Sunday, August 18, 2013

More..


Akasiaku, Tak Mau Ataxiaku...
                Sebuah desa yang terletak di sudut kota Sukabumi, begitu sejuk begitu nyaman. Setiap ku lewati jalan-jalan disini, tak pernah terlewatkan pemandangan indah dari setiap pojokan sebuah rumah atau pun lahan kosong. Terlalu banyak pepohonan rindang, aku tak perlu repot-repot mencari tempat yang tepat tuk mengambil oksigen murni di suatu tempat. Karena aku telah mendapatkannya, disini, dikampung halamanku.
                Aku akan menetap beberapa waktu di desa kecil tempat dimana aku bermain saat kecil, kini aku kembali kesini setelah sekian lama tinggal di sebuah kota besar—Jakarta. Semua ini atas keinginanku, aku merindukan kedamaian suatu tempat, aku menginginkan sebuah ketenangan suasana, dan aku ingin menggunakan waktuku sedikit sebelum semuanya mungkin tak akan pernah kujumpai kembali. Aku tersadar disinilah tempatnya. Aku akan tinggal bersama Nek Limo, seorang wanita tua yang selama ini dekat dengan keluargaku, mengasuhku saat kecil, dan kini aku ingin bersamanya lagi.
                “Nek,mulai hari ini aku akan tinggal bersama Nek Limo untuk sementara. Siapkan makanan favoritku ketika aku sampai ya,” kata-kata itu mungkin keluar dari mulutku enam jam lalu. Kini, aku telah sampai di tempat yang kutuju. Benar saja, dirumah Nek Limo telah tersedia mochi, ketan, opak, dan sebagainya. Makanan yang kurindukan setiap kali berkunjung kemari.
                “Mengapa cepat sekali sampai?” tanya Nek Limo pada orang tuaku. Aku hanya salam padanya lalu bergegas menyerbu makanan-makanan itu.
                “Jalanan sedang tak macet, Nek..” itu jawaban dari ayah yang terdengar oleh telingaku. Mereka mengobrol di ruang tamu kecil. Aku berdiam di dapur dan asyik sendiri. Rumah Nek Limo memang sangat sederhana, sangat berbeda dengan rumahku di Jakarta sana.
                Kezia...
                Aku menoleh dan bergegas ketika orangtuaku menyuruh aku tuk menghampirinya.
“Ada apa?” tanyaku ketika sampai. Terlihat orangtuaku telah beranjak dari duduknya. Sepertinya mereka akan segera pulang.
“Kau jaga diri baik-baik. Ingat, hanya satu minggu, satu minggu,” ayahku mengulangi kata-katanya. Sebenarnya tak perlu, karena aku tahu, aku tahu, aku tahu.
“Ohya, jangan lupa beritahu Ibu jika terjadi apa-apa, kau masih lemah, kau akan segera check-up sepulang dari sini,” ibuku ikut menambahkan pesannya. Aku menghela nafas panjang.
“Aku mengerti, Ayah..Ibu..” gumamku sambil menyunggingkan senyuman kecil. Aku menyadari, orangtuaku sangat perhatian padaku, terlebih ketika aku divonis penyakit itu. Aku tertegun untuk sesaat, lalu lenyap dalam pelukan Ayah dan Ibuku.
***
“Nek, pohon Akasia yang pernah ku tanam saat kecil apakah masih ada?”
Aku membuka percakapan dengan Nek Limo di hari keduaku disini. Aku pernah menanam sebuah pohon saat ku berumur lima tahun. Kini diumurku yang keenam belas, pohon itu sepertinya sudah tumbuh besar.
“Tentu, lihatlah di kebun belakang. Nenek mengurusnya setengah mati,” aku tertawa kecil mendengar jawaban Nek Limo. Memang dulu itu aku meminta Nek Limo untuk merawat pohon Akasia yang pernah kutemukan di hutan bersama kakekkusuami Nek Limoitu. Sepertinya ia menepati amanatku. Akhirnya kutancapkan kaki ke kebun belakang, begitu tak sabar melihat pohon itu.
“Wah... ternyata sudah besar sekali,” aku mendongakkan kepalaku hingga mempu mencapai bagian paling atas. Daunnya telah rimbun. Aku mencoba mendekat, sedikit demi sedikit meraba batang  pohon Akasia itu, kasar, namun warnanya sangat mencolok, hingga membuatku terkesan, begitu pula dengan daun rimbunnya. Kurebahkan kedua tanganku lebar-lebar dan mencoba memeluk batang pohon yang besar itu, namun aku tak berhasil, tanganku mengarah pada yang lain.
“Bagaimana?”
Aku masih terkekeh lalu menoleh pada sumber suara itu. Nek Limo menghampiriku dengan berjalan lambat. Dengan satu gerakan tangan, ia menyuruhku tetap di posisiku saat aku mencoba balik menghampirinya.
Aku tersenyum, “Terimakasih, Nek Limo.” Ia berdiri disampingku, ikut mendongakkan kepalanya seakan ingin melihat pohon itu bersamaku.
“Sebelumnya pohon ini sangat sulit tumbuh,sangat lama, namun aku terus menerus merawatnya, memberikan vitamin pohon dan sebagainya,” Nek Limo mencoba menceritakan.
Aku  memejamkan mataku sesaat, merasakan kepalaku yang tiba-tiba pusing. Aku mencoba bersikap baik-baik saja, namun rasa pusingku semakin bertambah. Alhasil aku tak mempu bicara banyak lagi, aku memutuskan tuk beristirahat sejenak di kamar.

 Adzan maghrib terdengar dan sontak membangunkan tidur panjangku. Terdengar Nek Limo sedang dibelakang, sepertinya sedang berwudhu, pikirku. Aku mencoba bangkit, namun masih terasa pening.
“Jika masih pusing, tidurlah Zi..” aku tersentak dengan itu, Nek Limo sudah ada di balik pintu kamarku yang terbuka. Aku tersenyum dan menganggukkan kepala. Ia berlalu.
Rasanya sangat berat melangkahkan kaki ini. Aku merenggangkan sendi-sendi kakiku sebelum menginjakkan kaki ke teras hitam yang dimiliki rumah ini. Sembari menopang pada lemari yang berada disamping tempat tidur, aku mencoba berdiri. Lalu mencoba berjalan dengan mengganti topanganku pada dinding. Niatku adalah untuk menghirup udara malam desa ini. Aku berjalan laun sambil terus berpegangan pada dinding bercatkan warna putih itu. Namun ditengah perjalananku ke teras depan, langkahku terhenti melihat Nek Limo yang sedang shalat dikamarnya. Aku tersenyum. Kali ini aku memang sedang tak shalat, tamu bulananku sedang datang. Baru saja ku alihkan pandanganku dari sana, aku mendengar Nek Limo___. Ada apa dengannya? Tak lama kemudian aku mendengar, ia menyebut namaku dalam sela doanya.
Ya Allah, mengapa harus cucuku yang harus menermia kenyataan pahit ini? Apa salah cucuku? Mengapa Engkau menginginkan ia untuk cepat-cepat menemui-Mu? Mengapa Ya Allah mengapa?!
Ia menjerit dalam tangis dan doanya. Aku menyandarkan tubuhku yang bergetar di balik dinding kamarnya, hatiku menjerit, mataku ikut menjatuhkan tetesan-tetesan air mata, sebelah tangan aku coba tuk menutupi suara isakan tangis yang keluar dari mulutku. Aku ingin berteriak, aku ingin menangis disamping Nek Limo, aku ingin menangis bersamanya. Tak ingin bersembunyi seperti ini. Air mataku deras mengalir seraya mendengar suara isakan tangis Nek Limo yang semakin kencang. Aku menepuk-nepuk dadaku, lagi, dan lagi. Aku ingin menghilangkan rasa sakit di dadaku...
***
“Nek Limo, apakah kau tahu tentang penyakitku?” Aku bertanya setelah sebelumnya kucoba berpura-pura tak tahu bahwa ia mengetahuinya.
Ia tertegun. Kami sedang berada di meja makan yang terletak di dapur, kami siap untuk sarapan. Aku menatap dalam matanya, terlihat raut kesedihan muncul dari matanya yang sayu itu. Ia tak mencoba tuk membuka suara.
“Ataxia? Kau tahu dari orang tuaku?” aku melanjutkan pertanyaan. “Bahkan nama penyakitku hampir sama dengan pohon yang kutanam.” Terlihat ia terkejut dengan apa yang kukatakan. Aku sangat vulgar mengatakan kata-kata itu, namun aku hanya ingin Nek Limo tak menyembunyikan apa yang telah diketahuinya tentang penyakitku itu.
Ia mengedipkan mata beberapa kali, lalu sibuk mengambil secentong nasi dan diberikannya untukku. Aku menundukkan kepala.
“Ayo cepat makan Zi,” seru Nek Limo padaku. Aku hanya mengangguk. Aku mencoba mengambil sendok dari cupspoon yang berjarak tak jauh dariku. Tanganku mencoba mendekatinya, namun tak sampai, aku tak fokus, sendoknya tak mampu ku ambil, tanganku meleset beberapa kali. Aku menghela nafas lalu tersenyum mengarah pada Nek Limo sesaat setelah menarik kembali tanganku.
“Itulah salah satu ciri penyakit itu Nek, penyebabnya yaitu rusaknya jaringan otak kecil dan syaraf tulang belakang. Aku kehilangan kendali pada syaraf-syaraf motorikku. Sebentar lagi aku akan mati Nek. Aku akan mati,” tangisku terjatuh seiring kalimat-kalimat itu.
“Cukup!” Nek Limo berteriak. “Kau harus cepat pulang, cepat pergi ke dokter yang bisa menyembuhkanmu! Disini tidak ada dokter yang bagus, mengapa kau malah kesini?!” Tangisnya ikut berhambur. Ia memegang dadanya, merasakan rasa sakit yang dialami cucu angkatnya. Aku hanya bisa melihatnya meskipun terhalang oleh air mata. Sangat pedih, aku datang kesini pada sisa-sisa umurku yang tak lama lagi. Aku tak sanggup menerima ini semua.


Aku berjalan lontai mengarah pada kebun belakang. Aku berniat melihat pohon Akasiaku, sesekali aku terjatuh, namun aku terus bangkit dan bangkit lagi. Mengapa penyakitku kambuh lagi? Mengapa penyakitku kambuh disaat aku ingin bersenang-senang disini?
“Hei, kau lihat? Aku terjatuh beberapa kali hanya untuk bertemu denganmu. Sejauh itukah kau dari rumah Nek Limo?” Aku duduk bersandar dibawah pohon itu. Aku merasakan kenyamanan disana, seakan mengerti bahwa aku sedang membutuhkan banyak oksigen. Aku memejamkan mata sementara waktu, dari ujung mataku kembali keluar setetes air mata.
“Apakah kau akan tetap hidup sepergianku nanti?” aku membukakan kedua mataku. Bertanya yang tak seharusnya ditanyakan pada sebuah pohon. Aku merasa bahwa umurku tak akan panjang lagi, namun aku tak lebih berharap untuk ikut tetap hidup selama pohon ini hidup.
***
Fariz, kau harus segera menjemput anakmu. Aku rasa keadaannya semakin memburuk, aku tak sanggup melihatnya. Cepatlah, jangan kau sibuk terus dengan urusan  pekerjaanmu itu.
Aku mendengarkan percakapan Nek Limo di telepon,suaranya bergetar, aku hanya tertegun, apakah kehadiranku begitu merepotkan, sehingga Nek Limo menyuruh ayahku segera menjemputku? Aku mencoba memikirkan hal itu, namun perhatianku harus teralih oleh isakan tangis Nek Limo. Aku mencoba tak perduli, karena jika ku terus mendengarnya, maka aku akan ikut merelakan air mataku terjatuh kembali.
“Kezia cucuku..” tak lama kemudian Nek Limo memanggilku, kepalaku terangkat, ternyata ia telah berada di pintu teras.
Aku memandanginya seakan tak tahu apa-apa, “Ada apa Nek?” Aku tahu barusan ia menangis, matanya masih penuh dengan titik-titik kesedihan.
“Ayahmu akan segera menjemputmu...” diam sejenak lalu melanjutkan, “Cepatlah bersiap-siap.” Ucapnya sambil menduduki sebuah kursi rotan disampingku dan hanya terhalang oleh meja rotan ditengahnya.
Aku tersenyum dan mengangguk. Aku tak mau menanggapi pernyataannya sedikitpun, aku tak mau menyusahkan orang lain, terutama Nek Limo, oleh karena itu aku harus cepat-cepat pulang ke Jakarta. Aku mencoba bangkit dari dudukku, mencoba melangkah, namun kembali aku terjatuh. Mengapa aku tak bisa menyeimbangkan tubuhku? Bodoh.
Terdengar Nek Limo terkejut ketika aku terjatuh, namun ia tak beranjak dari duduknya, aku mencoba berdiri kembali meskipun sulit. Aku menopangkan tubuhku pada kursi rotan itu lagi, setelah merasa baik, aku berjalan lontai.


“Kezia cepat sayang...”
“Ya, Ayah.”
                Aku berjalan cepat, namun hampir saja aku terjatuh kembali. Ayahku telah tiba, tanpa ibuku. Aku telah selesai membereskan segala barang-barangku. Aku akan pulang.
                “Terimakasih Nek, empat hari ini telah merepotkanmu,” ujar ayahku seketika aku datang menghampirinya. “Ayah tunggu di mobil,” lanjutnya mengarah padaku.
                “Nek Limo, terimakasih. Ohya, bolehkah aku meminta sesuatu?” Aku tersenyum sejenak. “Jika aku tak kembali lagi kemari, tolong jaga pohon Akasiaku lagi seperti dulu. Aku pasti akan merindukannya.”
                Ia hanya mengangguk. Tak lama kemudian ia memelukku, ia menepuk-nepuk punggungku. Aku tahu, ia terlalu riskan tuk menutupi tangisnya. Matanya yang penuh kesedihan itu berhasil mengalahkan kesedihan yang seharusnya aku sendiri alami.
                “Sampai jumpa Nek, Assalamualaikum...”
                                                                                                ***
                Aku terbangun dari lamunanku. Ternyata setengah jam lalu, aku teringat oleh Nek Limo, aku sudah tak bertemu lagi dengannya satu tahun ini. Aku merindukannya, terakhir aku mengunjunginya hanya empat hari, aku merindukan pohon Akasiaku, aku ingin kesana lagi meskipun dalam keadaan seperti ini. Keadaan yang membawaku pada kenyataan bahwa aku tak mampu lagi berjalan dengan kedua kakiku. Aku hanya bisa terduduk lemah dikursi roda, kini ia menjadi sahabat kemanapun aku pergi.
                “Ayah, bolehkah aku pergi ke Sukabumi lagi?” aku membuka percakapan dengan ayahku.
                “Untuk apa? Jika kau merindukan Nek Limo kau bisa meneleponnya..” jawab ayah menanggapi omonganku. Aku terdiam.
                “Ayo cepat makan, sini, kali ini ayah akan menyuapimu..” Ayah mengalihkan pembicaraan, ia mengerti ketika aku menjadi murung atas tanggapannya itu.
                Aku menurut. Aku makan ditemaninya, ia makan satu piring berdua denganku. Sesekali ia membuat lelucon, aku tak kuasa menahan tawaku. Ia ayah terbaikku. Aku memandanginya dalam, apakah ayah begitu menyayangiku? Air mataku kembali berkumpul, aku menangis dalam kebersamaannya.
                “Mengapa kau menangis? Apakah kau benar-benar ingin bertemu Nek Limo?” tanya ayahku tiba-tiba dengan mengerutkan alisnya. Aku menggeleng. Tanganku segera menghapus air mata itu, lalu tersenyum padanya. Namun makanan yang sedang kukunyah di mulutku dan berniat kutelan malah menyumbat di kerongkonganku. Aku tersedak. Ayahku panik bukan main, terlihat selintas dimataku ia menangis ketakutan, ia langsung memanggil ibuku dan saat itu aku tak ingat apa-apa lagi bahkan ketika sampai di Rumah Sakit.
***
                “Dimana cucuku?” tanyaku ketika sampai di sebuah Rumah sakit tempat Kezia dirawat. Aku berjalan terburu-buru, menghampiri bagian informasi, dan lain-lain. Akhirnya aku bertemu dengan Fariz.
                “Bagaimana dengan keadaan cucuku?”
                Ia tak menjawab. Ia hanya terus berjalan mengantarkanku pada sebuah ruangan. Sampai. Aku melihat dari celah kaca yang terdapat di pintu kamar 035 itu. Kezia terbaring lemah, begitu banyak selang yang berada disampingnya. Sebuah alat bantu pernafasan terpasang dihidungnya. Hatiku menjerit, aku tak kuat melihatnya.
                Tangisku hancur dalam pelukan Ambar―ibu Kezia. Aku tak sanggup melihat keadaan cucuku, hatiku sakit, tubuhku bergetar bukan main. Air mataku jatuh seiring dengan jalannya waktu, mengalir deras dan tak tahu ujungnya. Mengapa ini harus terjadi pada cucuku? Mengapaaa?!
                “Dia mengalami koma. Ia tersedak ketika disuapiku,” hatiku bergeming saat mendengar penjelasan Fariz. Bagaimana bisa?
                Mataku kembali ku arahkan pada pemandangan kesakitan itu, hatiku hanya bisa memanggil-manggil namanya. Aku ingin masuk, aku ingin melihat keadaan cucuku dari dekat, aku ingin berada disampingnya.
***
                Aku menatap kosong teras depan rumahku, kini aku telah kembali. Setelah proses panjang menunggu cucuku bangkit kembali, ternyata ia memilih untuk pergi, pergi selamanya. Aku belum bisa melepas seutuhnya, bahkan dengan kedua orang tuanya. Tanganku masih menggenggam secarik kertas yang ku temukan di kamar Kezia sehari setelah ia meninggal.
                Nek, aku titip pohon Akasiaku..  Aku tahu umurku tidak akan lama lagi, bahkan saat aku pulang dari tempatmu aku telah sadar akan itu. Aku sadar aku akan merepotkanmu seumur hidup, bukan sekedar sebelas tahun seperti saat aku menanam pohon itu pertama kali dan harus pergi ke Jakarta. Kumohon, itu permintaan terakhirku, aku akan bahagia di Surga sana...
                Aku mendekap kertas itu, hatiku menjerit, begitu sakitnya setiap kali membacanya. Kala itu, saat pertama kali aku membacanya, aku berjanji untuk melakukan permintaan cucuku itu, setiap pagi sepulangku dari Jakarta satu bulan lalu aku selalu datang ke kebun hanya untuk melihat pohon Akasia itu. Aku selalu menangis dibawah pohon itu, bahkan suatu waktu―yang kutahu saat itu bukan musim hujan―pohon itu mengeluarkan beberapa tetesan air dari kulit yang mengelilingi batangnya. Aku tak pernah menganggapnya sebagai suatu keanehan bahkan keajaiban, namun aku percaya pohon itu tidak lain merindukan sosok cucuku Kezia, sosok Kezia yang meskipun hanya beberapa kali mengunjunginya. Aku rasa almarhum suamiku pun masih dikenangnya, karena ia yang telah menemukan pohon itu  bersama dengan Kezia. Selamat jalan cucuku, selamat jalan suamiku...


-The End-

                                                                                                                                                                ARB

No comments:

Post a Comment

Silahkan komentar guna menambah inspirasi saya