Ayesha meminum secangkir double
espresso yang dipesannya dengan sekali teguk. Matanya menatap kosong ke depan,
dan seketika menyimpan kembali cangkir
itu dengan sedikit keras. Pelayan yang baru saja mengantarkan pesanan gadis itu
pun sontak tercengang. Ia membalikkan badan kembali memperhatikan Ayesha dengan
penuh kebingungan.
Tak lama dari itu, Ayesha mengambil
ponselnya dan kembali terpaku pada sebuah gambar. Ia menarik nafas panjang
seraya menghembuskannya perlahan.
“Kau tahu kesalahan besar apa yang
telah kau lakukan?” Tanya Ayesha sambil terus menatap foto yang ada di layar ponselnya.
Terlihat mata gadis 24 tahun itu
berkaca-kaca, lalu tetes demi tetes air mata pun jatuh mengenai layar
ponselnya. Malam ini adalah malam ke delapan Ayesha mengunjungi kedai kopi di
dekat kantornya. Sang barista dan pelayan pun sampai-sampai hafal dan mengingat
betul wajah gadis cantik itu.
Ayesha selalu menduduki kursi yang
sama, terletak di sudut ruangan dan sedikit agak jauh dengan meja pengunjung
lainnya. Menu yang dipesannya pun selalu sama, secangkir double espresso. Ia menghabiskan
sekitar 4 jam di kedai kopi itu lalu akan pulang ke apartement dengan
mengendarai mobilnya sendiri. Ya, ia selalu sendirian.
“Hal yang dilakukan gadis itu selalu
sama, bahkan berakhir semakin buruk,” ujar seorang barista sambil memperhatikan
Ayesha dari balik meja bar.
“Sepertinya ia sedang diterpa
masalah, namun kali ini dia benar-benar menangis. Astaga,” kata salah seorang
barista lain ikut menanggapi.
Ayesha menghapus air mata di pipinya
dengan punggung tangannya. Eyeliner dan mascara yang ia kenakan membuat mata
dan pipinya hitam. Gadis itu sesekali mengibaskan rambutnya. Matanya kosong bak
sedang memikirkan suatu hal yang sangat menyakitkan.
***
23 September 2016. Tepat 7 hari yang
lalu kejadian itu bermula.
“Ayesha!”
Terdengar suara seseorang memanggil.
Ayesha membalikkan badan dan mencari-cari sosok yang menyebut namanya itu. Tak
lama matanya terpaku pada seseorang yang sedang tersenyum lebar berjalan ke
arahnya. Bibir gadis itu pun ikut tak sadar telah membentuk lengkungan yang
indah.
Adam. Lelaki yang telah dikenal
Ayesha sekitar 3 bulan yang lalu. “Oh hai, sengaja kesini?” Tanya Ayesha begitu
lelaki itu telah di dekatnya.
“Tentu, akan ku ajak kau ke kedai
kopi dekat kantormu ini.” Jawab Adam disertai senyuman. Senyuman yang selalu
membuat hati siapa saja membeku. Tak terkecuali Ayesha.
Dengan mantap gadis itu menjawab,
“Ayo tunggu apa lagi.”
Mereka memutuskan menaiki mobil
milik Adam. Meskipun jarak antara kantor Ayesha dengan kedai kopi itu tidak
terlalu jauh, mereka berdua enggan berjalan kaki. Terlebih lagi Ayesha yang
mengenakan heels tak mau membuat kakinya lebih pegal dengan berjalan kaki.
When
I wake up to your footsteps as you get up out of bed
They
make a song that sounds so simple but it dances in my head
A
melody so perfect, that it gets me through the day
And
the thought of us forever, is one that won’t ever go away...
Suara
musik menyambut keduanya ketika mesin dinyalakan. Ayesha menatap Adam, “Kau
suka dengan lagu ini? Kau bahkan selalu memutar lagu ini saat bersamaku.”
Adam tersenyum sambil fokus
menyetir, “Ya.” Jawabnya singkat.
Ayesha mengalihkan pandangannya dan
melihat sekeliling jalan yang ramai. Ia menarik nafas panjang, lantas
memutuskan untuk membicarakan pekerjaan di kantornya.
“Sampai!”
Ayesha melihat bangunan khas kedai
kopi di depannya. “Astaga bagaimana mungkin aku melewatkan kedai kopi yang
tidak begitu jauh dengan kantorku?”
Pertanyaan Ayesha pun disambut tawa
oleh Adam. Mereka pun bergegas memasuki kedai kopi tersebut dan memilih kursi
yang berada di sudut ruangan. Agak berjauhan dengan meja pengunjung yang lain,
yang membuat semakin nyaman untuk ditempati.
Seorang pelayan pun menghampiri Adam
dan Ayesha, lantas menanyakan apa yang akan mereka pesan.
“Vanilla latte,” kata Ayesha duluan
memesan.
“Double espresso,” susul Adam sambil
mengedipkan sebelah matanya ke arah Ayesha.
Begitu pelayan itu pergi, Ayesha pun
bertanya, “Kau akan mengerjakan sesuatu sampai larut?”
“Oh tidak, aku hanya suka espresso.”
Adam menjawab lalu diam sejenak. Ayesha masih penasaran dengan jawaban Adam
yang sepertinya masih akan dilanjutkan. “Kau tahu? Secangkir espresso dapat
membuat malam semakin panjang.”
“Maksudmu?” Tanya Ayesha
terheran-heran.
“Kau tahu pepatah bahwa untuk
melupakan seseorang adalah dengan tidak melupakannya?” kata Adam. Ayesha hanya
menatap bingung lelaki itu.
“Aku berharap aku bisa melupakan
seseorang dengan tidak melupakannya atau bahkan memikirkannya. Namun aku selalu
memilih untuk menyibukkan diriku ketika malam tiba dan mengurangi waktu
tidurku. Aku ingin benar-benar sibuk,” Adam menunduk sejenak lantas
melanjutkan, “ Aku selalu yakin secangkir double espresso dapat membuatku
terjaga sepanjang malam sehingga aku benar-benar bisa melakukan suatu hal dan
melupakan sebuah kenangan.”
Belum sempat Ayesha menanggapi,
pesanan mereka pun tiba.
Terlihat Adam meniup cangkir
kopinya. Dan Ayesha tengah sibuk memasukkan gula ke dalam lattenya. Dalam satu
tegukkan Adam pun meminum double espresso miliknya. Ayesha mengangkat kedua
alisnya dan menatap terheran-heran.
“Oh memang begitu cara meminumnya,”
kata Adam cepat ketika melihat ekspresi Ayesha yang kebingungan.
“Aku tidak mengetahui banyak soal
kopi, namun temanku pernah membelikanku secangkir vanilla latte dan aku
menyukainya.” Cerita Ayesha. Adam hanya mengangguk mendengarkan. “Aku juga baru
tahu ada cerita lain mengenai espresso, yang kutahu hanya espresso itu
benar-benar pahit,” lanjut gadis itu disambut tawa kecil oleh Adam.
Ayesha terdiam kembali, sejenak
pikiran mengenai seorang gadis muncul dalam otaknya. “Kau belum bisa melupakan
mantanmu?” Tanya Ayesha ragu.
Adam sontak menatap Ayesha lalu
tertunduk sambil menggerak-gerakan cangkir kopinya yang sudah kosong.
“Aku tahu itu, selama ini pun aku
menyadarinya. Kau sangat sulit melupakannya. Kau bahkan selalu mendengarkan
lagu kesukaan gadis itu. Kau mungkin tidak menaruh rasa curiga soal itu, tapi
aku betul-betul mengetahuinya. Dan satu lagi, kau bahkan rela menengguk
secangkir espresso yang bahkan kau tidak menyukainya.”
Adam menatap Ayesha lekat, seolah tidak
percaya dengan kalimat terakhir yang diucapkannya. Ayesha tersenyum, “Tommy
yang menceritakannya padaku, kau tidak suka kopi.. Kau bahkan selalu memesan
hot chocholate sebelumnya. Aku tahu hal itu, meskipun kau menyembunyikannya.”
“Kau mungkin menjadikan secangkir
kopi untuk melampiaskan rasa kerinduanmu, sehingga kau bisa terjaga sepanjang
malam dan mengingat semua kenangan saat bersama dia. Itu alasan yang
sebenarnya.” Tatapan Ayesha pada Adam begitu dingin. Gadis itu tidak menampakkan
wajah yang berseri-seri atau bahkan senang seperti yang Adam selalu lihat
sebelumnya. Malam itu gadis itu memang dirundung kekecewaan.
Ayesha bangkit dari kursinya dan
beranjak pergi keluar kedai kopi. Tak memikirkan siapa yang membayar bill, ia
langsung keluar tanpa pamit.
Adam masih terdiam membeku mendengar
perkataan Ayesha. Namun buru-buru tersadar dan menyusul Ayesha sambil menyimpan
sejumlah uang di meja kedai kopi itu.
“Ayesha!” panggil Adam sambil
berlari mengejar gadis itu.
Ayesha berjalan dengan mata yang
berkaca-kaca. Ia menyusuri jalan yang masih ramai meskipun sudah agak malam. Ia
mendengar Adam memanggilnya, namun ia enggan membalikkan badan.
Sontak tangan Ayesha pun seperti ada
yang memegang, dan ternyata itu Adam.
“Aku bukan bermaksud....”
Belum sempat Adam melanjutkan
kata-katanya, air mata Ayesha pun jatuh. “Adam, aku kira kedekatan kita selama
ini akan membuahkan akhir yang indah. Namun ternyata aku salah. Aku harap kau
tidak menghubungiku lagi.” Ujar Ayesha dngan suara yang agak serak dan menahan
tangis.
Adam pun melepaskan pegangannya,
lantas membiarkan Ayesha pergi.
***
Hari terus berganti, Ayesha
menjalani hari-harinya tidak seperti biasanya. Ia sering melamun dan kantung
matanya bahkan semakin hitam. Setelah kejadian itu, Ayesha memutuskan untuk
mengunjungi kedai kopi yang ia kunjungi bersama Adam terakhir kali. Ia selalu
memesan secangkir double espresso... berharap bahwa apa yang diucapkan Adam
benar, “Aku selalu yakin secangkir double espresso dapat membuatku terjaga
sepanjang malam sehingga aku benar-benar bisa melakukan suatu hal dan melupakan
sebuah kenangan.”
Gadis itu memang mengenal Adam sejak
tiga bulan yang lalu—dikenalkan oleh Tommy. Gadis itu pun tahu bahwa Adam
memang belum bisa melupakan mantannya bahkan setelah mengenal Ayesha. Ayesha
tahu akan hal itu. Namun kenapa ia masih bertahan hingga akhirnya ia
benar-benar menyerah?
Sang barista yang semenjak tadi
memperhatikan Ayesha akhirnya menghampiri meja gadis itu.
“Kau baik-baik saja?” Tanya lelaki
itu sambil memberikan sebuah tisu.
Ayesha mendongak dan ia mengenali
siapa yang datang. Seorang barista kedai kopi
yang wajahnya memang sudah tidak asing dilihatnya.
“Terima kasih,” jawab Ayesha sambil
mengusapkan tisu ke pipinya.
“Kalau kau butuh bantuan jangan
sungkan, atau kau mau memesan secangkir kopi lagi? Tanya lelaki itu dengan
wajah cemas, lantas buru-buru menambahkan, “Oh jangan, kau tidak boleh terlalu
banyak mengkonsumsi kafein, meskipun... kau setiap hari meminumnya.”
Ayesha tersenyum, lalu memainkan
cangkir kopi di mejanya.
“Aku melihat kejadian saat malam
itu,” barista itu kembali membuka obrolan. Ayesha menatap seolah tak percaya.
“Itu pacarmu? Kalian bahkan terlihat bahagia begitu sesampainya di kedai ini,
namun berakhir begitu mengerikan,” lanjutnya.
Ayesha menggeleng pelan, “Bukan. Just almost,” ia diam sejenak, mencoba
menggapai semua kenangan dan rasa kecewa yang tak terungkapkan. “Kau tahu? Aku
melihat sosok itu jauh sebelum temanku mengenalkannya padaku, di suatu cafe. Ia
benar-benar mempesona, aku bahkan jatuh hati saat pertama kali melihatnya.
Namun pada akhirnya mimpi tersebut menjadi kenyataan, akhirnya aku mengenal
dirinya. Kita menjalani hubungan yang baik, meskipun cukup sulit baginya
memintaku sebagai pacarnya.” Ayesha
terkekeh pelan, butiran air mata sudah berada di ujung matanya.
“Dan kau menjadikan espresso sebagai
alat untuk mengenang sosoknya?” tanya barista itu.
Ayesha menatap laki-laki yang ada
dihadapannya. “Aku hanya melakukan apa yang dia lakukan, ia melakukan ini untuk
mengobati rasa rindunya pada pacarnya dulu. Dan aku pun...” Ayesha terdiam. Dia
seakan lupa bahwa ia tidak harus mengingat seseorang yang bukan menjadi
siapa-siapanya.
“Kau pasti tahu bahwa secangkir
espresso dapat membuatmu terjaga lebih lama. Kau menghabiskan hari-harimu
dengan mengingat semua kenangan bersamanya sehingga bisa mengobati rasa rindumu.
Berharap semuanya kembali sebagaimana mestinya. Namun, secangkir espresso tidak
dapat membuat semuanya kembali seperti semula.” Lelaki itu menghela nafas, “Kau
hanya tidak perlu menenggak rasa pahit dua kali, yang pertama akibat
espressomu, dan yang kedua adalah kenanganmu.”
Ayesha tertegun mendengar kalimat
itu. Ia menatap lekat lelaki yang ada di depannya, lantas menunduk sembari
mengusap air matanya.
“Kau benar, setidaknya rasa pahit
secangkir double espresso lebih baik dari pada rasa pahit akibat patah hati,”
tungkas Ayesha menutup obrolan malam itu.
***
No comments:
Post a Comment
Silahkan komentar guna menambah inspirasi saya