Thursday, September 28, 2017

Secangkir Double Espresso


         Ayesha meminum secangkir double espresso yang dipesannya dengan sekali teguk. Matanya menatap kosong ke depan, dan seketika menyimpan  kembali cangkir itu dengan sedikit keras. Pelayan yang baru saja mengantarkan pesanan gadis itu pun sontak tercengang. Ia membalikkan badan kembali memperhatikan Ayesha dengan penuh kebingungan.
            Tak lama dari itu, Ayesha mengambil ponselnya dan kembali terpaku pada sebuah gambar. Ia menarik nafas panjang seraya menghembuskannya perlahan.
            “Kau tahu kesalahan besar apa yang telah kau lakukan?” Tanya Ayesha sambil terus menatap foto yang ada di layar ponselnya.
            Terlihat mata gadis 24 tahun itu berkaca-kaca, lalu tetes demi tetes air mata pun jatuh mengenai layar ponselnya. Malam ini adalah malam ke delapan Ayesha mengunjungi kedai kopi di dekat kantornya. Sang barista dan pelayan pun sampai-sampai hafal dan mengingat betul wajah gadis cantik itu.
            Ayesha selalu menduduki kursi yang sama, terletak di sudut ruangan dan sedikit agak jauh dengan meja pengunjung lainnya. Menu yang dipesannya pun selalu sama, secangkir double espresso. Ia menghabiskan sekitar 4 jam di kedai kopi itu lalu akan pulang ke apartement dengan mengendarai mobilnya sendiri. Ya, ia selalu sendirian.
            “Hal yang dilakukan gadis itu selalu sama, bahkan berakhir semakin buruk,” ujar seorang barista sambil memperhatikan Ayesha dari balik meja bar.
            “Sepertinya ia sedang diterpa masalah, namun kali ini dia benar-benar menangis. Astaga,” kata salah seorang barista lain ikut menanggapi.
            Ayesha menghapus air mata di pipinya dengan punggung tangannya. Eyeliner dan mascara yang ia kenakan membuat mata dan pipinya hitam. Gadis itu sesekali mengibaskan rambutnya. Matanya kosong bak sedang memikirkan suatu hal yang sangat menyakitkan.
***

Monday, May 22, 2017

Autumn Without You #3

Tiga…

            Mario Arditya membuka matanya yang terasa berat, lalu ia mengangkat tangan menutupi matanya dan mengerang pelan. Pancaran sinar matahari yang menembus jendela apartementnya menyilaukan matanya. Ia menguap lebar sambil merenggangkan kaki dan tangan dengan posisi yang masih terbaring di tempat tidur. Tak lama kemudian, ia segera menyergap ponselnya yang berada di meja kecil di samping kasurnya.
            “Astaga!” Mario terkesiap saat mengetahui waktu telah menunjukkan pukul 09.20. Ia menyumpahi dirinya seraya bangkit dan berlari ke kamar mandi dalam satu gerakan cepat.
            Sepuluh menit berlalu. Lelaki itu sudah siap menuju ke suatu tempat. Ia menutup pintu apartementnya dengan keras lalu berlari menyusuri anak tangga. Ia hanya memiliki waktu 30 menit untuk menyelesaikan semuanya.
            Mario melangkah keluar gedung apartementnya, berlari ke tempat pemberhentin bus yang berada dekat persimpangan jalan. Nafasnya terengah-engah. Sesekali ia membetulkan letak ranselnya. Beruntung ia tidak tertinggal bus menuju Castlereagh Street. Perjalanan ini akan menempuh jarak sekitar 20 km.

Autumn Without You #2


Dua...

Hari telah menunjukkan pukul 09.30 waktu Australia. Itu berarti di Indonesia masih pukul 06.30 pagi. Ya, keduanya menunjukkan perbedaan waktu selama 3 jam, dan tentu Australia lebih cepat.
            Pagi ini Nadine akan menjalani kehidupan perdananya di Negeri Kanguru, serta bekerja dengan jam kerja baru. Masuk memang lebih siang, namun tetap ia bekerja selama 8 jam. Saat di Indonesia, ia harus tiba di kantor pukul 08.00 tepat. Dan di waktu yang tergolong cukup pagi itu ia harus bergelut dengan kemacetan serta hal lainnya yang membuat sesak.
Hembusan angin musim dingin semakin terasa, daun-daun kering berguguran memenuhi jalan-jalan pinggiran kota. Terlihat sebagian pepohonan hanya menyisakan ranting-ranting. Sepertinya musim gugur akan segera berakhir.