“Teriakkan Sang
Maskot Kegagalan”
“Aku terlambat
lagi...”
Helaan
nafas panjang kukeluarkan seraya menatap arah depan. Kakiku masih berpijak pada
tanah yang kini menjadi sahabat soreku. Bersama sinar matahari yang semakin
terbenam, membuat tubuhku bagaikan siluet jika dilihat dari kejauhan. Tanganku
masih mengepal kuat, hatiku begitu bergejolak jika mengingat kejadian beberapa
menit yang lalu.
“Bodoh!
Kau bodoh!”
Aku
memaki hebat diriku sendiri. Merasakan diriku sangatlah bernasib buruk dari
sekian banyak orang yang sama-sama memiliki nasib buruk sepertiku. Namun akulah
pemenangnya, pemenang dari kontes nasib buruk itu.
Benar, aku
kalah oleh waktu. Lagi-lagi kalah oleh waktu. Entah apa saja yang aku lakukan
sampai semua ini terjadi. Menyia-nyiakan sedetik saja waktu yang kumiliki. Ya
beginilah hasilnya. Namun aku telah berusaha, aku banyak merepotkan banyak
orang, aku telah banyak menyisihkan waktu untuk ini. Mengapa waktu dan
kesempatan selalu berseberangan dengan keberuntunganku?
“Keberuntungan
lagi-lagi belum berpihak kepadamu, Keiko.” Aku tersenyum sinis, kata-kataku
barusan berasal dari hatiku. Gemuruh hatiku yang benar-benar membuatku
terkoyak-koyak.
Aku mulai
berjalan ke suatu tujuan yang tak jelas. Hasratku ingin mencari sudut yang
dimana segala keluh kesah hati ini dapat dilepaskan. Namun, aku harus segera
sampai. Aku takut sebuah katup di mataku mengeluarkan sebuah cairan khas
wanita. Aku tak mau.
Aku memutuskan
untuk mendekati tepi pantai dengan memboyong segala carut marut perjuanganku. Masih
dengan menggendong tas ransel mini berisi sesuatu yang membuat berat orang yang
membawanya. Barang penuh amarah, barang penuh jerih payah.
“Hey!” Aku
berteriak sangat kencang. Kedua tanganku ikut membantu untuk membesarkan
suaraku. “Kau tahu? Hatiku hancur! Aku telah mengecewakan banyak orang! Aku
yang bodoh! Aku ang sangat jauh dari kata beruntung! Aku yang memiliki
antimagnet dengan sebuah kata berhasil! Aku yang...” Aku berhenti berbicara,
nafasku tercekat, kakiku mulai goyah untuk sekedar menopang tubuhku sendiri.
Aku terjatuh.
“Sial! Mengapa
aku harus secengeng ini?” Aku menghapus setetes air mata yang jatuh dari
mataku. Kuhapus dengan penuh amarah, namun air mata itu terus mengalir.
Sampai-sampai aku harus memposisikan diriku untuk bisa menekukkan kepalaku
dalam kerasnya lutut kakiku. Aku duduk menangis memeluk kakiku sendiri.
“Mengapa hidup
sekejam ini?” Aku bertanya dalam sela tangisku. “Mengapa?!”
Tangisku pecah
tepat saat itu juga. Ditemani laut senja yang membawa ketenangan. Aku yang
hanya seorang diri mencoba menyelesaikan masalahku dengan begini, aku berpikir
hanya inilah yang menjadi pelepas masalahku, berpikir bahwa setelah luapan ini
akan ada kebahagiaan yang menghampiri.
Dengan tangan
bergetar, aku mencoba mengambil isi ranselku. Aku telah memberitahu, isi ransel
ini yang membuatku jatuh seperti ini, yang membuatku menangis pedih seperti
ini, yang membuatku kehilangan sedikit semangatku.
Kutempatkan
secarik kertas itu tepat dihadapanku. Secarik kertas yang sebelumnya hanya
lembaran kertas kosong. Secarik kertas yang kini berubah menjadi kertas yang
sangat berharga bagiku. Autumn, ya, ku ubah kertas yang tak berguna itu menjadi
nuansa autumn. Sebuah pohon tanpa daun yang berdiri di sisi kiri kertas, hanya
ada ranting-ranting yang daunnya berguguran. Kugambarkan daun-daun itu
berjatuhan ke sisa kertas yang masih kosong. Kuwarnai dengan warna oranye,
kucampur dengan warna coklat dan kuning. Tepat ditengahnya, kutuliskan sebuah
kata-kata mutiara.
Jodoh itu
bagaikan siluet yang mengilaukan, membentuk kilau yang padu padan, menjadikan
sebuah keindahan.#JodohAkanBertemu
Aku
tersenyum, lagi-lagi air mataku menetes saat kucoba mengedipkan mata. Sakit,
ya, hati ini sakit. Sebilah tanganku kini menepuk-nepuk dadaku, seakan ingin
meredakan rasa sakit yang ada. Secarik kertas yang ada dihadapanku kini,
secarik kertas yang baru saja ingin kuikutsertakan pada sebuah perlombaan.
Secarik kertas ini pula yang membawaku pada sebuah kegundahan. Aku terlambat,
aku terlambat mengirimnya, tidak-tidak, aku hanya membuat sebuah kesalahan
kecil.
“Aku tahu
ini adalah sebuah kegagalan yang kesekian kalinya, kegagalan yang benar-benar
membuatku harus bangkit, harus berjuang lagi. Aku pun tahu, keberhasilan yang
sebenarnya adalah ketika kita mencoba mengalahkan kegagalan itu, menempuh
segala kegagalan itu. Namun aku pula tahu, tak ada yang lebih indah dari proses
ini semua, proses yang rumit ini.” Aku diam, mataku terfokus pada laut yang ada
di depanku. “Lalu mengapa aku harus menangis?”
Aku
tertawa setelah itu, bangkit dari dudukku dan seraya berkata, “Inilah setting
yang menjadi arti dari tulisanku! Lihatlah aku, aku dan kertas ini yang menjadi
siluet. Membentuk keindahan bukan?” Aku tertawa masam, sedikit mendongakkan
kepalaku dan mengibas-ngibaskan kertas itu tepat diatas kepalaku.
Sadarku,
aku menganggap semua ini hanyalah emosi sesaat. Sebenarnya aku tahu apa itu
kegagalan, tidak sedikit pula aku pernah mengalami kegagalan. Namun yang
membuatku goyah kali ini adalah, aku mengecewakan orang-orang disampingku,
orang-orang yang membantuku dalam proses ini...
~Terkutip 201113, ARB~
No comments:
Post a Comment
Silahkan komentar guna menambah inspirasi saya