Monday, May 22, 2017

Autumn Without You #2


Dua...

Hari telah menunjukkan pukul 09.30 waktu Australia. Itu berarti di Indonesia masih pukul 06.30 pagi. Ya, keduanya menunjukkan perbedaan waktu selama 3 jam, dan tentu Australia lebih cepat.
            Pagi ini Nadine akan menjalani kehidupan perdananya di Negeri Kanguru, serta bekerja dengan jam kerja baru. Masuk memang lebih siang, namun tetap ia bekerja selama 8 jam. Saat di Indonesia, ia harus tiba di kantor pukul 08.00 tepat. Dan di waktu yang tergolong cukup pagi itu ia harus bergelut dengan kemacetan serta hal lainnya yang membuat sesak.
Hembusan angin musim dingin semakin terasa, daun-daun kering berguguran memenuhi jalan-jalan pinggiran kota. Terlihat sebagian pepohonan hanya menyisakan ranting-ranting. Sepertinya musim gugur akan segera berakhir.

Nadine merapatkan jaketnya, berjalan menyusuri trotoar menuju pemberhentian bus yang berada tidak jauh dari gedung apartementnya. Sebelumnya ia memang telah diberitahu oleh Bu Tirta untuk menunggu bus jam 09.35 pagi. Perjalanan ke kantornya akan memakan waktu sekitar 20 menit dari arah dimana ia tinggal—Anzac Parade, Maroubra. Dan kata Bu Tirta, akan memakan waktu sekitar 5 menit lagi untuk sampai ke gedung kantornya. Nadine benar-benar ingin memastikan perkataan atasannya itu, apakah menit demi menit yang wanita jelaskan itu benar atau tidak.
Kini, Nadine juga telah semakin paham menggunakan kartu opal miliknya, meskipun kemarin Bu Tirta sama sekali tidak mengajarkan bagaimana cara pakainya—dan Nadine pun enggan bertanya serta memilih untuk sok tahu, akhirnya gadis berkacamata itu benar-benar bertanya pada tetangga apartemennya. Terlebih lagi, saat malam harinya Bu Tirta mengirimi beberapa pesan singkat, tentu saja soal alamat kantor lengkap dan hey, username serta password opal milik Nadine juga dikirimnya. Nadine sempat kebingungan dengan yang terakhir itu, oleh karena itu ia bertanya mengenai kartu opal ke tetangga unitnya.
            Tiupan angin menyentuh rambut lembut Nadine, sesekali ia merapikan rambutnya. “Oh dear.. dingin sekali,” ujar Nadine sambil menggosok-gosokkan telapak tangannya. Sebenarnya ia tidak terlalu kaget dengan keadaan musim dingin, karena Nadine telah beberapa kali merasakannya saat di Jerman dan negara-negara lain yang pernah ia kunjungi. Bahkan di sana ia bergelut dengan salju, bukan hanya semilir angin yang dingin.
Tak lama, bus yang akan ia naiki pun tiba. Dengan penuh semangat ia pun naik dan menempati bangku kedua dari depan. Busnya memang tidak terlalu penuh, namun terlihat beberapa orang sedang asyik membaca buku sambil memegangi cup kopinya, dan beberapa lainnya fokus pada gadget-nya.
            Nadine menghembuskan nafas panjang, pandangannya kini terfokus pada jalanan kota Sydney. Tidak terlalu ramai. Ya begitulah kira-kira kata yang menggambarkan kota terkenal ini. Mungkin di beberapa tourist attraction kota Sydney akan sangat ramai, namun tidak untuk di sepanjang jalan ini. Tidak ada kemacetan panjang, dan semuanya terlihat indah karena orang-orang sepertinya lebih memilih berjalan kaki. Entah akan ke arah mana, jauh atau dekat, yang pasti mereka berjalan dengan jaket tebalnya serta tak sedikit yang membawa cup berisi kopi atau coklat yang masih mengepul.
Kota ini sangat berbeda dengan kota dimana Nadine bekerja di Indonesia. Setiap hari Nadine harus berkawan dengan kemacetan, debu, pengamen, dan masih banyak lagi yang membuat hari-harinya menyesakkan. Dan jika ia dituntut untuk menaiki bus disana, sepertinya ia akan pingsan di jalan.
            Dua puluh menit berlalu, akhirnya sampai juga Nadine di Castlereagh Street. Jalanan ini sedikit lebih ramai karena memang terletak di Central Business District. Hmm, sepertinya anggapan Nadine salah tentang kota ini. Memang di jalanan tadi terlihat sepi, namun disini? Pusat bisnis memang tidak akan pernah sepi.
Nadine bergegas turun dari bisnya lalu berhenti sejenak mencari-cari gedung kantornya. Memandangi satu persatu bangunan di depannya, hingga akhirnya matanya terhenti pada satu neon box besar bertuliskan nama kantornya.
“Ah itu dia!” Senyum Nadine mengembang seraya berjalan menyeberangi zebra cross ketika lampu lalu lintas menunjukkan warna hijau bagi pejalan kaki.
            Gadis itu berjalan dengan sangat semangat, sesekali ia membetulkan scarf dengan motif bunga-bunga di lehernya. Sebentar lagi ia akan mulai bekerja di sana dan menemukan beberapa rekan kerja baru, pikirnya. Pandangannya mengarah gedung kantornya, hingga tak sadar ia telah menabrak seseorang di depannya.
“Astaga, maaf!” ujar Nadine sontak dalam bahasa Inggris, karena merasa ia pasti bertemu dengan orang-orang asing sehingga tidak mungkin ia berbicara dalam Bahasa Indoneisa. Dalam satu gerakan cepat Nadine membalikkan badan melihat ke arah orang yang ditabraknya. Ia pun lantas tertegun, seketika seakan hanyut dalam tatapan itu. Napasnya tercekat seperti ada yang menyumbat di dalam dadanya. Ia mengerjap beberapa kali, memastikan siapa yang baru saja ia tabrak.
Astaga wajah itu…
Suara klakson mobil membuyarkan tatapan keduanya. Nadine langsung buru-buru memalingkan pandangan dan berlari ke trotoar. Orang yang ditabraknya pun segera berjalan ke arah yang berseberangan dengan Nadine.
            Nadine kembali membalikkan bandannya dan memastikan siapa yang barusan ia lihat. Namun seseorang dengan jaket berwarna abu itu sudah tak terlihat. Nadine menghela nafas panjang dan tanpa sadar ia baru saja akan terlambat apabila berdiri di tempat itu lebih lama lagi. Nadine pun buru-buru berlari ke gedung kantornya.
***
            “Selamat Pagi!” Sapa Nadine sesampainya di Level 2 gedung tersebut dan memasuki ruangan kantornya. Terlihat wajah-wajah khas orang Eropa dan Amerika terlihat di ruangan itu, membuat Nadine terkesiap untuk beberapa detik.
            “Hi sayang, selamat pagi! Apa kabar?” Seru seseorang dari balik meja sambil tersenyum lebar. Aksen Polandia terdengar kental dari bicaranya. Seseorang dengan bola mata biru yang tentu akan membuat siapa saja jatuh hati kepadanya. Sam—project manager Polandia—benar-benar membuat Nadine terpesona pagi itu.
            Belum sempat menjawab pertanyaan pria tersebut, Bu Tirta pun datang dan langsung menjamu Nadine. Sepertinya wanita itu datang lebih pagi daripada dirinya, pikir Nadine.
            Saat itu terlihat sekitar ada 10 orang pegawai—yang tidak lain adalah project manager untuk berbagai negara—menyapa Nadine bergantian. Gadis itu hanya membalas dengan senyuman dan melambaikan tangannya. Sebelumnya, Bu Tirta memang telah memberi kabar pada rekan satu kantornya tersebut bahwa mereka akan kedatangan staff Indonesia untuk beberapa bulan ke depan untuk membereskan case student di Australia. Oleh karena itu, pagi itu Nadine langsung disambut dengan hangat. Suasana kantor ini benar-benar membuat Nadine nyaman bahkan untuk kali pertama.
            Pagi itu, Nadine langsung dibawa Bu Tirta untuk menemui direktur dari perusahaan yang sudah tiba dan berada di ruangan pribadinya. Sebenarnya ini kali kedua ia bertemu dengan orang itu, setelah sebelumnya bertemu sekitar 2 tahun lalu di Indonesia.
            “Oh hello Nadine!” sambut Mr. Frank ketika melihat Nadine dan Bu Tirta masuk ke ruangannya.
            “Hello Mr. Frank, aoa kabar?” Ujar Nadine menanggapi sambutan pemimpin perusahannya tersebut sambil tersenyum lebar.
            Mr. Frank berasal dari Jerman, namun menurut cerita Bu Tirta kemarin selama di mobil, Mr. Frank sudah memiliki visa permanent resident di Australia. Dan sebentar lagi akan menjadi citizen. Seperti diketahui, ia sudah bertahun-tahun berada di Australia untuk mengurus bisnisnya yang lain. Sehingga pada akhirnya ia memutuskan untuk memindahkan kantor pusat bisnis agent pendidikanya ke Negara ini. Dia ingin membangun kerajaan bisnisnya di Sydney, begitulah kira-kira cerita Bu Tirta.
Entah mengapa bagi sebagian orang, Australia menjadi negara ternyaman untuk ditinggali. Nadine belum merasakan hal itu, karena hey yang benar saja, untuk  tinggal selama satu bulan disini saja sepertinya akan membosankan. Tidak ada Diandra—sahabatnya, atau bahkan teman baru yang seusianya.
            Nadine, Bu Tirta, dan Mr. Frank selanjutnya berada dalam diskusi serius yang menyangkut client-client orang Indonesia yang sudah sedang bersekolah di Australia. Mr. Frank memberitahu bahwa ada beberapa client pindahan dari agent lain, dan visa studentnya akan segera habis. Sehingga Nadine diberi amanat untuk menyelesaikan masalah tersebut. Tak lupa, Nadine pun diberi tugas untuk mengunjungi sekolah-sekolah dalam beberapa waktu ke depan untuk mengurus masalah agreement dan lain-lain, serta menyusun persiapan pameran pendidikan yang diadakan KBRI di Sydney.
            “OK dear, tenang saja, nanti pasti akan saya bantu dan bimbing,” ujar Bu Tirta ketika sudah keluar dari ruangan Mr. Frank.
            Nadine pun mengangguk tersenyum, lantas menjawab, “Thank you.”
Dulu, saat ia menjadi counselor pendidikan client untuk di Jerman, perusahaan mengharuskannya pergi ke negara itu pula. Namun tidak dalam jangka waktu lama, karena memang tidak pernah ada masalah. Sehingga Nadine paling lama satu bulan berada di sana. Kini, ia harus berada di Australia untuk waktu yang entah kapan berakhirnya.

            Namun mulai hari ini, entah benar atau tidak, keputusan Nadine datang ke sini adalah yang terbaik. Ia meyakini itu. Tantangan pekerjaan kini semakin mendekatinya, mungkin  sebentar lagi ia akan mendapatkan promosi atau hal semacam itu lainnya. Mulai hari ini pula, gadis itu berjanji akan menuntaskan segala tanggung-jawabnya mengenai urusan client di Australia. Karena semakin cepat beres, ia bisa semakin cepat pula kembali lagi ke Indonesia dan dapat mengurus client-clientnya dari sana tanpa perlu tinggal berlama-lama di Australia.

No comments:

Post a Comment

Silahkan komentar guna menambah inspirasi saya