“KEJUTAN DARI AYAH”
“Apa yang kau rasakan
saat dipeluk seorang Ayah?”
Sore
ini aku hanya duduk termenung dengan ditemani suara gemerintik hujan. Memandang
kosong ke balik jendela kamarku.
Tanganku masih menggenggam sebuah bingkai foto. Otakku seakan lumpuh sesaat.
Suara radio yang sedari tadi aku dengarkan kini benar-benar membuatku beku.
Seakan diingatkan kembali pada seseorang yang benar-benar kucintai. Seseorang
yang pernah hadir dalam sela-sela hariku, seseorang yang pernah sedikit saja
berkorban untukku, seseorang yang pernah mengukir cerita hidup bersama
keluargaku.
“Aku
tak pernah lagi merasakannya,” aku berkata tak lebih demi menjawab pertanyaan
penyiar radio itu. Hatiku teriris. Seketika air mataku jatuh membasahi bingkai
foto dipangkuanku. Disana, aku yang dalam foto itu menyunggingkan senyuman
penuh antusias tepat dipangkuan Ayah yang ekspresi wajahnya hanya tersenyum
datar. Ibu yang meletakkan tangan pada bahu Ayah dan kakakku berdiri tepat
disamping Ibu. Foto itu diambil saatku berumur lima tahun. Foto yang selalu
membuatku terjerat rindu saatku melihatnya. Foto yang menjadi sesuatu paling
berharga diantara barang-barang yang kumiliki.
Kini
bingkai foto kenangan itu telah terbenam dalam pelukan tubuhku yang bergetar.
Hatiku tak henti-hentinya mengucapkan bahwa ini sangat sakit. Tak seorangkah
tahu perasaanku?
***
Pagi
itu, aku yang selalu saja bangun terlambat menggugah hati Ayah untuk
membangunkanku. Tak lebih karena hari itu adalah hari sekolah. Biasanya Ibulah
yang membangunkanku, namun entah ada angin apa kali ini Ayah menggantikan
posisi Ibu. Aku, ya tentu saja masih saja sulit dibangunkan.
“Marla,
cepatlah bangun, kau akan terlambat berangkat sekolah, Sayang.” Seru Ayah dari
balik pintu kamarku. Suara itu, suara lembut Ayah yang masih terngiang di
telingaku sampai detik ini.
“Ya,
aku sudah bangun,” jawabku singkat dengan tubuh masih lekat dengan kasur. Saat
itu aku menganggap itu sebagai suara Ibu, jelas saja aku langsung berbohong.
Suara
ketukan pintu semakin keras terdengar. “Nak, ini sudah pukul setengah tujuh.
Ayah dan kakakmu akan tega meninggalkanmu kalau kau belum mau bangun juga..”
Ayah kembali membangunkanku.
Mataku
terbuka sedikit, merasakan hawa pagi hari yang begitu mengilukan. “Sial,
mengapa selalu begini?” sahutku tak lebih pada diri sendiri. “OK OK aku
bangun,” kataku untuk membalas suara dibalik pintu. Aku memiringkan kepala
seakan menjadikan itu sebagai gerakan stretching, lalu menepuk-nepuk leher
dengan telapak tangan, merasakan badan yang jauh dari kata ‘bugar’.
“Kau
masih duduk? Ayo cepatlah pergi mandi, Ayah dan Kakakmu sudah siap.” Aku
menoleh ke arah pintu kamarku. Ayah? Apakah Ayah yang membangunkanku semenjak
tadi?
Aku
berlari ke arah suara itu, seketika membuka pintu. Disana, masih terlihat jelas
senyum Ayah, senyuman tulus yang selalu diberikan seorang Ayah pada anak
perempuannya. Senyuman yang kini masih saja terlintas dalam pandanganku.
` “A-a-ayah?”
Aku berkata terbata-bata seakan belum percaya ada sosok Ayah dibalik pintu
kamarku.
“Ada
apa? Ayo cepat pergi mandi.” Sahut Ayah cepat-cepat.
Hari
itu, aku menjadikan hari penuh kejutan, karena setelah satu tahun terakhir Ayah
tak pernah membangunkanku, dan di hari itu suara lembut Ayah kembali mengalun
di pagiku. Aku selalu mengingat, karena hal kecil itu aku jadi rajin bangun
pagi, dalam benakku aku tak ingin Ayah kembali membangunkanku, membuatnya capek
hanya karena ulah bodohku.
***
Air
mataku kembali jatuh. Tangisan ini semakin membludak, hati yang semakin sakit
saat kenangan itu kembali terlintas. Tanganku masih memeluk bingkai foto itu.
Kini suara hujan menyatu dengan tangisku, siaran radio itu kali ini memutar
lagu melow yang sungguh benar-benar membuatku mati rasa.
Kenangan
pahit itu. Aku tak tahu bagaimana cara menghilangkannya dari otakku. Aku ingin
sekali membuang jauh-jauh kenyataan pahit itu. Sesuatu yang menyisakan lubang
di hati. Entah bagaimana cara menutupnya, yang kutahu lubang itu semakin
membesar kala kenangan itu kembali terbenak dalam pikiran. Tak ada seorang pun
yang merasakan bagaimana pedihnya hati ini kecuali Ibu.
***
Hari
itu, tepat saat hari yang kusebut hari penuh kejutan itu berubah menjadi hari dimana kenyataan pahit
itu pun datang. Kala itu setelah Ayah berhasil membangunkanku dan membuatku
bersemangat kembali, sesuatu menjadikan hariku sunyi.
“Marla,
kau dimana? Cepatlah pulang.” Kak Vino berbicara dibalik telepon. Saat itu aku
hanya menjawab iya, tak lebih tak kurang. Namun, suara Kak Vino memang sedikit
berbeda ketika itu, sedikit terdengar sengau.
“Ada
apa Kak?” Aku bertanya menyelidik, seakan sesuatu yang tak beres terjadi.
Tetapi aku sebisa mungkin menepis segala hipotesis buruk yang silih berganti
masuk dalam otakku. Berburuk sangka itu tak baik menurut agamaku.
Kak
Vino hanya diam. Tak ada suara yang ia keluarkan lagi, ia langsung memutuskan
sambungan telepon. Hatiku bertanya-tanya, ada apa? Apakah rumahku kemalingan?
Atau Ibu kejambretan? Atau pula Kak Vino sedang dirundung masalah yang sangat
berat sehingga sangat membutuhkan pertolonganku?
Segala
pertanyaan dalam otakku sirna sudah saat aku sampai di rumah. Orang-orang ramai
silih berganti masuk ke rumahku. Saat itu waktu memang sudah menunjukkan sore
hari. Aku langsung berlari masuk ke rumah.
“Ibu
apakah rumah kita kemalingan?” Aku bertanya sangat kencang, kini seluruh pasang
mata tertuju padaku. Aku semakin bingung. Mataku sibuk mencari sosok Ibu.
Dimana? Aku berlari ke arah dapur, ibu tidak ada, aku berlari ke halaman
belakang, ibu pun tidak ada. Seseorang memberiku isyarat, Ibu ada di kamarnya.
Seketika tanpa berpikir kembali aku langsung kesana.
“Ibu... Ada apa? Apa yang
terjadi?” Ibu duduk termenung diatas tempat tisur, kedua tangannya ia kepalkan
dan disimpannya tepat menutupi mulutnya. Matanya sebam, ada apa?
“Ayahmu... Ayahmu...”
Aku jatuh terduduk tepat
di ambang pintu. Saat itu aku mencoba pergi keluar ruang yang memberikanku
sebuah kenyataan pahit. Kakiku tak kuat untuk menopang tubuhku. Aku masih tak
percaya semua penjelasan Ibu kala itu, namun Kak Vino datang memelukku, tangis
kami membludak. Benar, ternyata Ibu tidak bohong. Aku mulai pecaya.
***
Hujan sedikit demi
sedikit reda. Sunyi kembali datang. Aku menoleh ke arah pintu seketika,
tanganku masih memeluk bingkai foto. “Ayah...” Segalanya seperti teringatkan
kembali. Aku yang selalu menantikan Ayah kembali hadir di balik pintu,
menyambut pagiku. Aku yang ingin memiliki sebutan hari penuh kejutan lagi. Aku
yang ingin mengucapkan kembali pada kala itu sesuatu yang sangat berharga. Aku
yang selalu bertanya apakah Ayah mendengar? Apakah Ayah mendengar apa yang
kubisikkan dalam tidurnya kala itu?
Kini, segalanya telah berbeda. Aku
hanya bisa menyibukkan diri hanya demi menghilangkan kenangan kelam itu. Namun
detik ini, menit ini, jam ini, hari ini aku tak bisa menyembunyikan goresan
tinta menyakitkan itu. Aku harus mengatakannya sekali lagi, aku ingin Ayah
mendengarnya sekali lagi.
“Ayah, aku disini merindukanmu,
sungguh. Aku ingin kau kembali dalam keluarga kami. Aku, Ibu, dan Kak Vino
ingin merayakan hari berkesan ini, hari dimana kau membangunkanku, hari dimana
kau terakhir kali memberikan sentuhan kasih sayang, hari dimana semua orang di
dunia berkata ‘Selamat Hari Ayah’.”
-ARB-
No comments:
Post a Comment
Silahkan komentar guna menambah inspirasi saya