Selamat Datang Lupa Bawa Nyali
Aku berlari ke arah lift, kecepatan lariku mungkin
layaknya hyena yang sedang memburu mangsanya. Ketika sampai, pintu lift sedang
operating tertutup, aku mencegahnya, “Hei tunggu dulu!!!” teriakku kencang
sambil membukakan pintu lift—seperti wanita perkasa. Aku pun masuk lalu
menyandarkan tubuhku ke dinding lift, tanganku melekat pada dada yang berisikan
jantung karena saat itu berdetak sangat cepat, nafasku pun masih
terengah-engah. Bagaimana tidak? Aku sedang mengejar waktu karena hari ini
adalah casting perdanaku menjadi pembaca berita.
“Oh tidak, bagaimana ini? Mati sudah harapanku!” sahutku
pada diri sendiri. Aku menyadari seseorang disampingku tersentak setelah
mendengar apa yang kukatakan, aku pun menoleh padanya dan tersenyum masam.
Hening sejenak lalu aku melihat layar monitor yang terdapat pada sudut lift 5 . Aku tersentak hebat, tak lama kemudian
lift terhenti dan pintu sedikit demi sedikit membuka, tapi kejadiannya berubah
setelah aku menekan kembali tombol lift untuk turun ke lantai dua.
Pagi yang cerah menyambutku dengan helaian penuh kasih sayang. Seperti
sedang dimanjakan, aku tak tega mengubah posisi tidurku, maksudku mengubah
untuk menjadi duduk atau bahkan berdiri. Ya semua itu demi mencapai sebuah kata
‘bermalas-malasan’. Bahkan alarm ponselku sudah berkali-kali berdering, dan
selama itu pula aku sudah berkali-kali mematikannya. Hari ahad yang
sangat-sangat bebas. Namun pada akhirnya aku pun bangun. “Huaaa, segar sekali!”
ucapku sembari menguap. Aku melihat jam dinding kostanku, “Jam 10, akhirnya aku
bisa bangun sesiang ini setelah SKS membuat stres otakku.” Aku berjalan ke arah
kamar mandi, namun langkahku terhenti saat melewati sebuah kalender, telunjukku
mencari-cari tanggal yang menunjukan hari ini. 07 Mei 2013. Arah jariku
menyusuri anak panah yang melingkari tanggal itu, di ujung kanan tanggal itu
ternyata ada sebuah memo kecil ‘audition’. Aku tersentak bukan main, “Oh
tidaaaak!!!!”
“Maaf,”
satu kata yang aku keluarkan ketika memasuki ruangan casting tersebut. Ya,
ruangan itu lebih akrab dikatakan studio. Studio milik salah satu televisi
swasta di Indonesia. Kemudian terlihat salah satu crew disana menghampiriku dan
bertanya ramah, “Dengan peserta bernama?” Aku pun menjawab, “Salsabila Aisyah.”
Lalu ia memberikan selembaran—berukuran sekitar 3cmx4cm—yang bertuliskan angka,
aku sudah mengira pasti itu adalah nomor urut, ternyata benar saja. “Oh Tuhan,
andaikan saja aku tak datang terlambat aku tak akan menunggu hingga urutan 335
seperti ini,” ujarku ketika mendapatkan sebuah tempat duduk. Aku melihat
sekeliling, sepertinya sebelum aku datang pun tempat ini sudah dipenuhi banyak
peserta, aku menghela nafas panjang dan kembali melihat selembaran kecil itu.
Delapan
jam berlalu. “Tiga ratus tiga puluh lima,” aku tersentak dengan suara itu, ya,
sekian lama menunggu tanpa disadari aku terlelap. Aku segera masuk studio itu,
sebelum itu aku baru menyadari pula, peserta audisi hanya tersisa aku saja,
tidak ada siapa-siapa lagi. “Selamat malam, dengan peserta terakhir Salsabila
Aisyah,” sapa seorang wanita yang sudah tak asing lagi aku lihat di layar kaca.
Aku tersenyum.
Aku berjalan
menyusuri setiap koridor gedung stasiun televisi itu, dalam benakku masih
terdapat gerutuan karena audisi yang tadi aku ikuti hanya berlangsung sekitar
10 menit, padahal aku telah menunggu selama 8 jam. “Jika aku tak lolos audisi
maka sia-sia saja perjuanganku,” ujarku sambil terus berjalan. Akhirnya aku
berhenti di depan sebuah lift, tepat sekali, ketika sampai pintu lift pun
terbuka, aku menunggu orang-orang keluar, lalu segera masuk setelah itu. Saat
itu bukan aku saja penghuni lift tersebut, tapi ada dua orang lainnya. Mereka
berdiri di belakangku. Perasaanku tak enak, jadi aku tak mau sedikitpun
menoleh. Namun...
“Kau!!!”
Mataku
terbelalak seketika mendengar sentakan itu, aku langsung sedikit menghindar
dari sumber suara itu lalu menoleh. Setelah mengetahui siapa yang menyapaku
dengan sadis tersebut aku langsung berkata, “A-apa? Kau ada masalah denganku?”
Dia mendengus,“Kau masih
sempat-sempatnya bertanya seperti itu?” tanyanya kembali sambil menampakkan
wajah sangar.
Aku mengerjapkan mata sekali,
“Memangnya apa salahku?”
“Salahmu? Kau telah membuatku
terlambat pagi tadi, kau membuat schedule-ku menjadi berantakan, dan sekarang
kau tak mau mengakuinya,” sahut lelaki itu kencang.
Aku tertegun lalu menatap lelaki
itu, “Kau, kau juga membuatku terlambat.”
Terlihat dia memendam amarah yang
siap untuk membludak, aku hanya berusaha menampangkan wajah suci tanpa dosa.
Aku menyadari, selama perbincangan panas tadi, seseorang yang berada di samping
lelaki itu fokus memperhatikan kami.
“Kalian saling kenal?” tanya lelaki
yang tadi sempat aku pikirkan.Kami menggeleng, “Lalu mengapa ribut-ribut? Ini
lift.”
“Maaf,” gumamku sambil menundukkan
kepala. “Lagipula ini bukan kesalahanku, aku hanya menurunkan lift dua lantai
saja tadi pagi.”
“Masih saja membuat alasan, kau
salah, akui saja!” kembali lelaki galak itu memarahiku. “Begitu beraninya kau
dengan artis macamku ini,”
Kepalaku langsung berputar cepat
seketika mendengar pengakuannya, “Artis?” Bahkan aku tak pernah melihatnya di
layar kaca.
Ia mengangguk sombong. “Aku tak
pernah melihatmu selama ini, kau siapa memang?”tanyaku polos.
Bukannya menjawab, ia malah balik
bertanya, “A-apa?! Kau tak tahu siapa aku?” Aku menggeleng. “Oh Tuhan, Kak
tolong beritahu dia,”
“Kau benar-benar tidak mengenalnya?”
tanya seseorang yang disebut kakak itu. Lagi-lagi aku menggeleng. “Cakka Nuraga,
tahu?”
Aku tersenyum, “Aku pernah
mendengarnya, selintas, aku kira itu bukan nama artis.” Lalu tertawa kecil.
Pintu lift terbuka. Semua mata
tertuju pada satu titik itu, aku melangkahkan kaki meninggalkan kedua orang
itu. Ketika berjalan aku mendengar bisik-bisik mereka.
“Kak Elang, kau percaya ada orang
yang tak mengenalku?” tanya Cakka—lelaki galak tadi—pada lelaki yang
bersamanya. Tanpa mengeluarkan kata-kata,Elang—kakak Cakka—hanya tertawa kecil.
***
Serentak aku pun membaringkan
tubuhku pada kasur. Mataku terpejam seakan ingin relaksasi sebentar, namun
tiba-tiba bayang lelaki itu kembali datang,“Siapa lelaki itu sebenarnya?”
tanyaku dalam hati. Tiba-tiba saja bunyi ponsel membuyarkan semuanya.
“Halo?”
“Halo Sabil, ini Meysha. Bagaimana audisinya?”
“Oh, begitulah. Aku tak tahu akan lolos atau tidak.”
“Ayolah jangan pesimis, kau tahu? Kau akan sering bertemu artis jika lolos,”
“Lagipula aku tadi telah bertemu artis, ah tidak-tidak, dia bukan artis,”
“Siapa Sa?”
“Aku tak tahu jelasnya, tapi dia memberitahu namanya Cakka Nur-nur..”
“Raga?”
“Halo Sabil, ini Meysha. Bagaimana audisinya?”
“Oh, begitulah. Aku tak tahu akan lolos atau tidak.”
“Ayolah jangan pesimis, kau tahu? Kau akan sering bertemu artis jika lolos,”
“Lagipula aku tadi telah bertemu artis, ah tidak-tidak, dia bukan artis,”
“Siapa Sa?”
“Aku tak tahu jelasnya, tapi dia memberitahu namanya Cakka Nur-nur..”
“Raga?”
Ternyata hanya aku saja yang tak
mengenal lelaki itu. Entah karena aku yang kuper atau tak update. Aku
diberitahu Meysha semuanya setelah bercerita kronologi pertemuanku dengan
lelaki itu. Bahkan Meysha menginginkan tanda tangan artis itu, dan memintaku
berjanji untuk mendapatkannya. Aku hanya tertegun.
***
Satu bulan berlalu. Aku kembali
menghubungi Meysha untuk memberitahu bahwa aku lolos audisi dan menerima
kontrak kerja perdana selama 3 tahun. Dia bersorak ketika mendengarnya, aku
hanya tersenyum, pikirku,“Ternyata tak sia-sia dulu aku lama menunggu dan
berlatih setiap malam untuk menjadi pembawa berita seperti sekarang ini.”
Hari ini aku baru saja mendapat
honor pertamaku, mimik bahagia tak elak aku lepaskan dari raut wajahku selama
berjalan menyusuri koridor gedung. Berjalan di koridor, hal yang selalu aku
lakukan semenjak pertama kali menginjakkan kaki di gedung ini, setelah itu
pasti menuju lift tempat aku bertemu artis itu. Dan takdir pun berkata aku
harus bertemu dengannya lagi, tepat ketika mata kami saling bertemu, “Kau?”
Dia tak menghiraukanku, dia berjalan
keluar lift lalu melewatiku. Aku terpaku pada saat itu juga, “Cakka?!” Ia
terhenti.
Berjalan sedikit, aku sudah berada
dekat dengannya, “Bisakah kau membalikkan badan?” tanyaku gugup. Lalu ia
melakukannya.
“Mau apa lagi kau?” tanyanya ketus.
Padahal ketika itu aku telah memberikannya senyuman dan berlaga baik padanya.
“A-aku aku,” bicaraku terhenti, lalu
sibuk mengambil sesuatu dari dalam tas tanganku. “Ini,”
“Kau menginginkan tanda tanganku?”
tanyanya lalu tertawa lepas. Aku menunduk. Tanganku masih dalam posisi
menyodorkan buku kecil dan bolpoint. “Kemarikan,”
Aku mendongak lalu tersenyum,
“Terimakasih.” Aku melihatnya sedang menandatangani bukuku, lalu ponselku
berbunyi. “Halo?” kataku seraya menjauh dari lelaki itu. “Oh baiklah,” ujarku
di akhir pembicaraan.
“Ini,” kata lelaki itu—Cakka—setelah
aku menutup telepon. Aku tersenyum, “Terimakasih banyak, sebenarnya ini...”
belum sempat aku menyelesaikan omonganku dia mengambil ponsel dari genggamanku.
“A-a mau apa kau?”
Tepat satu gerakan badan, ia
mendekatkan tubuhnya padaku dan mengarahkan wajah kami di depan kamera ponsel.
Aku melongok. Entah bagaimana hasil dari foto itu dengan ekspresi wajahku yang
begitu memalukan, pikirku.
“Sudah puas? Baiklah, aku pergi
dulu,” ujarnya padaku setelah memberikan kembali ponselku. Aku masih setengah
sadar, sesekali mengerjapkan mata dan memandangi dirinya yang membuatku terpaku
kala itu.
***
“Ayo Sa, aku tunggu kau di
parkiran.” Seingatku itulah kata-kata yang terakhir diucapkan Meysha ditelepon.
Aku segera menghampirinya selepas bekerja. Rencananya kami akan makan di sebuah
restaurant sekitar mall.
“Maaf, tadi aku dipanggil produserku
dulu,” gumamku ketika bertemu Meysha. Aku berharap agar dia tak marah karena
lama menunggu.
“Tak apa, ayo kita pergi sekarang.”
Beruntung dia tak marah padaku.
Akhirnya kami sampai di tempat yang
dituju. Kami banyak mengahbiskan aktu disana ketika itu, lalu berbelanja
sebentar dan bergegas pulang.
“Aku ke pasrkiran duluan ya Sa,”
kata Meysha padaku. Aku mengangguk. Saat itu aku masih melihat-lihat aksesoris
di sebuah distro khusus wanita.
Tak lama kemudian aku berjalan
menuju parkiran pula, namun langkahku terhenti saat akan sampai disana, aku
melihat sebuah pamplhet di dinding dekat pintu keluar mall. The Finest Tree.
Aku tertegun sesaat ketika melihat foto yang terpampang adalah lelaki itu.
Pikiranku terbuyarkan saat terdengar suara klakson mobil. Aku menoleh,
“Tunggu,” lalu berlari kecil.
“Apa yang kau lihat tadi?” tanya
Meysha. “The Finest Tree akan mengadakan konser,” jawabku. “Benarkah? Salah
satu personilnya kan Cakka Nuraga itu,” kembali Meysha berkata. Aku mengangguk.
“Baiklah, besok aku akan membeli tiketnya,”lanjutnya. Aku mengalihkan
pandanganku pada Meysha lalu kembali menatap ke arah depan.
___
“Sabil, kau darimana saja? Crew
telah menunggumu sejak tadi,” tanya mas Reno―salah satu crew acaraku.
Aku masih tak ingin berbicara,
hatiku masih menahan malu akan kejadian sebelum ini. Sesekali aku manarik nafas
panjang dan menghembuskannya kencang, tak tahu apa yang harus kulakukan lagi
setelah ini.
“Sabiiiiillll!!!”
“A-a-?” aku terkejut bukan main.
Teriakkan mas Reno benar-benar membuatku kehilangan setengah dari nyawaku.
“Aaaah mengapa kau mengagetkanku Mas Reno?” tanyaku kesal.
“Kau itu memikirkan apa? Dari tadi
aku berbicara padamu tapi kau tak menanggapi,”gumam mas Reno balik kesal.
Aku menyenderkan tubuhku pada
kursi―lagi―lalu mengerutkan alis. “Mas, aku malu.”
Mas Reno tertawa, “Malu kenapa?”
Aku kembali menghela nafas, mataku
kosong, namun sesekali mengedip. Aku menceritakan kejadian yang ku alami tadi
sebelum sampai di studio.
“Tunggu!!!”
Aku berlari kencang seakan mengulang jalan
cerita hidupku dulu. Lagi-lagi aku mengejar lift, aku terlambat lagi. Baiknya,
aku masih terselamatkan, aku masih mampu menghentikan laju lift itu. Dan
seperti layaknya sebuah mimpi yang menjadi kenyataan atau entah sebaliknya, aku
kembali bertemu dengan artis itu di dalam lift.
“Cakka Nuraga?” sebutku ketika
menatapnya. Dia sendirian,sama seperti saat pertama kali bertemu,Elang―yang
kutahu itu nama kakaknya―tak bersamanya.
Dia menggerakkan bola matanya
sedikit ke arahku tanpa sedikit mengubah posisi badan dan kepalanya.
Apa-apaan?!
“Apakah sekarang kau menjadi bisu?”
tanyaku padanya sambil mengibaskan tangan dihadapannya. Dia tetap diam.
Akhirnya aku memutuskan untuk meminta tanda tangannya kembali. Aku mengorek
seisi tasku, namun tak kutemui kertas atau buku, yang kutemui hanya pulpen, baru
saja akan mengeluarkan pulpen itu, ternyata ada sesuatu yang ikut keluar lalu
terjatuh. Apa itu? Mataku langsung tertuju pada selembaran itu. “Oh tidak.”
“Terima kasih telah membeli,”
gumamnya sambil tertawa kecil. Aku baru ingat, semalam Meysha memberikan tiket
konser The Finest Tree padaku, padahal aku tak menyuruhnya untuk membeli, tapi
dia malah membelikan untukku. “Hanya sekedar menemaniku,” kata Meysha kala itu.
Aku langsung mengambil tiket itu dan
memasukkannya kembali ke dalam tas. Pintu lift terbuka. Cakka berlalu.
Mas Reno tertawa mendengar ceritaku, bahkan tertawanya pun mengandung unsur
ejekkan. Aku hanya bisa merengek malu.
“Ayo syuting, kau ini ada-ada saja,”
sahut mas Reno sambil sedikit meredakan tawanya.
“Aku tak mau,” jawabku ketus.
“Hmm kau akan menyesal jika tak
syuting hari ini, kita kedatangan tamu spesial,” jelas mas Reno sambil
mengangkat satu alisnya. Mencurigakan.
“Siapa,Mas?” tanyaku tambah
menyelidik. Aku melihat sekeliling isi studio. Tak ada artis yang sedang
siap-siap.
“Yang telah mempermalukanmu tadi di
lift,” katanya dan lagi-lagi tertawa.
“Apaaa???”
***
3...2...1...
Action!!!
Aku memulai syuting acaraku detik
ini, bisa dibilang pikiranku tak bisa fokus, bagaimana tidak? Saat ini
disampingku telah duduk band itu, yang aku permasalahkan bukan kak Elang, tapi
Cakka Nuraga. Jujur saja, aku gugup, bahkan aku telah kehilangan rasa percaya
diriku. Aku tak pernah menyangka band anak muda seperti ini bisa diundang di
acara seperti ini, “Sekarang sedang booming narkoba dan pembalakkan hutan
secara liar,” itulah penjelasan mas Reno yang masing terngiang di telingaku.
Mungkin karena nama dan konsep yang di ambil dari band ini jadi mereka bisa di
undang disini.
Saat sesi wawancara pun artis itu
terus menerus menatapku, benar-benar membuyarkan konsentrasi, tatapannya itu...
--5 menit lagi—
Aku melihat papan yang diangkat oleh
mas Reno. Aku langsung mempercepat proses wawancara, kebetulan acaraku adalah
acara yang selalu tampil live.
“Sampai jumpa,” kata-kata itu
akhirnya menutup acaraku. Aku menghela nafas panjang. Lalu seakan tersadar,
salah satu crew menyuruhku berterima kasih atas kehadiran band itu. Otomatis
aku langsung mengangkat badan dan mengajak bersalaman pada mereka, namun apa
yang terjadi? Cakka menarik tanganku dan...
Aku berlari ke
arah toilet. Disana aku membasuh wajahku dengan air, “Astaga..” ucapku sambil
menepuk-nepuk pipi. Aku beberapa kali mencuci wajahku dengan air, biarlah
make-up luntur―pikirku. Setelah merasa lega, aku kembali ke studio meskipun
menyadari bahwa artis itu pasti masih ada.
“Kau kenapa?”
Aku menhentikan langkah, seseorang
menghalangi langkahku. Aku mendongak, “Kau?! Bukan urusanmu, minggir.”
Terdengar ia tertawa, “Lihatlah,
wajahmu memerah.”
Aku tak memperdulikan kata-katanya,
aku terus berjalan bahkan ketika melewatinya pun aku sengaja sedikit mendorong
bahunya dengan bahuku.
***
29 Juni 2013. Hari ini adalah hari
dimana konser itu dimulai, tiga jam lagi. Aku masih sibuk mengurus penampilanku
sebelum Meysha datang menjemput.
“Kau belum siap-siap, Sa?!” tanya
Meysha ketika sampai dirumahku. Aku menggeleng. “Astaga. Aku mengerti kau kini
mudah dikenali orang, tapi...” diam sejenak lalu, “Ah aku tahu style yang harus
kau pakai.”
Entah ilham apa yang turun pada
Meysha sehingga muncul ide untuk mendandaniku seperti ini. Sangat memalukan,
kemeja kusam yang dipadukan dengan rok tua dengan pendek selutut, rambut kepang
dua, dan berkacamata. Aku seperti orang idiot. Awalnya aku menolak, tapi apa
boleh buat, semua ini demi kebaikanku――mungkin.
―――
“Lihat, penontonnya kebanyakan
remaja perempuan,” gumam Meysha seketika sampai di gedung konser.
Aku tersenyum, “Pasti, band yang
memiliki vokalis idaman. Oh ya, kita memesan tiket VVIP?”
“Tentu!” jawab Meysha cepat. Aku
hanya melongok.
Konser pun dimulai, posisi kami
paling depan, sangat depan. Terlihat Meysha mengikuti alur konser dengan sangat
gembira. Namun aku hanya menyenderkan tubuhku pada kursi dimana aku duduk,
menumpangkan sebilah kaki pada kakiku yang satu lagi, dan melipat tangan. Aku
fokus memperhatikan tingkah artis itu.
“Mengapa selalu melihat ke arah sini?”
pikirku dalam hati. Beberapa kali Cakka melihat ke arah kami duduk, dan
bertepatan itu pula aku selalu mengalihkan pandangan.
Konser break sebentar. Lalu ada
seseorang yang memanggilku, katanya ia adalah promotor dari konser itu. Aku
hanya menurut. Tak lama kemudian aku ditempatkan disebuah sudut panggung.
“Oh tidak, apa-apaan ini?!” gumamku
saat tersadar aku sedang berada di atas panggung utama. Aku beranjak dari tempat
dudukku, namun pada saat itu lampu lighting langsung menyinariku, aku menutup
sebagian wajahku karena silau. Lalu senandung musik pun terdengar di telingaku,
yang lebih parah, panggung dimana aku berpijak operating bergerak ke arah
tengah. Ketika itu aku sempat akan terjatuh. Memalukan.
“Kini tiba masanya, memulai takdir
kita...”
Aku
menoleh pada sumber nyanyian itu. “Ca-cakka?!”
Dia
tersenyum padaku lalu mengangkat kedua alisnya, aku terkejut bukan main,
bagaimana bisa ini terjadi? Lalu ini menghampiriku, menggenggam tanganku dengan
terus menatap mataku, aku..aku tak tak tahu harus melakukan apa.
Ketika
lagu selesai dinyanyikan, kau tahu apa yang ia lakukan? Ia memelukku. Serentak
sorak penonton tumpah pada saat itu juga. Aku terpaku, mataku tak berkedip,
jantungku berdetak sangat kencang, bahkan aliran darahku seakan terhenti.
Dalam
bisiknya ketika itu, “Supacool.” Tak lama ia melepaskan pelukannya. Lalu
berbicara pada para fansnya “Maaf,” lalu tertawa dan mengedipkan satu matanya
padaku.
~ARB~
No comments:
Post a Comment
Silahkan komentar guna menambah inspirasi saya