Thursday, November 14, 2013

#HappyFatherDay



“KEJUTAN DARI AYAH”
“Apa yang kau rasakan saat dipeluk seorang Ayah?”
            Sore ini aku hanya duduk termenung dengan ditemani suara gemerintik hujan. Memandang kosong  ke balik jendela kamarku. Tanganku masih menggenggam sebuah bingkai foto. Otakku seakan lumpuh sesaat. Suara radio yang sedari tadi aku dengarkan kini benar-benar membuatku beku. Seakan diingatkan kembali pada seseorang yang benar-benar kucintai. Seseorang yang pernah hadir dalam sela-sela hariku, seseorang yang pernah sedikit saja berkorban untukku, seseorang yang pernah mengukir cerita hidup bersama keluargaku.
            “Aku tak pernah lagi merasakannya,” aku berkata tak lebih demi menjawab pertanyaan penyiar radio itu. Hatiku teriris. Seketika air mataku jatuh membasahi bingkai foto dipangkuanku. Disana, aku yang dalam foto itu menyunggingkan senyuman penuh antusias tepat dipangkuan Ayah yang ekspresi wajahnya hanya tersenyum datar. Ibu yang meletakkan tangan pada bahu Ayah dan kakakku berdiri tepat disamping Ibu. Foto itu diambil saatku berumur lima tahun. Foto yang selalu membuatku terjerat rindu saatku melihatnya. Foto yang menjadi sesuatu paling berharga diantara barang-barang yang kumiliki.
            Kini bingkai foto kenangan itu telah terbenam dalam pelukan tubuhku yang bergetar. Hatiku tak henti-hentinya mengucapkan bahwa ini sangat sakit. Tak seorangkah tahu perasaanku?
***

            Pagi itu, aku yang selalu saja bangun terlambat menggugah hati Ayah untuk membangunkanku. Tak lebih karena hari itu adalah hari sekolah. Biasanya Ibulah yang membangunkanku, namun entah ada angin apa kali ini Ayah menggantikan posisi Ibu. Aku, ya tentu saja masih saja sulit dibangunkan.
            “Marla, cepatlah bangun, kau akan terlambat berangkat sekolah, Sayang.” Seru Ayah dari balik pintu kamarku. Suara itu, suara lembut Ayah yang masih terngiang di telingaku sampai detik ini.
            “Ya, aku sudah bangun,” jawabku singkat dengan tubuh masih lekat dengan kasur. Saat itu aku menganggap itu sebagai suara Ibu, jelas saja aku langsung berbohong.
            Suara ketukan pintu semakin keras terdengar. “Nak, ini sudah pukul setengah tujuh. Ayah dan kakakmu akan tega meninggalkanmu kalau kau belum mau bangun juga..” Ayah kembali membangunkanku.
            Mataku terbuka sedikit, merasakan hawa pagi hari yang begitu mengilukan. “Sial, mengapa selalu begini?” sahutku tak lebih pada diri sendiri. “OK OK aku bangun,” kataku untuk membalas suara dibalik pintu. Aku memiringkan kepala seakan menjadikan itu sebagai gerakan stretching, lalu menepuk-nepuk leher dengan telapak tangan, merasakan badan yang jauh dari kata ‘bugar’.
            “Kau masih duduk? Ayo cepatlah pergi mandi, Ayah dan Kakakmu sudah siap.” Aku menoleh ke arah pintu kamarku. Ayah? Apakah Ayah yang membangunkanku semenjak tadi?
            Aku berlari ke arah suara itu, seketika membuka pintu. Disana, masih terlihat jelas senyum Ayah, senyuman tulus yang selalu diberikan seorang Ayah pada anak perempuannya. Senyuman yang kini masih saja terlintas dalam pandanganku.
`           “A-a-ayah?” Aku berkata terbata-bata seakan belum percaya ada sosok Ayah dibalik pintu kamarku.
            “Ada apa? Ayo cepat pergi mandi.” Sahut Ayah cepat-cepat.
            Hari itu, aku menjadikan hari penuh kejutan, karena setelah satu tahun terakhir Ayah tak pernah membangunkanku, dan di hari itu suara lembut Ayah kembali mengalun di pagiku. Aku selalu mengingat, karena hal kecil itu aku jadi rajin bangun pagi, dalam benakku aku tak ingin Ayah kembali membangunkanku, membuatnya capek hanya karena ulah bodohku.
***
            Air mataku kembali jatuh. Tangisan ini semakin membludak, hati yang semakin sakit saat kenangan itu kembali terlintas. Tanganku masih memeluk bingkai foto itu. Kini suara hujan menyatu dengan tangisku, siaran radio itu kali ini memutar lagu melow yang sungguh benar-benar membuatku mati rasa.
            Kenangan pahit itu. Aku tak tahu bagaimana cara menghilangkannya dari otakku. Aku ingin sekali membuang jauh-jauh kenyataan pahit itu. Sesuatu yang menyisakan lubang di hati. Entah bagaimana cara menutupnya, yang kutahu lubang itu semakin membesar kala kenangan itu kembali terbenak dalam pikiran. Tak ada seorang pun yang merasakan bagaimana pedihnya hati ini kecuali Ibu.
***
            Hari itu, tepat saat hari yang kusebut hari penuh kejutan itu  berubah menjadi hari dimana kenyataan pahit itu pun datang. Kala itu setelah Ayah berhasil membangunkanku dan membuatku bersemangat kembali, sesuatu menjadikan hariku sunyi.
            “Marla, kau dimana? Cepatlah pulang.” Kak Vino berbicara dibalik telepon. Saat itu aku hanya menjawab iya, tak lebih tak kurang. Namun, suara Kak Vino memang sedikit berbeda ketika itu, sedikit terdengar sengau.
            “Ada apa Kak?” Aku bertanya menyelidik, seakan sesuatu yang tak beres terjadi. Tetapi aku sebisa mungkin menepis segala hipotesis buruk yang silih berganti masuk dalam otakku. Berburuk sangka itu tak baik menurut agamaku.
            Kak Vino hanya diam. Tak ada suara yang ia keluarkan lagi, ia langsung memutuskan sambungan telepon. Hatiku bertanya-tanya, ada apa? Apakah rumahku kemalingan? Atau Ibu kejambretan? Atau pula Kak Vino sedang dirundung masalah yang sangat berat sehingga sangat membutuhkan pertolonganku?
            Segala pertanyaan dalam otakku sirna sudah saat aku sampai di rumah. Orang-orang ramai silih berganti masuk ke rumahku. Saat itu waktu memang sudah menunjukkan sore hari. Aku langsung berlari masuk ke rumah.
            “Ibu apakah rumah kita kemalingan?” Aku bertanya sangat kencang, kini seluruh pasang mata tertuju padaku. Aku semakin bingung. Mataku sibuk mencari sosok Ibu. Dimana? Aku berlari ke arah dapur, ibu tidak ada, aku berlari ke halaman belakang, ibu pun tidak ada. Seseorang memberiku isyarat, Ibu ada di kamarnya. Seketika tanpa berpikir kembali aku langsung kesana.
“Ibu... Ada apa? Apa yang terjadi?” Ibu duduk termenung diatas tempat tisur, kedua tangannya ia kepalkan dan disimpannya tepat menutupi mulutnya. Matanya sebam, ada apa?
“Ayahmu... Ayahmu...”
Aku jatuh terduduk tepat di ambang pintu. Saat itu aku mencoba pergi keluar ruang yang memberikanku sebuah kenyataan pahit. Kakiku tak kuat untuk menopang tubuhku. Aku masih tak percaya semua penjelasan Ibu kala itu, namun Kak Vino datang memelukku, tangis kami membludak. Benar, ternyata Ibu tidak bohong. Aku mulai pecaya.
***
Hujan sedikit demi sedikit reda. Sunyi kembali datang. Aku menoleh ke arah pintu seketika, tanganku masih memeluk bingkai foto. “Ayah...” Segalanya seperti teringatkan kembali. Aku yang selalu menantikan Ayah kembali hadir di balik pintu, menyambut pagiku. Aku yang ingin memiliki sebutan hari penuh kejutan lagi. Aku yang ingin mengucapkan kembali pada kala itu sesuatu yang sangat berharga. Aku yang selalu bertanya apakah Ayah mendengar? Apakah Ayah mendengar apa yang kubisikkan dalam tidurnya kala itu?
Kini, segalanya telah berbeda. Aku hanya bisa menyibukkan diri hanya demi menghilangkan kenangan kelam itu. Namun detik ini, menit ini, jam ini, hari ini aku tak bisa menyembunyikan goresan tinta menyakitkan itu. Aku harus mengatakannya sekali lagi, aku ingin Ayah mendengarnya sekali lagi. 
“Ayah, aku disini merindukanmu, sungguh. Aku ingin kau kembali dalam keluarga kami. Aku, Ibu, dan Kak Vino ingin merayakan hari berkesan ini, hari dimana kau membangunkanku, hari dimana kau terakhir kali memberikan sentuhan kasih sayang, hari dimana semua orang di dunia berkata ‘Selamat Hari Ayah’.”

                                                                                                                        -ARB-

No comments:

Post a Comment

Silahkan komentar guna menambah inspirasi saya