Monday, November 18, 2013

Hmm ;)



Kebulatan Tekad
Siang ini aku berniat untuk makan siang di sebuah restoran favoritku sekitar jalanan Kemang. Terhitung sejak satu bulan terakhir aku hanya menghabiskan jam makan siangku di kantor, ya, pekerjaanlah yang membuatku seperti itu. Memiliki pekerjaan terhormat memang tak selamanya enak. Akhirnya setelah merasa semua pekerjaanku selesai, tepat kemarin malam―lembur―aku langsung berniat merelaksasikan tubuhku esoknya.
                Jalanan sedikit lengang, mungkin saat ini masih termasuk jam kantor. Aku tak terlalu memperdulikan, karena fokus mengemudi sembari mendengarkan siaran radio dari audio bank mobilku. Hobi.
                “Bahkan kali ini pun aku sampai tak tahu penyiar radio ini telah berubah,” aku mendesah pelan. “Satu bulan ini aku seperti lenyap dari bumi.”
                Mendengarkan radio memang hobiku, namun seperti yang aku bilang tadi, menyusun sejumlah paper demi terbang ke Paris telah meredupkan sedikit warna hidupku. Masih sibuk dengan pikiran sendiri, mataku terarah pada lampu lalu lintas yang mengharuskan mobilku berhenti. Lampu merah. Aku menyandarkan tubuhku dan sejenak melepaskan tanganku dari stir mobil. Terlihat sebuah sepeda motor ikut berhenti, namun sedikit mengambil posisi lebih depan dari mobilku. Sosok seorang ibu yang membonceng anak perempuan―lengkap memakai seragam sekolahnya. Aku tersenyum namun merasa hatiku bergeming, melihat pemandangan seperti itu jadi mengingatkanku pada kenangan sepuluh tahun lalu. Tepat ketika aku duduk di bangku sekolah menengah atas.
***
                Aku mendongak menatap langit, berada di lantai tiga gedung sekolah yang belum selesai dibangun menjadi kebiasaanku melepas segala keluh kesah. Sendiri, ya sendiri. Dari sini, aku mampu melihat seluruh bangunan sekolah bahkan gunung yang berada tepat satu garis lurus dari tempatku berdiri. Langit yang biru bersih tanpa sekelibat awan di permukaannya serta kibasan angin yang menerpa rambutku sangat menenangkan hati. Aku memutuskan duduk di ujung bangunan tanpa atap ini, menggantungkan kakiku seraya merebahkan kedua tanganku.
                “Tidak akan lama lagi. Ya, tidak akan lama lagi,” gumamku sambil menghela nafas panjang.
                Pagi tadi, habis sudah aku dipermalukan. Seharusnya hari ini menjadi hari yang baik bagiku, namun kata-kata itu terlalu menusuk hati. Ketika namaku dipanggil untuk menerima raport akhir semesterku, kata-kata yang meluncur begitu saja dari mulut seseorang itu. ‘Kau masih mempunyai tunggakan, kapan kau akan bayar?’ Pertanyaan itu masih terngiang-ngiang di telingaku. Detik itu juga aku langsung mengutuknya. Pantaskah berbicara seperti itu? Bertanya sekeras itu? Bahkan aku pikir akan lebih menusuk dan menyakitkan jika aku tak mendapat peringkat.
                “Bersisa beberapa bulan lagi untukku berada disini, disini!” seruku dalam hati, kedua tanganku telah mengepal, begitu inginnya aku membeli segala ucapan orang itu.
                Aku memang tidak terlahirkan dari sebuah keluarga yang sangat kaya raya, namun hidup berkecukupan seperti sekarang sudah sangat aku syukuri. Hidup bahagia bersama ibu dan kakak laki-lakiku.
                Ayahku?
                Orangtuaku bercerai sekitar delapan tahun lalu, tepat ketika aku duduk di kelas empat sekolah dasar. Aku belum pernah bertemu lagi dengannya, bahkan mendengar suaranya di telepon pun hanya tidak kurang dari tiga kali. Komunikasi diantara kami sangat buruk―ia yang memperburuk, bukan aku atau ibu juga kakakku. Itu semua yang menjadikan perekonomian keluargaku tersendat. Aku tidak membencinya, tetapi itu cukup menambah sakit jiwaku jika mengingatnya. Ibuku memang seorang wanita karir, namun apakah cukup untuk memenuhi kebutuhan dua orang anak yang sedang haus akan uang demi sekolahnya? Tidak.
                Aku memang bukan satu-satunya siswi yang “terlilit hutang”, temanku pun ada. Aku sangat ingin tak terlalu memikirkannya, namun setiap kali daftar tagihan itu datang, aku langsung terkesiap. Jika selembar kertas dapat membunuh, maka aku telah terkapar tak bernyawa. Tetapi tidak begitu, aku selalu bertekad bahwa suatu saat nanti aku bisa membayarnya. Bahkan bertekad setelah dewasa kelak aku akan kelebihan uang sehingga mampu membeli sekolah elit ini.
                Aku menarik napas panjang, lalu mencari sesuatu dalam tasku. Buku raport. Lembar demi lembar aku buka hingga halaman terakhir yang terdapat goretan-goretan pulpen.
                “Lihat, bahkan nilaiku sangatlah bagus. Ibu pasti akan bangga padaku,” aku tersenyum masam. Aku tiba-tiba tersadar, penglihatanku terhalang oleh sesuatu. Aku mencoba berkedip namun yang terjadi adalah setetes air mata terjatuh. Segera aku menyeka air mataku.
 Begitu menyakitkan melihat ibuku bolak-balik ke sekolah untuk meminta tenggang waktu pembayaran. Tapi, jika tidak begitu maka aku dan kakakku tidak akan bisa mengikuti ujian dan lain sebagainya.
                Menangis seperti ini jadi mengingatkanku pada sebuah kejadian. Dulu pun aku sempat menangis di samping temanku. Begitu sesaknya dadaku saat seseorang menyuruh cepat membayar uang bulanan dan sisa-sisa hutang atau jika tidak orangtuaku akan dipanggil. Saat itu aku bahkan tak sanggup menceritakan bagaimana keadaan keluargaku pada temanku, aku hanya bisa menangis, menangis yang menjadi-jadi. Mengapa untuk mendapatkan uang sangat sulit bagi sebagian orang?
                Aku tersadar, buku raportku kini telah basah oleh air mataku. Segera aku menghapus air mata dengan punggung tanganku. Helaan napas panjang sedikit melegakan dada yang sakit. Lalu aku berniat memasukkan kembali buku raportku ketika beranjak dari dudukku. Memakai tas gendongku dan memastikan itu sudah tertutup rapat.
                “Tuhan, aku berjanji, aku akan sekuat tenaga menjadikan diriku yang biasa ini menjadi seseorang yang sukses. Seseorang yang mampu membuktikan bahwa aku tak akan lagi dipandang sebelah mata karena harta. Seseorang yang akan selalu bertekad mampu membeli setiap perkataan menyakitkan itu.” Kalimat-kalimat itu lancar meluncur dari mulutku. Kalimat-kalimat luapan dari hati yang sesak dan menyakitkan.
***
                Suara klakson berbagai macam kendaraan di belakang mobil berhasil membuyarkan segala lamunanku. Aku mengerjapkan mata beberapa kali, lalu tak tanggung-tanggung langsung menancap gas―menghindari amukan masa. Sekilas aku tak lagi melihat sepeda motor milik ibu yang membonceng anaknya itu, sepertinya mereka telah tancap gas sedari tadi. Ah, begitu lamakah aku melamun?
                Kali ini mobilku terisi dengan alunan musik lagu barat melow yang terputar dari radio yang kuceritakan di awal saat pertama kali menyetelnya. Namun tiba-tiba saja suara ponsel mencampur aduk segalanya, dalam satu gerakan tangan aku langsung mengambil ponselku dari tas tangan yang berada di jok sebelahku.
                “Halo?” aku membuka percakapan. Mas Raga. “Oh iya Mas, bagaimana?” Selama beberapa menit aku mendengarkan apa yang dikatakannya. Akan tetapi ketika kata-kata terakhir yang dikeluarkan mas Raga masuk ke telingaku, seulas senyum langsung tersungging dari bibirku. Paper yang kubuat berhasil meyakinkan stasiun televisi yang mengontrakku, bukan hanya itu, mas Raga berpesan bahwa saat presentasi nanti aku harus tampil percaya diri. Menjadi jurnalis seperti ini sangat menyenangkan meskipun melelahkan, terlebih lagi jurnalis selebriti sepertiku ini.
                “Uangmu telah menumpuk, jangan lupa membawa banyak-banyak uangmu saat pergi kesana, produser tak akan menyertakan honormu,” ujar mas Raga menutup percakapan. Aku hanya tertawa lepas mendengarnya. Aku tahu itu hanya sebuah guyonan.
                Mataku kembali fokus menatap arah depan, tempat yang kutuju semakin dekat.
                “Hm, kali ini kota impianku akan segera kujamahi. Inilah yang disebut hasil. Hasil segala rasa prihatinku, rasa sakitku, dan ambisiku yang membara selama ini, selama masa remaja yang menyakitkan itu,” aku meremas stir mobil.
Setiap perjuangan memang tak akan berujung, bahkan saat pertama kali aku melakukan perjuangan itu sepuluh tahun lalu. Perjuangan yang menjadikan ibu dan kakakku bangga. Perjuangan atas semua orang yang menjadi pecutan dan hinaan hidupku. Perjuangan pembuktian segala yang kuucapkan yang menjadi prinsip dalam hidupku dulu hingga sekarang.


-The End-

No comments:

Post a Comment

Silahkan komentar guna menambah inspirasi saya