Tiga…
Mario Arditya membuka matanya yang terasa berat, lalu ia mengangkat
tangan menutupi matanya dan mengerang pelan. Pancaran sinar matahari yang
menembus jendela apartementnya menyilaukan matanya. Ia menguap lebar sambil
merenggangkan kaki dan tangan dengan posisi yang masih terbaring di tempat
tidur. Tak lama kemudian, ia segera menyergap ponselnya yang berada di meja kecil di samping
kasurnya.
“Astaga!” Mario terkesiap saat
mengetahui waktu telah menunjukkan pukul 09.20. Ia menyumpahi dirinya seraya
bangkit dan berlari ke kamar mandi dalam satu gerakan cepat.
Sepuluh menit berlalu. Lelaki itu
sudah siap menuju ke suatu tempat. Ia menutup pintu apartementnya dengan keras
lalu berlari menyusuri anak tangga. Ia hanya memiliki waktu 30 menit untuk
menyelesaikan semuanya.
Mario melangkah keluar gedung
apartementnya, berlari ke tempat pemberhentin bus yang berada dekat persimpangan
jalan. Nafasnya terengah-engah. Sesekali ia membetulkan letak ranselnya.
Beruntung ia tidak tertinggal bus menuju Castlereagh Street. Perjalanan ini
akan menempuh jarak sekitar 20 km.
Mario menarik napas dalam-dalam,
membuka tas ranselnya dan mengecek beberapa berkas yang dibawanya. Lengkap,
tidak ada yang tertinggal. Ia lalu melihat keluar kaca jendela bus, lantas baru menyadari langit Sydney kini lebih cerah dari biasanya. Meskipun
suhu hari ini menunjukan 16oC, ia tidak merasa kedinginan. Bukan
karena jaket yang dikenakannya, namun akibat berlari. Ya, lelaki itu pada
akhirnya berkeringat juga setelah mandi.
Lima belas menit berlalu. Ia telah
sampai di persimpangan jalan dan bersiap menyeberang. Mario akan mengunjungi
kantor International Educational Services— agent sekolahnya.
Akhirnya sampai juga. Ia pun
langsung memasuki suatu ruangan dan menemui seorang wanita paruh baya, yang
sepertinya telah menjadi konsultan pendidikannya selama di Australia.
Bukan-bukan, lebih tepatnya pengganti sementara konsultan pendidikan
sebelumnya. Karena seingatnya, wanita yang selalu mengurusi perihal sekolahnya
sudah resign, dan atasan dari wanita itu yang kini meng-backup pekerjaannya.
“Oh hi Mario, apa kabar?” sambut
wanita itu dalam bahasa Inggris ketika melihat Mario sudah duduk di depan meja
kerjanya. Keduanya memang sudah akrab dan telah bertemu dalam beberapa
kesempatan.
“Aku sangat buru-buru, ini
dokumennya. Aku datang sepagi karena aku akan ada acara hingga malam nanti,”
Mario bicara tanpa jeda sambil menyerahnya sebuah file berisi beberapa kertas.
Terlihat wanita itu mengecek
satu-satu isian file tersebut, lalu mengerut kecil dan bertanya, “GTE
Statement?”
Mario menghembuskan napas panjang,
ia baru saja akan marah sesaat sebelum wanita itu melanjutkan perkataannya,
“Aku sudah mengirim contohnya melalui email. Kau seharusnya mengecek emailmu.”
Mario melihat jam tangannya lalu
terkesiap saat menyadari kini sudah pukul 09.55. Ia akan tertinggal bus menuju
kampusnya jika lebih lama lagi berada di sini. “Baiklah aku akan menyerahkannya
nanti.”
Akhirnya lelaki itu buru-buru pamit
dan bergegas keluar ruangan.
“Mario, untuk berkas
itu aku tunggu maksimal
lusa, dan jangan lupa fee-nya,” tegas wanita itu lagi.
Mario hanya
mengangguk sambil tersenyum kecil dan berjalan keluar ruangan dengan segera. Dia membetulkan ranselnya sesampainya di
ujung zebra cross dan bersiap-siap menyeberangi jalan untuk mencegat bus yang
akan melintas sebentar lagi.
Terlihat Mario berjalan setengah berlari karena waktunya hanya tersisa dua menit. Di
sini, bahkan saat kita telat dua menit saja, kita akan tertinggal bus. Dan
akibatnya harus menunggu bis selanjutnya dengan jeda waktu yang lebih lama.
Hari ini ia harus menyetorkan tugas
kuliahnya. Sehingga jika ia telat, ia akan kehilangan nilai dari subject
tersebut. Dan ia tidak mau gagal untuk kedua kalinya dalam subject ini. Ya, tahun lalu ia
sempat menyepelekan tugas dari subject ini, dan alhasil gagal, padahal subject
tersebut merupakan subject penting untuk kelulusannya.
Lampu hijau untuk pejalan kaki pun
menyala. Mario kembali berjalan dengan tergesa-gesa. Ia melihat jam tangannya
untuk memastikan berapa menit lagi waktu yang tersisa untuknya. Namun,
tiba-tiba saja ia tersentak oleh tubrukan seseorang mengenai bahunya. Dalam
satu gerakan cepat ia berbalik untuk memastikan siapa yang menabraknya.
“Astaga, maaf!”
Terdengar suara seorang wanita
meminta maaf dalam bahasa asing. Beberapa detik mata mereka bertemu. Mata wanita
itu seolah-olah menatap lurus ke mata Mario. Seketika ia pun hanyut dalam tatapan itu. Sorot mata yang sudah lama ia lupakan. Sorot mata yang begitu mendamaikan hati siapa saja yang menatapnya. Astaga, gadis ini…
Suara klakson mobil membuat
ingatan-ingatan yang mencuat di kepala Mario kini hilang. Ia mengalihkan
pandangannya dan berjalan menuju pemberhentian busnya.
“Kali ini aku tidak akan kalah cepat,” ujar Mario ketika telah duduk di kursi bus dengan nafas
yang masih terengah-engah.
Tak lama dari itu, terdengar suara
dering telepon dari saku jaket Mario. Ia pun mengambil ponselnya dan menjawab
telepon tersebut.
“Halo?”
“Mario, saya akan ada perjalanan ke
luar kota lusa. Jadi usahakan kau kemari besok saja ya.”
Suara di ujung telepon ternyata
berasal dari konselor pendidikannya. Ya, dia menyuruh lelaki itu datang besok
untuk menyerahkan berkasnya.
“Astaga bagaimana mungkin, aku bahkan
belum mempersiapkannya. Dan GTE Statement itu harus dibuat saat aku benar-benar
santai. Lagi pula besok aku sudah ada janji.”
“Hmm,” suara dibalik telepon terdiam
sejenak, “baiklah baiklah, lusa saja,” lanjutnya.
Mario mematikan telepon tersebut.
Menghela nafas panjang lalu menatap jalanan kota Sydney. Benar-benar
menjengkelkan, pikirnya.
Sekelebat bayangan kejadian saat di
zebra cross tadi kini muncul kembali. Mario tampak mengerutkan alisnya, seperti
sedang mengingat-ingat sesuatu.
“Gadis itu…” ujarnya dalam
hati, lalu cepat-cepat menggelengkan kepala dengan harapan membuyarkan pikiran tersebut.
No comments:
Post a Comment
Silahkan komentar guna menambah inspirasi saya