dua tahun kedepan kami pun akan berpisah, ya, dia akan melanjutkan ke perguruan tinggi. Lalu? Apa harapanmu kali ini? Entahlah, aku belum bisa berfikir untuk hal ini. Yang aku fikirkan adalah aku harus memberikan semua origami bangauku padanya sebelum ia pergi.

“Tinggal 100 lagi,” ujarku sambil menghela nafas. “Apa?” tanya Namira tiba-tiba. “Origamiku,” ucapku sambil menunduk memperhatikan origami-origami bangau di tanganku lalu melanjutkan, “untuk kak Revan. Aku telah berhasil memberikannya 900 buah yang lain.” Namira terkaget-kaget “Ja-jadi selama ini?” aku mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutku. “Selama hampir setahun kau memberikan ini?” tanya Namira untuk kedua kalinya. Aku mengangguk lagi. “Kau ingin dia menjadi pacarmu?” ujarnya. Dan lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk. “Mengapa kau repot-repot melakukan hal ini? Kau bisa menarik perhatiannya dengan cara yang lebih mudah,” sahut Namira kecewa. “Kalau begini kau akan terlambat, sebentar lagi ia akan pindah sekolah dan bahkan ia takkan pernah tahu bahwa kau menyukainya. Bukankah ia juga tak tahu origami ini berasal dari kau?” Namira berkata panjang lebar, aku tak sanggup berbicara, aku hanya bisa menggeleng seakan meresapi apa yang dikatakan namira. “Lalu kau mau apa sekarang?” tanyanya lagi. Kali ini aku mengeluarkan suara, “Aku akan memberikan sisa origami bangauku padanya.” “Dengan tetap sembunyi-sembunyi?” aku hanya menjawab untuk terakhir kalinya bahwa tak akan ada cara lain.
***
                Butuh waktu yang cukup lama untuk menuntaskan misi ini. Meskipun pada akhirnya kak Revan pergi tanpa mengetahui seluruh kenyataan dan pengharapanku. Menyedihkan memang, tapi apa mau dikata? Tak bisa dicegah, tak bisa pula aku putar takdir ini. Hingga pada akhirnya ketika tersisa satu buah origami bangau aku masih merasakan begitu bodohkah diriku? Untuk apa capek-capek membuat seribu buah origami bangau jika tak menuai hasil?
“Alissa! Alissa!”
“Apa itu suara Kak Revan?” pikirku dalam hati lalu membalikkan badan. Seketika...
“Kau tahu aku akan pindah sekolah?” ujar seseorang yang aku sempat aku pikirkan tadi. “A-a Kak Revan? O-oh tentu, aku tahu,” sahutku ramah menyembunyikan rasa gugupku. Dia mengalingkan pandangannya, “Hmm, berat memang, tapi aku ingin minta tolong padamu,” diam sejenak lalu, “Jika suatu hari kau mengetahui siapa yang mengirimkan origami ini tolong beritahu aku,” ujarnya sambil menunjukkan origami—buatanku—sambil menyunggingkan senyuman. Aku mengedipkan mata begitu berat, “A-a oh ya, tentu, tenang saja,” ujarku terbata-bata lalu melanjutkan, “Kau akan pergi ketika kenaikan kelas?”. Dia mengiyakan bahkan memintaku mendoakannya berbahagia disana—sekolah barunya.

                Satu minggu lagi. aku belum bisa memberikan satu buah origami bangauku padanya. Padahal tinggal satu buah lagi maka pengharapanku selama ini akan terkabul. Hingga pada hari dimana ia pergi, aku tak bisa melakukan apapun, aku hanya mengurung diriku dikamar. Aku hanya bisa terus menerus memaki diriku yang bodoh yang tak bisa melakukan sesuatau yang lebih agar dia tahu bahwa aku mencintainya...
“Sudah terlambat,” ujar Namira tiba-tiba. Aku tertawa,”Ya, benar, sudah terlambat,” sahutku seakan sambil menahan air mata.
                Percakapan itu dimulai saat aku dan Namira berada di sudut sekolah setelah dua hari pasca kepergian kak Revan.
                “Kau menyesal?”
                “Entah, Aku masih menyisakan ini...”
                “Kau belum memberikan seluruh origamimu?”
                “Tersisa satu...”
                “Tetap saja kau terlambat! Kau bodoh Al!”, aku menatap Namira, lalu kembali menatap origami ditanganku. “Kau tahu, seharusnya kau bisa mewujudkan permohonanmu!” lanjutnya.
                “Mungkin akan datang waktu yang tepat, kau tahu Namira? Tuhan pasti merencanakan sesuatu yang tak pernah kita fikirkan sebelumnya.” Kataku berlaga pujangga yang berusaha merangkai kata-kata, berlaga wanita super yang menahan air mata, berlaga putri dalam dongeng yang berusaha merelakan pangeran yang dicintainya...
“Kau ingin menangis?” tanya Namira. “Apa? Menangis? Tidah Mir, aku tak semudah itu merelakan air mataku jatuh,” jawabku sembari tertawa masam. “Kau tahu? Air matamu sudah berdemo untuk keluar dari kelopak matamu itu,” kembali Namira memojokkan. Aku menatap Namira dengan mata yang berkaca-kaca, tak sanggup lagi aku bendung air mataku lagi. “Kau benar Namira, kau benar,” ujarku tersedu-sedu.
                Seakan terbebas dari rasa sedih yang menyelimutiku, aku mencoba melupakan segalanya. Cinta pertamaku kandas di tengah perjalanan, ketika aku mencoba menggapai, cinta itu hilang entah kemana. Tapi kini aku tak ingin terpuruk dalam hal ini terus, aku mencoba membuka lembaran baru. Hingga pada akhirnya usai juga tiga tahun aku bersekolah di sekolahku ini. Selama itu pula aku telah berhasil melupakan segalanya...

—Selamat Datang Mahasiswa Baru Universitas Indonesia—
“Tidak terasa sekarang aku beranjak dewasa, jadi anak kuliahan, yuhuuuu!!!”
                Kembali seperti cerita awalku, aku menjalani ospek di Universitas ini. Tapi, kali ini aku tak melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya, ya, aku tak datang terlambat.
“Revan!”
Serentak telingaku terfokus pada nama itu, aku tak berani membalikkan badan untuk membuang rasa penasaranku, namun...
“Alissa?” mataku terbelalak ketika seseorang memanggilku, kali ini aku segera membalikkan badan. “A-a-a ka-a-u?” seakan terhempas pada jurang kebahagiaan, alur kehidupanku sudah seperti sinetron. “Wow, kita bertemu kembali,” ujarnya yang ternyata itu adalah kak Revan. Aku mengedipkan mata dan seketika itu pula aku menelan air liurku, “A-a benar, kita bertemu kembali.” Terlihat dia tersenyum, “Apakah kau sudah mendapat jawabannya?” Kali ini aku kebingungan, “Jawaban apa?”. “Tentang pengirim origami itu?” Aku tercengang mendengarnya, ah mengapa aku sampai lupa begini, pikirku.
“Revan!”
Lagi-lagi seseorang memanggilnya, kami menoleh pada sumber suara itu. “Kau ini, aku memanggilmu daritadi,” aku hanya menatapnya heran, siapa dia? Terlihat mereka menatapku lalu kak Revan mengenalkanku pada wanita itu, ya, seseorang yang memanggilnya adalah seorang wanita. “Oh Alissa, aku Claudia,” ujar wanita itu memperkenalkan dirinya. Aku hanya tersenyum. Dalam hati aku ingin melakukan sesuatu yang akan menjadi finish dari semua perjuanganku selama ini, aku akan memberitahu bahwa pengirim origami itu sebenarnya adalah aku. Tapi takdir berkata lain, wanita itu membuyarkan segalanya...
“Cla, sepertinya malam nanti aku ada acara keluarga, dinner kita ditunda dulu ya,” kak revan membuka percakapan bersama kak Claudia. “Hmm OK sayang, yasudah aku akan ke kantin, bye!”
Apa? Apa yang dia katakan? Panggilan itu? Hatiku hancur tepat pada saat itu juga, aku telah terlambat. “Al, kau kenapa? Matamu...” Seakan buyar semua pikiran yang ada di otakku, aku menatap kak Revan, aku tak bisa mengelak, mataku dipenuhi gerlingan air mata yang siap untuk terjatuh, lagi-lagi aku tak ingin merelakan air mataku jatuh. “A-apa? Ohaha aku kelilipan,” sahutku sambil mengusap kedua mataku dengan telapak tangan. Dia hanya tersenyum heran, “Oh ya, kau belum menjawab pertanyaanku.” Aku menggeleng pelan, “A-aku belum tahu Kak, maaf..” Kak Revan terlihat kecewa pada saat itu, dan mengatakan bahwa dia sampai sekarang masih penasaran, terlebih lagi dia telah membuka  salah satu lipatan dari origamiku, dia tertawa saat menceritakannya padaku, “sudah terlambat” ujarnya karena kini dia sudah memiliki seorang kekasih—kak Claudia. Namun dia juga mengatakan, “Kalau aku tahu siapa pengirimnya, aku akan menjadikannya kekasih, sepertinya dia sangat menyukaiku, “ lalu tertawa kecil. Hatiku semakin hancur, apakah itu adalah sebuah lelucon? Bukan, itu adalah perjuangan, kau tidak tau. Aku kira takdir cintaku akan berakhir sempurna, namun ternyata tidak, mungkin jika aku memberikan satu origami terakhirku, ceritaku tidak akan berakhir seperti ini. Aku yang salah, aku yang lamban, aku yang terlalu mengulur-ulur waktu, aku yang penakut, aku yang tidak selalu siap menerima takdir, dan aku yang menyedihkan! Hingga pada akhirnya aku meninggalkan kak Revan di tempat itu, tujuanku yaitu toilet, aku berlari secepat mungkin, ketika sampai aku tak kuasa membendung air mataku, aku menghadapkan wajahku pada cermin lalu membasuh wajahku itu dengan air, aku menatap penuh kesedihan pada diriku sendiri. “Selamat, kau terlamabat Alissa..” ujarku dalam hati lalu kembali menangis tanpa perduli pada orang-orang yang ada pada saat itu.


                                                                                                                                                                ~ARB~

4 comments:

  1. cerpennya keren neng :D
    tapi background sama warna tulisan ga singkron (versi mobile)
    hanya masukan :D

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. yang caka pasang dong venna....
    mau baca..

    ReplyDelete

Silahkan komentar guna menambah inspirasi saya