Dua...
Hari telah menunjukkan pukul 09.30
waktu Australia. Itu berarti di Indonesia masih pukul 06.30 pagi. Ya, keduanya menunjukkan perbedaan waktu selama 3 jam, dan
tentu Australia lebih cepat.
Pagi ini Nadine akan menjalani kehidupan perdananya di Negeri Kanguru, serta bekerja dengan jam kerja
baru. Masuk memang lebih siang, namun tetap ia bekerja selama 8 jam. Saat di
Indonesia, ia harus tiba di kantor pukul 08.00 tepat. Dan di waktu yang
tergolong cukup pagi itu ia harus bergelut dengan kemacetan serta hal lainnya
yang membuat sesak.
Hembusan angin musim dingin semakin terasa, daun-daun kering berguguran
memenuhi jalan-jalan pinggiran kota. Terlihat sebagian pepohonan hanya
menyisakan ranting-ranting. Sepertinya musim gugur akan segera berakhir.
Nadine merapatkan jaketnya, berjalan menyusuri trotoar
menuju pemberhentian bus yang berada tidak jauh dari gedung apartementnya. Sebelumnya
ia memang telah diberitahu oleh Bu Tirta untuk
menunggu bus jam 09.35 pagi. Perjalanan ke kantornya akan memakan waktu sekitar 20 menit dari arah dimana ia tinggal—Anzac Parade, Maroubra. Dan kata Bu Tirta,
akan memakan waktu sekitar 5 menit lagi untuk sampai ke gedung kantornya. Nadine
benar-benar ingin memastikan perkataan atasannya itu, apakah menit demi menit
yang wanita jelaskan itu benar atau tidak.
Kini, Nadine juga telah semakin paham menggunakan kartu opal
miliknya, meskipun kemarin Bu Tirta sama sekali tidak mengajarkan bagaimana
cara pakainya—dan Nadine pun enggan bertanya serta memilih untuk sok tahu, akhirnya
gadis berkacamata itu benar-benar bertanya pada tetangga apartemennya. Terlebih
lagi, saat malam harinya Bu Tirta mengirimi beberapa pesan singkat, tentu saja
soal alamat kantor lengkap dan hey, username serta password opal milik Nadine
juga dikirimnya. Nadine sempat kebingungan dengan yang terakhir itu, oleh
karena itu ia bertanya mengenai kartu opal ke tetangga unitnya.
Tiupan angin menyentuh rambut lembut Nadine, sesekali ia merapikan
rambutnya. “Oh dear.. dingin sekali,” ujar Nadine sambil menggosok-gosokkan telapak tangannya. Sebenarnya ia
tidak terlalu kaget dengan keadaan musim dingin, karena Nadine telah beberapa
kali merasakannya saat di Jerman dan negara-negara lain yang pernah ia
kunjungi. Bahkan
di sana ia bergelut dengan salju, bukan hanya semilir angin yang dingin.
Tak lama, bus yang
akan ia naiki pun tiba. Dengan penuh semangat ia pun naik dan menempati bangku
kedua dari depan. Busnya memang tidak terlalu penuh, namun terlihat beberapa
orang sedang asyik membaca buku sambil memegangi
cup kopinya,
dan beberapa lainnya fokus pada gadget-nya.
Nadine menghembuskan nafas panjang, pandangannya kini terfokus pada jalanan kota Sydney. Tidak terlalu ramai. Ya begitulah kira-kira kata yang menggambarkan kota
terkenal ini. Mungkin di beberapa tourist
attraction kota Sydney akan sangat ramai, namun tidak
untuk di sepanjang jalan ini.
Tidak ada kemacetan panjang, dan semuanya terlihat indah karena orang-orang sepertinya lebih memilih berjalan kaki. Entah akan ke arah mana, jauh atau dekat,
yang pasti mereka berjalan dengan jaket tebalnya serta tak sedikit yang membawa cup
berisi kopi atau coklat yang masih mengepul.
Kota ini sangat berbeda dengan kota dimana Nadine
bekerja di Indonesia. Setiap hari Nadine harus
berkawan dengan kemacetan, debu, pengamen, dan masih banyak lagi yang membuat
hari-harinya menyesakkan. Dan jika ia
dituntut untuk menaiki bus disana, sepertinya ia akan pingsan di jalan.
Dua
puluh menit berlalu, akhirnya sampai juga Nadine
di Castlereagh Street. Jalanan ini sedikit
lebih ramai karena memang terletak di Central Business District. Hmm,
sepertinya anggapan Nadine salah tentang kota ini. Memang di jalanan tadi
terlihat sepi, namun disini? Pusat bisnis memang tidak akan pernah sepi.
Nadine bergegas turun dari bisnya lalu berhenti sejenak mencari-cari gedung kantornya.
Memandangi satu persatu bangunan di depannya, hingga akhirnya matanya terhenti
pada satu neon
box besar bertuliskan nama kantornya.
“Ah itu dia!” Senyum Nadine mengembang seraya berjalan menyeberangi zebra cross ketika lampu lalu lintas
menunjukkan warna hijau bagi pejalan kaki.
Gadis itu berjalan dengan sangat semangat, sesekali ia membetulkan scarf
dengan motif bunga-bunga di lehernya. Sebentar lagi ia akan mulai bekerja di sana
dan menemukan beberapa rekan kerja baru, pikirnya. Pandangannya mengarah gedung kantornya, hingga tak sadar ia telah
menabrak seseorang di depannya.
“Astaga, maaf!” ujar Nadine sontak dalam bahasa Inggris, karena merasa
ia pasti bertemu dengan orang-orang asing sehingga tidak mungkin ia berbicara
dalam Bahasa Indoneisa.
Dalam satu gerakan cepat Nadine membalikkan
badan melihat ke arah orang yang ditabraknya. Ia pun lantas tertegun, seketika seakan hanyut dalam tatapan itu. Napasnya tercekat
seperti ada yang menyumbat di dalam dadanya. Ia mengerjap beberapa kali,
memastikan siapa yang baru saja ia tabrak.
Astaga wajah itu…
Suara klakson mobil membuyarkan tatapan keduanya. Nadine langsung
buru-buru memalingkan pandangan dan berlari ke trotoar. Orang yang ditabraknya
pun segera berjalan ke arah yang berseberangan dengan Nadine.
Nadine
kembali membalikkan bandannya dan memastikan siapa yang barusan ia lihat. Namun
seseorang dengan jaket berwarna abu itu sudah tak terlihat. Nadine menghela
nafas panjang dan tanpa sadar ia baru saja akan terlambat apabila berdiri di
tempat itu lebih lama lagi. Nadine pun buru-buru berlari ke gedung kantornya.
***
“Selamat
Pagi!” Sapa Nadine sesampainya di Level 2 gedung tersebut dan memasuki ruangan kantornya. Terlihat wajah-wajah
khas orang Eropa dan Amerika terlihat di ruangan itu, membuat Nadine terkesiap
untuk beberapa detik.
“Hi
sayang, selamat pagi! Apa kabar?” Seru seseorang
dari balik meja sambil tersenyum lebar. Aksen Polandia terdengar kental dari
bicaranya. Seseorang dengan bola mata biru yang tentu akan membuat siapa saja jatuh
hati kepadanya. Sam—project manager Polandia—benar-benar membuat Nadine terpesona
pagi itu.
Belum
sempat menjawab pertanyaan pria tersebut, Bu Tirta pun datang dan langsung
menjamu Nadine. Sepertinya wanita itu datang lebih pagi daripada dirinya, pikir
Nadine.
Saat
itu terlihat sekitar ada 10 orang pegawai—yang tidak lain adalah project
manager untuk berbagai negara—menyapa Nadine bergantian. Gadis itu hanya
membalas dengan senyuman dan melambaikan tangannya. Sebelumnya, Bu Tirta memang
telah memberi kabar pada rekan satu kantornya tersebut bahwa mereka akan
kedatangan staff Indonesia untuk beberapa
bulan ke depan
untuk membereskan case student di
Australia. Oleh karena itu, pagi itu Nadine langsung disambut dengan hangat. Suasana
kantor ini benar-benar membuat Nadine nyaman bahkan untuk kali pertama.
Pagi
itu, Nadine langsung dibawa Bu Tirta untuk menemui direktur dari perusahaan
yang sudah tiba dan berada di ruangan pribadinya. Sebenarnya ini kali kedua ia
bertemu dengan orang itu, setelah sebelumnya bertemu sekitar 2 tahun lalu di Indonesia.
“Oh
hello Nadine!” sambut Mr. Frank ketika melihat Nadine dan Bu Tirta masuk ke
ruangannya.
“Hello
Mr. Frank, aoa kabar?” Ujar Nadine menanggapi sambutan pemimpin perusahannya
tersebut sambil tersenyum lebar.
Mr.
Frank berasal dari Jerman, namun
menurut cerita Bu Tirta kemarin selama di mobil, Mr. Frank sudah memiliki visa permanent resident di Australia. Dan sebentar lagi
akan menjadi citizen. Seperti diketahui, ia sudah bertahun-tahun berada di
Australia untuk mengurus bisnisnya yang lain. Sehingga pada akhirnya ia
memutuskan untuk memindahkan kantor pusat bisnis agent pendidikanya ke Negara
ini. Dia ingin membangun kerajaan bisnisnya di Sydney, begitulah kira-kira
cerita Bu Tirta.
Entah mengapa bagi
sebagian orang, Australia menjadi negara ternyaman untuk ditinggali. Nadine
belum merasakan hal itu, karena hey yang
benar saja, untuk tinggal selama satu
bulan disini saja sepertinya akan membosankan. Tidak ada Diandra—sahabatnya,
atau bahkan teman baru yang seusianya.
Nadine,
Bu Tirta, dan Mr. Frank selanjutnya berada dalam diskusi serius yang menyangkut
client-client orang Indonesia yang sudah sedang bersekolah di Australia. Mr.
Frank memberitahu bahwa ada beberapa client pindahan dari agent lain, dan visa
studentnya akan segera habis. Sehingga Nadine diberi amanat untuk menyelesaikan
masalah tersebut. Tak lupa, Nadine pun diberi tugas untuk mengunjungi
sekolah-sekolah dalam beberapa waktu ke depan untuk mengurus masalah agreement
dan lain-lain, serta menyusun persiapan pameran pendidikan yang diadakan KBRI
di Sydney.
“OK dear, tenang saja, nanti pasti akan saya bantu dan bimbing,” ujar Bu Tirta
ketika sudah keluar dari ruangan Mr. Frank.
Nadine
pun mengangguk tersenyum, lantas menjawab, “Thank
you.”
Dulu, saat ia
menjadi counselor pendidikan client untuk di Jerman, perusahaan mengharuskannya
pergi ke negara itu pula. Namun tidak dalam jangka waktu lama, karena memang
tidak pernah ada masalah. Sehingga Nadine paling lama satu bulan berada di
sana. Kini, ia harus berada di Australia untuk waktu yang entah kapan berakhirnya.
Namun mulai hari ini, entah benar atau tidak, keputusan Nadine datang ke sini
adalah yang terbaik. Ia meyakini itu. Tantangan pekerjaan kini semakin
mendekatinya, mungkin sebentar lagi ia
akan mendapatkan promosi atau hal semacam itu lainnya. Mulai hari ini pula, gadis itu
berjanji akan menuntaskan segala tanggung-jawabnya mengenai urusan client di
Australia. Karena semakin cepat beres, ia bisa semakin cepat pula kembali lagi
ke Indonesia dan dapat mengurus client-clientnya dari sana tanpa perlu tinggal
berlama-lama di Australia.
No comments:
Post a Comment
Silahkan komentar guna menambah inspirasi saya