Ayesha meminum secangkir double
espresso yang dipesannya dengan sekali teguk. Matanya menatap kosong ke depan,
dan seketika menyimpan kembali cangkir
itu dengan sedikit keras. Pelayan yang baru saja mengantarkan pesanan gadis itu
pun sontak tercengang. Ia membalikkan badan kembali memperhatikan Ayesha dengan
penuh kebingungan.
Tak lama dari itu, Ayesha mengambil
ponselnya dan kembali terpaku pada sebuah gambar. Ia menarik nafas panjang
seraya menghembuskannya perlahan.
“Kau tahu kesalahan besar apa yang
telah kau lakukan?” Tanya Ayesha sambil terus menatap foto yang ada di layar ponselnya.
Terlihat mata gadis 24 tahun itu
berkaca-kaca, lalu tetes demi tetes air mata pun jatuh mengenai layar
ponselnya. Malam ini adalah malam ke delapan Ayesha mengunjungi kedai kopi di
dekat kantornya. Sang barista dan pelayan pun sampai-sampai hafal dan mengingat
betul wajah gadis cantik itu.
Ayesha selalu menduduki kursi yang
sama, terletak di sudut ruangan dan sedikit agak jauh dengan meja pengunjung
lainnya. Menu yang dipesannya pun selalu sama, secangkir double espresso. Ia menghabiskan
sekitar 4 jam di kedai kopi itu lalu akan pulang ke apartement dengan
mengendarai mobilnya sendiri. Ya, ia selalu sendirian.
“Hal yang dilakukan gadis itu selalu
sama, bahkan berakhir semakin buruk,” ujar seorang barista sambil memperhatikan
Ayesha dari balik meja bar.
“Sepertinya ia sedang diterpa
masalah, namun kali ini dia benar-benar menangis. Astaga,” kata salah seorang
barista lain ikut menanggapi.
Ayesha menghapus air mata di pipinya
dengan punggung tangannya. Eyeliner dan mascara yang ia kenakan membuat mata
dan pipinya hitam. Gadis itu sesekali mengibaskan rambutnya. Matanya kosong bak
sedang memikirkan suatu hal yang sangat menyakitkan.
***