Akasiaku,
Tak Mau Ataxiaku...
Sebuah
desa yang terletak di sudut kota Sukabumi, begitu sejuk begitu nyaman. Setiap
ku lewati jalan-jalan disini, tak pernah terlewatkan pemandangan indah dari
setiap pojokan sebuah rumah atau pun lahan kosong. Terlalu banyak pepohonan
rindang, aku tak perlu repot-repot mencari tempat yang tepat tuk mengambil
oksigen murni di suatu tempat. Karena aku telah mendapatkannya, disini,
dikampung halamanku.
Aku
akan menetap beberapa waktu di desa kecil tempat dimana aku bermain saat kecil,
kini aku kembali kesini setelah sekian lama tinggal di sebuah kota besar—Jakarta. Semua ini atas keinginanku, aku merindukan kedamaian suatu
tempat, aku menginginkan sebuah ketenangan suasana, dan aku ingin menggunakan
waktuku sedikit sebelum semuanya mungkin tak akan pernah kujumpai kembali. Aku
tersadar disinilah tempatnya. Aku akan tinggal bersama Nek Limo, seorang wanita
tua yang selama ini dekat dengan keluargaku, mengasuhku saat kecil, dan kini
aku ingin bersamanya lagi.
“Nek,mulai hari ini
aku akan tinggal bersama Nek Limo untuk sementara. Siapkan makanan favoritku
ketika aku sampai ya,” kata-kata itu mungkin keluar dari mulutku enam jam lalu.
Kini, aku telah sampai di tempat yang kutuju. Benar saja, dirumah Nek Limo
telah tersedia mochi, ketan, opak,
dan sebagainya. Makanan yang kurindukan setiap kali berkunjung kemari.
“Mengapa cepat sekali
sampai?” tanya Nek Limo pada orang tuaku. Aku hanya salam padanya lalu bergegas
menyerbu makanan-makanan itu.
“Jalanan sedang tak
macet, Nek..” itu jawaban dari ayah yang terdengar oleh telingaku. Mereka
mengobrol di ruang tamu kecil. Aku berdiam di dapur dan asyik sendiri. Rumah
Nek Limo memang sangat sederhana, sangat berbeda dengan rumahku di Jakarta
sana.
Kezia...
Aku
menoleh dan bergegas ketika orangtuaku menyuruh aku tuk menghampirinya.
“Ada apa?” tanyaku ketika sampai.
Terlihat orangtuaku telah beranjak dari duduknya. Sepertinya mereka akan segera
pulang.
“Kau jaga diri baik-baik. Ingat,
hanya satu minggu, satu minggu,” ayahku mengulangi kata-katanya. Sebenarnya tak
perlu, karena aku tahu, aku tahu, aku tahu.
“Ohya, jangan lupa beritahu Ibu jika
terjadi apa-apa, kau masih lemah, kau akan segera check-up sepulang dari sini,” ibuku ikut menambahkan pesannya. Aku
menghela nafas panjang.
“Aku mengerti, Ayah..Ibu..” gumamku
sambil menyunggingkan senyuman kecil. Aku menyadari, orangtuaku sangat
perhatian padaku, terlebih ketika aku divonis penyakit itu. Aku tertegun untuk
sesaat, lalu lenyap dalam pelukan Ayah dan Ibuku.
***
Aku membuka percakapan dengan Nek
Limo di hari keduaku disini. Aku pernah menanam sebuah pohon saat ku berumur
lima tahun. Kini diumurku yang keenam belas, pohon itu sepertinya sudah tumbuh
besar.
“Tentu, lihatlah di kebun belakang.
Nenek mengurusnya setengah mati,” aku tertawa kecil mendengar jawaban Nek Limo.
Memang dulu itu aku meminta Nek Limo untuk merawat pohon Akasia yang pernah
kutemukan di hutan bersama kakekku―suami Nek Limo―itu. Sepertinya ia menepati amanatku. Akhirnya
kutancapkan kaki ke kebun belakang, begitu tak sabar melihat pohon itu.
“Wah... ternyata sudah besar
sekali,” aku mendongakkan kepalaku hingga mempu mencapai bagian paling atas.
Daunnya telah rimbun. Aku mencoba mendekat, sedikit demi sedikit meraba batang pohon Akasia itu, kasar, namun warnanya
sangat mencolok, hingga membuatku terkesan, begitu pula dengan daun rimbunnya.
Kurebahkan kedua tanganku lebar-lebar dan mencoba memeluk batang pohon yang
besar itu, namun aku tak berhasil, tanganku mengarah pada yang lain.
“Bagaimana?”
Aku masih terkekeh lalu menoleh pada
sumber suara itu. Nek Limo menghampiriku dengan berjalan lambat. Dengan satu
gerakan tangan, ia menyuruhku tetap di posisiku saat aku mencoba balik menghampirinya.
Aku tersenyum, “Terimakasih, Nek
Limo.” Ia berdiri disampingku, ikut mendongakkan kepalanya seakan ingin melihat
pohon itu bersamaku.
“Sebelumnya pohon ini sangat sulit
tumbuh,sangat lama, namun aku terus menerus merawatnya, memberikan vitamin
pohon dan sebagainya,” Nek Limo mencoba menceritakan.
Aku memejamkan mataku sesaat, merasakan kepalaku
yang tiba-tiba pusing. Aku mencoba bersikap baik-baik saja, namun rasa pusingku
semakin bertambah. Alhasil aku tak mempu bicara banyak lagi, aku memutuskan tuk
beristirahat sejenak di kamar.
Adzan maghrib terdengar dan sontak
membangunkan tidur panjangku. Terdengar Nek Limo sedang dibelakang, sepertinya
sedang berwudhu, pikirku. Aku mencoba bangkit, namun masih terasa pening.
“Jika masih pusing, tidurlah Zi..”
aku tersentak dengan itu, Nek Limo sudah ada di balik pintu kamarku yang
terbuka. Aku tersenyum dan menganggukkan kepala. Ia berlalu.
Rasanya sangat berat melangkahkan
kaki ini. Aku merenggangkan sendi-sendi kakiku sebelum menginjakkan kaki ke
teras hitam yang dimiliki rumah ini. Sembari menopang pada lemari yang berada
disamping tempat tidur, aku mencoba berdiri. Lalu mencoba berjalan dengan
mengganti topanganku pada dinding. Niatku adalah untuk menghirup udara malam
desa ini. Aku berjalan laun sambil terus berpegangan pada dinding bercatkan
warna putih itu. Namun ditengah perjalananku ke teras depan, langkahku terhenti
melihat Nek Limo yang sedang shalat dikamarnya. Aku tersenyum. Kali ini aku
memang sedang tak shalat, tamu bulananku sedang datang. Baru saja ku alihkan
pandanganku dari sana, aku mendengar Nek Limo___. Ada apa dengannya? Tak lama
kemudian aku mendengar, ia menyebut namaku dalam sela doanya.
Ya Allah, mengapa harus cucuku yang harus menermia kenyataan pahit ini? Apa
salah cucuku? Mengapa Engkau menginginkan ia untuk cepat-cepat menemui-Mu?
Mengapa Ya Allah mengapa?!
Ia menjerit dalam tangis dan doanya.
Aku menyandarkan tubuhku yang bergetar di balik dinding kamarnya, hatiku
menjerit, mataku ikut menjatuhkan tetesan-tetesan air mata, sebelah tangan aku
coba tuk menutupi suara isakan tangis yang keluar dari mulutku. Aku ingin
berteriak, aku ingin menangis disamping Nek Limo, aku ingin menangis
bersamanya. Tak ingin bersembunyi seperti ini. Air mataku deras mengalir seraya
mendengar suara isakan tangis Nek Limo yang semakin kencang. Aku menepuk-nepuk
dadaku, lagi, dan lagi. Aku ingin menghilangkan rasa sakit di dadaku...
***
“Nek Limo, apakah kau tahu tentang
penyakitku?” Aku bertanya setelah sebelumnya kucoba berpura-pura tak tahu bahwa
ia mengetahuinya.
Ia tertegun. Kami sedang berada di
meja makan yang terletak di dapur, kami siap untuk sarapan. Aku menatap dalam
matanya, terlihat raut kesedihan muncul dari matanya yang sayu itu. Ia tak
mencoba tuk membuka suara.
“Ataxia? Kau tahu dari orang tuaku?”
aku melanjutkan pertanyaan. “Bahkan nama penyakitku hampir sama dengan pohon
yang kutanam.” Terlihat ia terkejut dengan apa yang kukatakan. Aku sangat
vulgar mengatakan kata-kata itu, namun aku hanya ingin Nek Limo tak
menyembunyikan apa yang telah diketahuinya tentang penyakitku itu.
Ia mengedipkan mata beberapa kali,
lalu sibuk mengambil secentong nasi dan diberikannya untukku. Aku menundukkan
kepala.
“Ayo cepat makan Zi,” seru Nek Limo
padaku. Aku hanya mengangguk. Aku mencoba mengambil sendok dari cupspoon yang
berjarak tak jauh dariku. Tanganku mencoba mendekatinya, namun tak sampai, aku
tak fokus, sendoknya tak mampu ku ambil, tanganku meleset beberapa kali. Aku
menghela nafas lalu tersenyum mengarah pada Nek Limo sesaat setelah menarik
kembali tanganku.
“Itulah salah satu ciri penyakit itu Nek,
penyebabnya yaitu rusaknya jaringan otak kecil dan syaraf tulang belakang. Aku
kehilangan kendali pada syaraf-syaraf motorikku. Sebentar lagi aku akan mati
Nek. Aku akan mati,” tangisku terjatuh seiring kalimat-kalimat itu.
“Cukup!” Nek Limo berteriak. “Kau harus cepat pulang, cepat pergi ke dokter
yang bisa menyembuhkanmu! Disini tidak ada dokter yang bagus, mengapa kau malah
kesini?!” Tangisnya ikut berhambur. Ia memegang dadanya, merasakan rasa sakit
yang dialami cucu angkatnya. Aku hanya bisa melihatnya meskipun terhalang oleh
air mata. Sangat pedih, aku datang kesini pada sisa-sisa umurku yang tak lama
lagi. Aku tak sanggup menerima ini semua.
Aku berjalan lontai mengarah pada kebun belakang. Aku berniat melihat pohon
Akasiaku, sesekali aku terjatuh, namun aku terus bangkit dan bangkit lagi.
Mengapa penyakitku kambuh lagi? Mengapa penyakitku kambuh disaat aku ingin
bersenang-senang disini?
“Hei, kau lihat? Aku terjatuh beberapa kali hanya untuk bertemu denganmu.
Sejauh itukah kau dari rumah Nek Limo?” Aku duduk bersandar dibawah pohon itu.
Aku merasakan kenyamanan disana, seakan mengerti bahwa aku sedang membutuhkan
banyak oksigen. Aku memejamkan mata sementara waktu, dari ujung mataku kembali
keluar setetes air mata.
“Apakah kau akan tetap hidup sepergianku nanti?” aku membukakan kedua
mataku. Bertanya yang tak seharusnya ditanyakan pada sebuah pohon. Aku merasa
bahwa umurku tak akan panjang lagi, namun aku tak lebih berharap untuk ikut
tetap hidup selama pohon ini hidup.
***
Fariz, kau harus
segera menjemput anakmu. Aku rasa keadaannya semakin memburuk, aku tak sanggup
melihatnya. Cepatlah, jangan kau sibuk terus dengan urusan pekerjaanmu itu.
Aku mendengarkan percakapan Nek Limo di telepon,suaranya
bergetar, aku hanya tertegun, apakah kehadiranku begitu merepotkan, sehingga
Nek Limo menyuruh ayahku segera menjemputku? Aku mencoba memikirkan hal itu,
namun perhatianku harus teralih oleh isakan tangis Nek Limo. Aku mencoba tak
perduli, karena jika ku terus mendengarnya, maka aku akan ikut merelakan air
mataku terjatuh kembali.
“Kezia cucuku..” tak lama kemudian Nek Limo memanggilku,
kepalaku terangkat, ternyata ia telah berada di pintu teras.
Aku memandanginya seakan tak tahu apa-apa, “Ada apa Nek?”
Aku tahu barusan ia menangis, matanya masih penuh dengan titik-titik kesedihan.
“Ayahmu akan segera menjemputmu...” diam sejenak lalu
melanjutkan, “Cepatlah bersiap-siap.” Ucapnya sambil menduduki sebuah kursi
rotan disampingku dan hanya terhalang oleh meja rotan ditengahnya.
Aku tersenyum dan mengangguk. Aku tak mau menanggapi
pernyataannya sedikitpun, aku tak mau menyusahkan orang lain, terutama Nek
Limo, oleh karena itu aku harus cepat-cepat pulang ke Jakarta. Aku mencoba
bangkit dari dudukku, mencoba melangkah, namun kembali aku terjatuh. Mengapa
aku tak bisa menyeimbangkan tubuhku? Bodoh.
Terdengar Nek Limo terkejut ketika aku terjatuh, namun ia
tak beranjak dari duduknya, aku mencoba berdiri kembali meskipun sulit. Aku
menopangkan tubuhku pada kursi rotan itu lagi, setelah merasa baik, aku
berjalan lontai.
“Kezia cepat sayang...”
“Ya, Ayah.”
Aku berjalan cepat,
namun hampir saja aku terjatuh kembali. Ayahku telah tiba, tanpa ibuku. Aku
telah selesai membereskan segala barang-barangku. Aku akan pulang.
“Terimakasih Nek,
empat hari ini telah merepotkanmu,” ujar ayahku seketika aku datang
menghampirinya. “Ayah tunggu di mobil,” lanjutnya mengarah padaku.
“Nek Limo,
terimakasih. Ohya, bolehkah aku meminta sesuatu?” Aku tersenyum sejenak. “Jika
aku tak kembali lagi kemari, tolong jaga pohon Akasiaku lagi seperti dulu. Aku
pasti akan merindukannya.”
Ia hanya mengangguk.
Tak lama kemudian ia memelukku, ia menepuk-nepuk punggungku. Aku tahu, ia
terlalu riskan tuk menutupi tangisnya. Matanya yang penuh kesedihan itu
berhasil mengalahkan kesedihan yang seharusnya aku sendiri alami.
“Sampai jumpa Nek,
Assalamualaikum...”
***
Aku terbangun dari
lamunanku. Ternyata setengah jam lalu, aku teringat oleh Nek Limo, aku sudah
tak bertemu lagi dengannya satu tahun ini. Aku merindukannya, terakhir aku
mengunjunginya hanya empat hari, aku merindukan pohon Akasiaku, aku ingin
kesana lagi meskipun dalam keadaan seperti ini. Keadaan yang membawaku pada
kenyataan bahwa aku tak mampu lagi berjalan dengan kedua kakiku. Aku hanya bisa
terduduk lemah dikursi roda, kini ia menjadi sahabat kemanapun aku pergi.
“Ayah, bolehkah aku
pergi ke Sukabumi lagi?” aku membuka percakapan dengan ayahku.
“Untuk apa? Jika kau
merindukan Nek Limo kau bisa meneleponnya..” jawab ayah menanggapi omonganku.
Aku terdiam.
“Ayo cepat makan,
sini, kali ini ayah akan menyuapimu..” Ayah mengalihkan pembicaraan, ia
mengerti ketika aku menjadi murung atas tanggapannya itu.
Aku menurut. Aku makan
ditemaninya, ia makan satu piring berdua denganku. Sesekali ia membuat lelucon,
aku tak kuasa menahan tawaku. Ia ayah terbaikku. Aku memandanginya dalam,
apakah ayah begitu menyayangiku? Air mataku kembali berkumpul, aku menangis
dalam kebersamaannya.
“Mengapa kau menangis?
Apakah kau benar-benar ingin bertemu Nek Limo?” tanya ayahku tiba-tiba dengan
mengerutkan alisnya. Aku menggeleng. Tanganku segera menghapus air mata itu,
lalu tersenyum padanya. Namun makanan yang sedang kukunyah di mulutku dan
berniat kutelan malah menyumbat di kerongkonganku. Aku tersedak. Ayahku panik
bukan main, terlihat selintas dimataku ia menangis ketakutan, ia langsung memanggil
ibuku dan saat itu aku tak ingat apa-apa lagi bahkan ketika sampai di Rumah
Sakit.
***
“Dimana cucuku?”
tanyaku ketika sampai di sebuah Rumah sakit tempat Kezia dirawat. Aku berjalan
terburu-buru, menghampiri bagian informasi, dan lain-lain. Akhirnya aku bertemu
dengan Fariz.
“Bagaimana dengan
keadaan cucuku?”
Ia tak menjawab. Ia
hanya terus berjalan mengantarkanku pada sebuah ruangan. Sampai. Aku melihat
dari celah kaca yang terdapat di pintu kamar 035 itu. Kezia terbaring lemah,
begitu banyak selang yang berada disampingnya. Sebuah alat bantu pernafasan
terpasang dihidungnya. Hatiku menjerit, aku tak kuat melihatnya.
Tangisku hancur dalam
pelukan Ambar―ibu Kezia. Aku tak sanggup melihat keadaan cucuku, hatiku sakit,
tubuhku bergetar bukan main. Air mataku jatuh seiring dengan jalannya waktu,
mengalir deras dan tak tahu ujungnya. Mengapa ini harus terjadi pada cucuku?
Mengapaaa?!
“Dia mengalami koma.
Ia tersedak ketika disuapiku,” hatiku bergeming saat mendengar penjelasan
Fariz. Bagaimana bisa?
Mataku kembali ku
arahkan pada pemandangan kesakitan itu, hatiku hanya bisa memanggil-manggil
namanya. Aku ingin masuk, aku ingin melihat keadaan cucuku dari dekat, aku
ingin berada disampingnya.
***
Aku menatap kosong
teras depan rumahku, kini aku telah kembali. Setelah proses panjang menunggu
cucuku bangkit kembali, ternyata ia memilih untuk pergi, pergi selamanya. Aku
belum bisa melepas seutuhnya, bahkan dengan kedua orang tuanya. Tanganku masih
menggenggam secarik kertas yang ku temukan di kamar Kezia sehari setelah ia
meninggal.
Nek, aku titip
pohon Akasiaku.. Aku tahu umurku tidak
akan lama lagi, bahkan saat aku pulang dari tempatmu aku telah sadar akan itu.
Aku sadar aku akan merepotkanmu seumur hidup, bukan sekedar sebelas tahun
seperti saat aku menanam pohon itu pertama kali dan harus pergi ke Jakarta.
Kumohon, itu permintaan terakhirku, aku akan bahagia di Surga sana...
Aku mendekap kertas
itu, hatiku menjerit, begitu sakitnya setiap kali membacanya. Kala itu, saat
pertama kali aku membacanya, aku berjanji untuk melakukan permintaan cucuku
itu, setiap pagi sepulangku dari Jakarta satu bulan lalu aku selalu datang ke
kebun hanya untuk melihat pohon Akasia itu. Aku selalu menangis dibawah pohon
itu, bahkan suatu waktu―yang kutahu saat itu bukan musim hujan―pohon itu
mengeluarkan beberapa tetesan air dari kulit yang mengelilingi batangnya. Aku
tak pernah menganggapnya sebagai suatu keanehan bahkan keajaiban, namun aku
percaya pohon itu tidak lain merindukan sosok cucuku Kezia, sosok Kezia yang
meskipun hanya beberapa kali mengunjunginya. Aku rasa almarhum suamiku pun
masih dikenangnya, karena ia yang telah menemukan pohon itu bersama dengan Kezia. Selamat jalan cucuku,
selamat jalan suamiku...
-The End-
ARB
No comments:
Post a Comment
Silahkan komentar guna menambah inspirasi saya