Thursday, June 20, 2013

My Inspiration?


Selamat Datang Lupa Bawa Nyali
                Aku berlari ke arah lift, kecepatan lariku mungkin layaknya hyena yang sedang memburu mangsanya. Ketika sampai, pintu lift sedang operating tertutup, aku mencegahnya, “Hei tunggu dulu!!!” teriakku kencang sambil membukakan pintu lift—seperti wanita perkasa. Aku pun masuk lalu menyandarkan tubuhku ke dinding lift, tanganku melekat pada dada yang berisikan jantung karena saat itu berdetak sangat cepat, nafasku pun masih terengah-engah. Bagaimana tidak? Aku sedang mengejar waktu karena hari ini adalah casting perdanaku menjadi pembaca berita.
“Oh tidak, bagaimana ini? Mati sudah harapanku!” sahutku pada diri sendiri. Aku menyadari seseorang disampingku tersentak setelah mendengar apa yang kukatakan, aku pun menoleh padanya dan tersenyum masam. Hening sejenak lalu aku melihat layar monitor yang terdapat pada sudut lift   5 . Aku tersentak hebat, tak lama kemudian lift terhenti dan pintu sedikit demi sedikit membuka, tapi kejadiannya berubah setelah aku menekan kembali tombol lift untuk turun ke lantai dua.
***
            Pagi yang cerah menyambutku dengan helaian penuh kasih sayang. Seperti sedang dimanjakan, aku tak tega mengubah posisi tidurku, maksudku mengubah untuk menjadi duduk atau bahkan berdiri. Ya semua itu demi mencapai sebuah kata ‘bermalas-malasan’. Bahkan alarm ponselku sudah berkali-kali berdering, dan selama itu pula aku sudah berkali-kali mematikannya. Hari ahad yang sangat-sangat bebas. Namun pada akhirnya aku pun bangun. “Huaaa, segar sekali!” ucapku sembari menguap. Aku melihat jam dinding kostanku, “Jam 10, akhirnya aku bisa bangun sesiang ini setelah SKS membuat stres otakku.” Aku berjalan ke arah kamar mandi, namun langkahku terhenti saat melewati sebuah kalender, telunjukku mencari-cari tanggal yang menunjukan hari ini. 07 Mei 2013. Arah jariku menyusuri anak panah yang melingkari tanggal itu, di ujung kanan tanggal itu ternyata ada sebuah memo kecil ‘audition’. Aku tersentak bukan main, “Oh tidaaaak!!!!”
“Maaf,” satu kata yang aku keluarkan ketika memasuki ruangan casting tersebut. Ya, ruangan itu lebih akrab dikatakan studio. Studio milik salah satu televisi swasta di Indonesia. Kemudian terlihat salah satu crew disana menghampiriku dan bertanya ramah, “Dengan peserta bernama?” Aku pun menjawab, “Salsabila Aisyah.” Lalu ia memberikan selembaran—berukuran sekitar 3cmx4cm—yang bertuliskan angka, aku sudah mengira pasti itu adalah nomor urut, ternyata benar saja. “Oh Tuhan, andaikan saja aku tak datang terlambat aku tak akan menunggu hingga urutan 335 seperti ini,” ujarku ketika mendapatkan sebuah tempat duduk. Aku melihat sekeliling, sepertinya sebelum aku datang pun tempat ini sudah dipenuhi banyak peserta, aku menghela nafas panjang dan kembali melihat selembaran kecil itu.
Delapan jam berlalu. “Tiga ratus tiga puluh lima,” aku tersentak dengan suara itu, ya, sekian lama menunggu tanpa disadari aku terlelap. Aku segera masuk studio itu, sebelum itu aku baru menyadari pula, peserta audisi hanya tersisa aku saja, tidak ada siapa-siapa lagi. “Selamat malam, dengan peserta terakhir Salsabila Aisyah,” sapa seorang wanita yang sudah tak asing lagi aku lihat di layar kaca. Aku tersenyum.
Aku berjalan menyusuri setiap koridor gedung stasiun televisi itu, dalam benakku masih terdapat gerutuan karena audisi yang tadi aku ikuti hanya berlangsung sekitar 10 menit, padahal aku telah menunggu selama 8 jam. “Jika aku tak lolos audisi maka sia-sia saja perjuanganku,” ujarku sambil terus berjalan. Akhirnya aku berhenti di depan sebuah lift, tepat sekali, ketika sampai pintu lift pun terbuka, aku menunggu orang-orang keluar, lalu segera masuk setelah itu. Saat itu bukan aku saja penghuni lift tersebut, tapi ada dua orang lainnya. Mereka berdiri di belakangku. Perasaanku tak enak, jadi aku tak mau sedikitpun menoleh. Namun...
“Kau!!!”
            Mataku terbelalak seketika mendengar sentakan itu, aku langsung sedikit menghindar dari sumber suara itu lalu menoleh. Setelah mengetahui siapa yang menyapaku dengan sadis tersebut aku langsung berkata, “A-apa? Kau ada masalah denganku?”
            Dia mendengus,“Kau masih sempat-sempatnya bertanya seperti itu?” tanyanya kembali sambil menampakkan wajah sangar.
            Aku mengerjapkan mata sekali, “Memangnya apa salahku?”
            “Salahmu? Kau telah membuatku terlambat pagi tadi, kau membuat schedule-ku menjadi berantakan, dan sekarang kau tak mau mengakuinya,” sahut lelaki itu kencang.
            Aku tertegun lalu menatap lelaki itu, “Kau, kau juga membuatku terlambat.”
            Terlihat dia memendam amarah yang siap untuk membludak, aku hanya berusaha menampangkan wajah suci tanpa dosa. Aku menyadari, selama perbincangan panas tadi, seseorang yang berada di samping lelaki itu fokus memperhatikan kami.
            “Kalian saling kenal?” tanya lelaki yang tadi sempat aku pikirkan.Kami menggeleng, “Lalu mengapa ribut-ribut? Ini lift.”
            “Maaf,” gumamku sambil menundukkan kepala. “Lagipula ini bukan kesalahanku, aku hanya menurunkan lift dua lantai saja tadi pagi.”
            “Masih saja membuat alasan, kau salah, akui saja!” kembali lelaki galak itu memarahiku. “Begitu beraninya kau dengan artis macamku ini,”
            Kepalaku langsung berputar cepat seketika mendengar pengakuannya, “Artis?” Bahkan aku tak pernah melihatnya di layar kaca.
            Ia mengangguk sombong. “Aku tak pernah melihatmu selama ini, kau siapa memang?”tanyaku polos.
            Bukannya menjawab, ia malah balik bertanya, “A-apa?! Kau tak tahu siapa aku?” Aku menggeleng. “Oh Tuhan, Kak tolong beritahu dia,”
            “Kau benar-benar tidak mengenalnya?” tanya seseorang yang disebut kakak itu. Lagi-lagi aku menggeleng. “Cakka Nuraga, tahu?”
            Aku tersenyum, “Aku pernah mendengarnya, selintas, aku kira itu bukan nama artis.” Lalu tertawa kecil.
            Pintu lift terbuka. Semua mata tertuju pada satu titik itu, aku melangkahkan kaki meninggalkan kedua orang itu. Ketika berjalan aku mendengar bisik-bisik mereka.
            “Kak Elang, kau percaya ada orang yang tak mengenalku?” tanya Cakka—lelaki galak tadi—pada lelaki yang bersamanya. Tanpa mengeluarkan kata-kata,Elang—kakak Cakka—hanya tertawa kecil.
***
            Serentak aku pun membaringkan tubuhku pada kasur. Mataku terpejam seakan ingin relaksasi sebentar, namun tiba-tiba bayang lelaki itu kembali datang,“Siapa lelaki itu sebenarnya?” tanyaku dalam hati. Tiba-tiba saja bunyi ponsel membuyarkan semuanya.
“Halo?”
“Halo Sabil, ini Meysha. Bagaimana audisinya?”
“Oh, begitulah. Aku tak tahu akan lolos atau tidak.”
“Ayolah jangan pesimis, kau tahu? Kau akan sering bertemu artis jika lolos,”
“Lagipula aku tadi telah bertemu artis, ah tidak-tidak, dia bukan artis,”
“Siapa Sa?”
“Aku tak tahu jelasnya, tapi dia memberitahu namanya Cakka Nur-nur..”
“Raga?”
            Ternyata hanya aku saja yang tak mengenal lelaki itu. Entah karena aku yang kuper atau tak update. Aku diberitahu Meysha semuanya setelah bercerita kronologi pertemuanku dengan lelaki itu. Bahkan Meysha menginginkan tanda tangan artis itu, dan memintaku berjanji untuk mendapatkannya. Aku hanya tertegun.
***
            Satu bulan berlalu. Aku kembali menghubungi Meysha untuk memberitahu bahwa aku lolos audisi dan menerima kontrak kerja perdana selama 3 tahun. Dia bersorak ketika mendengarnya, aku hanya tersenyum, pikirku,“Ternyata tak sia-sia dulu aku lama menunggu dan berlatih setiap malam untuk menjadi pembawa berita seperti sekarang ini.”
            Hari ini aku baru saja mendapat honor pertamaku, mimik bahagia tak elak aku lepaskan dari raut wajahku selama berjalan menyusuri koridor gedung. Berjalan di koridor, hal yang selalu aku lakukan semenjak pertama kali menginjakkan kaki di gedung ini, setelah itu pasti menuju lift tempat aku bertemu artis itu. Dan takdir pun berkata aku harus bertemu dengannya lagi, tepat ketika mata kami saling bertemu, “Kau?”
            Dia tak menghiraukanku, dia berjalan keluar lift lalu melewatiku. Aku terpaku pada saat itu juga, “Cakka?!” Ia terhenti.
            Berjalan sedikit, aku sudah berada dekat dengannya, “Bisakah kau membalikkan badan?” tanyaku gugup. Lalu ia melakukannya.
            “Mau apa lagi kau?” tanyanya ketus. Padahal ketika itu aku telah memberikannya senyuman dan berlaga baik padanya.
            “A-aku aku,” bicaraku terhenti, lalu sibuk mengambil sesuatu dari dalam tas tanganku. “Ini,”
            “Kau menginginkan tanda tanganku?” tanyanya lalu tertawa lepas. Aku menunduk. Tanganku masih dalam posisi menyodorkan buku kecil dan bolpoint. “Kemarikan,”
            Aku mendongak lalu tersenyum, “Terimakasih.” Aku melihatnya sedang menandatangani bukuku, lalu ponselku berbunyi. “Halo?” kataku seraya menjauh dari lelaki itu. “Oh baiklah,” ujarku di akhir pembicaraan.
            “Ini,” kata lelaki itu—Cakka—setelah aku menutup telepon. Aku tersenyum, “Terimakasih banyak, sebenarnya ini...” belum sempat aku menyelesaikan omonganku dia mengambil ponsel dari genggamanku. “A-a mau apa kau?”
            Tepat satu gerakan badan, ia mendekatkan tubuhnya padaku dan mengarahkan wajah kami di depan kamera ponsel. Aku melongok. Entah bagaimana hasil dari foto itu dengan ekspresi wajahku yang begitu memalukan, pikirku.
            “Sudah puas? Baiklah, aku pergi dulu,” ujarnya padaku setelah memberikan kembali ponselku. Aku masih setengah sadar, sesekali mengerjapkan mata dan memandangi dirinya yang membuatku terpaku kala itu.
***
            “Ayo Sa, aku tunggu kau di parkiran.” Seingatku itulah kata-kata yang terakhir diucapkan Meysha ditelepon. Aku segera menghampirinya selepas bekerja. Rencananya kami akan makan di sebuah restaurant sekitar mall.
            “Maaf, tadi aku dipanggil produserku dulu,” gumamku ketika bertemu Meysha. Aku berharap agar dia tak marah karena lama menunggu.
            “Tak apa, ayo kita pergi sekarang.” Beruntung dia tak marah padaku.
            Akhirnya kami sampai di tempat yang dituju. Kami banyak mengahbiskan aktu disana ketika itu, lalu berbelanja sebentar dan bergegas pulang.
            “Aku ke pasrkiran duluan ya Sa,” kata Meysha padaku. Aku mengangguk. Saat itu aku masih melihat-lihat aksesoris di sebuah distro khusus wanita.
            Tak lama kemudian aku berjalan menuju parkiran pula, namun langkahku terhenti saat akan sampai disana, aku melihat sebuah pamplhet di dinding dekat pintu keluar mall. The Finest Tree. Aku tertegun sesaat ketika melihat foto yang terpampang adalah lelaki itu. Pikiranku terbuyarkan saat terdengar suara klakson mobil. Aku menoleh, “Tunggu,” lalu berlari kecil.
            “Apa yang kau lihat tadi?” tanya Meysha. “The Finest Tree akan mengadakan konser,” jawabku. “Benarkah? Salah satu personilnya kan Cakka Nuraga itu,” kembali Meysha berkata. Aku mengangguk. “Baiklah, besok aku akan membeli tiketnya,”lanjutnya. Aku mengalihkan pandanganku pada Meysha lalu kembali menatap ke arah depan.
___
            “Sabil, kau darimana saja? Crew telah menunggumu sejak tadi,” tanya mas Reno―salah satu crew acaraku.
            Aku masih tak ingin berbicara, hatiku masih menahan malu akan kejadian sebelum ini. Sesekali aku manarik nafas panjang dan menghembuskannya kencang, tak tahu apa yang harus kulakukan lagi setelah ini.
            “Sabiiiiillll!!!”
            “A-a-?” aku terkejut bukan main. Teriakkan mas Reno benar-benar membuatku kehilangan setengah dari nyawaku. “Aaaah mengapa kau mengagetkanku Mas Reno?” tanyaku kesal.
            “Kau itu memikirkan apa? Dari tadi aku berbicara padamu tapi kau tak menanggapi,”gumam mas Reno balik kesal.
            Aku menyenderkan tubuhku pada kursi―lagi―lalu mengerutkan alis. “Mas, aku malu.”
            Mas Reno tertawa, “Malu kenapa?”
            Aku kembali menghela nafas, mataku kosong, namun sesekali mengedip. Aku menceritakan kejadian yang ku alami tadi sebelum sampai di studio.

“Tunggu!!!”
             Aku berlari kencang seakan mengulang jalan cerita hidupku dulu. Lagi-lagi aku mengejar lift, aku terlambat lagi. Baiknya, aku masih terselamatkan, aku masih mampu menghentikan laju lift itu. Dan seperti layaknya sebuah mimpi yang menjadi kenyataan atau entah sebaliknya, aku kembali bertemu dengan artis itu di dalam lift.
            “Cakka Nuraga?” sebutku ketika menatapnya. Dia sendirian,sama seperti saat pertama kali bertemu,Elang―yang kutahu itu nama kakaknya―tak bersamanya.
            Dia menggerakkan bola matanya sedikit ke arahku tanpa sedikit mengubah posisi badan dan kepalanya. Apa-apaan?!
            “Apakah sekarang kau menjadi bisu?” tanyaku padanya sambil mengibaskan tangan dihadapannya. Dia tetap diam. Akhirnya aku memutuskan untuk meminta tanda tangannya kembali. Aku mengorek seisi tasku, namun tak kutemui kertas atau buku, yang kutemui hanya pulpen, baru saja akan mengeluarkan pulpen itu, ternyata ada sesuatu yang ikut keluar lalu terjatuh. Apa itu? Mataku langsung tertuju pada selembaran itu. “Oh tidak.”
            “Terima kasih telah membeli,” gumamnya sambil tertawa kecil. Aku baru ingat, semalam Meysha memberikan tiket konser The Finest Tree padaku, padahal aku tak menyuruhnya untuk membeli, tapi dia malah membelikan untukku. “Hanya sekedar menemaniku,” kata Meysha kala itu.
            Aku langsung mengambil tiket itu dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Pintu lift terbuka. Cakka berlalu.

            Mas Reno tertawa mendengar ceritaku, bahkan tertawanya pun mengandung unsur ejekkan. Aku hanya bisa merengek malu.
            “Ayo syuting, kau ini ada-ada saja,” sahut mas Reno sambil sedikit meredakan tawanya.
            “Aku tak mau,” jawabku ketus.
            “Hmm kau akan menyesal jika tak syuting hari ini, kita kedatangan tamu spesial,” jelas mas Reno sambil mengangkat satu alisnya. Mencurigakan.
            “Siapa,Mas?” tanyaku tambah menyelidik. Aku melihat sekeliling isi studio. Tak ada artis yang sedang siap-siap.
            “Yang telah mempermalukanmu tadi di lift,” katanya dan lagi-lagi tertawa.
            “Apaaa???”
***
            3...2...1... Action!!!
            Aku memulai syuting acaraku detik ini, bisa dibilang pikiranku tak bisa fokus, bagaimana tidak? Saat ini disampingku telah duduk band itu, yang aku permasalahkan bukan kak Elang, tapi Cakka Nuraga. Jujur saja, aku gugup, bahkan aku telah kehilangan rasa percaya diriku. Aku tak pernah menyangka band anak muda seperti ini bisa diundang di acara seperti ini, “Sekarang sedang booming narkoba dan pembalakkan hutan secara liar,” itulah penjelasan mas Reno yang masing terngiang di telingaku. Mungkin karena nama dan konsep yang di ambil dari band ini jadi mereka bisa di undang disini.
            Saat sesi wawancara pun artis itu terus menerus menatapku, benar-benar membuyarkan konsentrasi, tatapannya itu...
            --5 menit lagi—
            Aku melihat papan yang diangkat oleh mas Reno. Aku langsung mempercepat proses wawancara, kebetulan acaraku adalah acara yang selalu tampil live.
            “Sampai jumpa,” kata-kata itu akhirnya menutup acaraku. Aku menghela nafas panjang. Lalu seakan tersadar, salah satu crew menyuruhku berterima kasih atas kehadiran band itu. Otomatis aku langsung mengangkat badan dan mengajak bersalaman pada mereka, namun apa yang terjadi? Cakka menarik tanganku dan...

            Aku berlari ke arah toilet. Disana aku membasuh wajahku dengan air, “Astaga..” ucapku sambil menepuk-nepuk pipi. Aku beberapa kali mencuci wajahku dengan air, biarlah make-up luntur―pikirku. Setelah merasa lega, aku kembali ke studio meskipun menyadari bahwa artis itu pasti masih ada.
            “Kau kenapa?”
            Aku menhentikan langkah, seseorang menghalangi langkahku. Aku mendongak, “Kau?! Bukan urusanmu, minggir.”
            Terdengar ia tertawa, “Lihatlah, wajahmu memerah.”
            Aku tak memperdulikan kata-katanya, aku terus berjalan bahkan ketika melewatinya pun aku sengaja sedikit mendorong bahunya dengan bahuku.
***
           
            29 Juni 2013. Hari ini adalah hari dimana konser itu dimulai, tiga jam lagi. Aku masih sibuk mengurus penampilanku sebelum Meysha datang menjemput.
            “Kau belum siap-siap, Sa?!” tanya Meysha ketika sampai dirumahku. Aku menggeleng. “Astaga. Aku mengerti kau kini mudah dikenali orang, tapi...” diam sejenak lalu, “Ah aku tahu style yang harus kau pakai.”
            Entah ilham apa yang turun pada Meysha sehingga muncul ide untuk mendandaniku seperti ini. Sangat memalukan, kemeja kusam yang dipadukan dengan rok tua dengan pendek selutut, rambut kepang dua, dan berkacamata. Aku seperti orang idiot. Awalnya aku menolak, tapi apa boleh buat, semua ini demi kebaikanku――mungkin.
            ―――
            “Lihat, penontonnya kebanyakan remaja perempuan,” gumam Meysha seketika sampai di gedung konser.
            Aku tersenyum, “Pasti, band yang memiliki vokalis idaman. Oh ya, kita memesan tiket VVIP?”
            “Tentu!” jawab Meysha cepat. Aku hanya melongok.
            Konser pun dimulai, posisi kami paling depan, sangat depan. Terlihat Meysha mengikuti alur konser dengan sangat gembira. Namun aku hanya menyenderkan tubuhku pada kursi dimana aku duduk, menumpangkan sebilah kaki pada kakiku yang satu lagi, dan melipat tangan. Aku fokus memperhatikan tingkah artis itu.
            “Mengapa selalu melihat ke arah sini?” pikirku dalam hati. Beberapa kali Cakka melihat ke arah kami duduk, dan bertepatan itu pula aku selalu mengalihkan pandangan.
            Konser break sebentar. Lalu ada seseorang yang memanggilku, katanya ia adalah promotor dari konser itu. Aku hanya menurut. Tak lama kemudian aku ditempatkan disebuah sudut panggung.
            “Oh tidak, apa-apaan ini?!” gumamku saat tersadar aku sedang berada di atas panggung utama. Aku beranjak dari tempat dudukku, namun pada saat itu lampu lighting langsung menyinariku, aku menutup sebagian wajahku karena silau. Lalu senandung musik pun terdengar di telingaku, yang lebih parah, panggung dimana aku berpijak operating bergerak ke arah tengah. Ketika itu aku sempat akan terjatuh. Memalukan.
            “Kini tiba masanya, memulai takdir kita...”
Aku menoleh pada sumber nyanyian itu. “Ca-cakka?!”
Dia tersenyum padaku lalu mengangkat kedua alisnya, aku terkejut bukan main, bagaimana bisa ini terjadi? Lalu ini menghampiriku, menggenggam tanganku dengan terus menatap mataku, aku..aku tak tak tahu harus melakukan apa.
Ketika lagu selesai dinyanyikan, kau tahu apa yang ia lakukan? Ia memelukku. Serentak sorak penonton tumpah pada saat itu juga. Aku terpaku, mataku tak berkedip, jantungku berdetak sangat kencang, bahkan aliran darahku seakan terhenti.
Dalam bisiknya ketika itu, “Supacool.” Tak lama ia melepaskan pelukannya. Lalu berbicara pada para fansnya “Maaf,” lalu tertawa dan mengedipkan satu matanya padaku.
                                                                                                            ~ARB~

No comments:

Post a Comment

Silahkan komentar guna menambah inspirasi saya