“Aku
dan Sebuah Kamuflase Ini”
Detik ini, aku mulai
mempertanyakan banyak hal. Terlebih berasal dari hati ini. Aku ingin bertanya,
aku ingin mendapatkan sebuah jawaban.
Namun, apakah semua itu akan masih berguna jika hati ini terluka? Aku
berniat menyembuhkan rasa sakit ini dengan bertanya, kembali bertanya. Namun,
ketika aku menerima sebuah jawaban, hati ini semakin membengkak. Aku tak
sanggup menerima kenyataan, aku tak mau dengar, aku tak mau tahu, hatiku
menolak, otakku membeku, bibirku membisu. Aku tak sanggup.
Aku ingin pergi dari
kenyataan ini. Emosi ini tak terbendung. Terlalu sakit. Kuakui, akulah yang
memulai, tapi kini aku ingin berhenti. Benar, aku ingin berhenti. Aku tak kuasa
menahan pedih, aku tak kuasa menahan air mata ini. Terlalu miris, aku tahu itu,
namun apakah semua itu masih diperhitungkan walau dalam keadaan sekarat hati?
Ini sebuah kejutan,
ini sebuah jawaban. Rasa sakit ini menjadi sebuah bualan. Aku tak mungkin lari
dari ini, aku tak mungkin mengingkari ini. Jika waktu masih memberikanku sebuah
kenyataan, maka aku harus menggenggamnya. Sebuah cengkraman hati yang
bergejolak. Aku harus membuang semua dugaan baikku. Aku muak. Aku tak percaya.
Dugaan buruklah yang kini menghinggapiku. Pahit. Miris.
Orang itu, aku lelah.
Sendu matanya yang benar-benar membuatku memikirkannya. Mengukir rasa sakit
ini. Aku heran, mengapa dia menyukainya? Apakah itu sebuah takdir? Lalu
bagaimana dengan aku? Aku yang disini memandangi cengkrama hati mereka. Aku
terluka, sungguh, bahkan untuk menjelaskannya pun aku tak sanggup. Ketika jawaban
itu kuterima, tepat saat segala apa yang kupikirkan tentang bahagia bermekaran
di otakku, saat itu pula segalanya musnah. Aku tertegun untuk beberapa saat.
Aku menghela nafas panjang, sangat panjang. Aku mencoba mendongakkan kepalaku.
Aku...
Cukup. Aku tahu, semua
ini hanyalah ilusi. Ilusi yang berbuah kenyataan. Aku ingin lari dari ini,
sungguh, betapa aku ingin pergi dari masalah ini. Tak tahukah kau? Tak sadarkah
kau? Aku disini ingin kaulah yang pergi dari imajiku. Bukan aku. Itu bodoh,
tapi itu bodoh. Dan saat kutahu itu adalah suatu kebodohan, maka akulah yang
memulai. Memulai segalanya, menghapus melupakan membuang. Aku mencoba menghapus
segala yang pernah menjadi cerita kita. Aku mencoba melupakan cerita kita,
melupakan setiap obrolan kita. Bahkan, aku mencoba membuang segalanya, termasuk
rasa kagum ini.
Aku berhasil. Aku
berhasil untuk beberapa saat saja. Aku bahagia, aku mengukir bibirku menjadi
lengkungan indah. Namun... Kau kembali datang. Kembali mengusik hidupku. Aku
ingin berteriak, aku ingin menjerit, apa yang kau lakukan? Apa yang kau telah
katakan? Aku tak mau lihat, aku tak mau dengar. Aku ingin segalanya cepat
berlalu. Kau tahu kenapa? Karena aku sedang berkamuflase. Menyembunyikan segala
rasa pahit ini, segala rasa kecewa ini. Aku menderita. Lebih menderita jika kau
kembali.
Segalanya terasa pahit
dalam manis. Aku mencoba menelaah apa yang
terjadi, sesuatu yang terjadi pada diriku karena kau. Kau yang kembali
hadir saatku mencoba berlalu. Kau yang baru saja berkata ‘pernah menyukaiku’.
Kau yang baru saja berkata pernah ‘tertarik kepadaku.’ -ARB-
No comments:
Post a Comment
Silahkan komentar guna menambah inspirasi saya