Kebulatan
Tekad
Siang ini aku berniat untuk makan siang di sebuah
restoran favoritku sekitar jalanan Kemang. Terhitung sejak satu bulan terakhir
aku hanya menghabiskan jam makan siangku di kantor, ya, pekerjaanlah yang
membuatku seperti itu. Memiliki pekerjaan terhormat memang tak selamanya enak.
Akhirnya setelah merasa semua pekerjaanku selesai, tepat kemarin malam―lembur―aku langsung berniat merelaksasikan tubuhku esoknya.
Jalanan sedikit
lengang, mungkin saat ini masih termasuk jam kantor. Aku tak terlalu
memperdulikan, karena fokus mengemudi
sembari mendengarkan siaran radio dari audio bank mobilku. Hobi.
“Bahkan kali ini pun
aku sampai tak tahu penyiar radio ini telah berubah,” aku mendesah pelan. “Satu
bulan ini aku seperti lenyap dari bumi.”
Mendengarkan radio
memang hobiku, namun seperti yang aku bilang tadi, menyusun sejumlah paper demi
terbang ke Paris telah meredupkan sedikit warna hidupku. Masih sibuk dengan
pikiran sendiri, mataku terarah pada lampu lalu lintas yang mengharuskan
mobilku berhenti. Lampu merah. Aku menyandarkan tubuhku dan sejenak melepaskan tanganku
dari stir mobil. Terlihat sebuah sepeda motor ikut berhenti, namun sedikit
mengambil posisi lebih depan dari mobilku. Sosok seorang ibu yang membonceng
anak perempuan―lengkap memakai seragam sekolahnya. Aku tersenyum namun merasa
hatiku bergeming, melihat pemandangan seperti itu jadi mengingatkanku pada
kenangan sepuluh tahun lalu. Tepat ketika aku duduk di bangku sekolah menengah
atas.
Aku mendongak menatap langit, berada di lantai tiga gedung sekolah yang
belum selesai dibangun menjadi kebiasaanku melepas segala keluh kesah. Sendiri,
ya sendiri. Dari sini, aku mampu melihat seluruh bangunan sekolah bahkan gunung
yang berada tepat satu garis lurus dari tempatku berdiri. Langit yang biru
bersih tanpa sekelibat awan di permukaannya serta kibasan angin yang menerpa
rambutku sangat menenangkan hati. Aku memutuskan duduk di ujung bangunan tanpa
atap ini, menggantungkan kakiku seraya merebahkan kedua tanganku.
“Tidak akan lama lagi. Ya, tidak
akan lama lagi,” gumamku sambil menghela nafas panjang.
Pagi tadi, habis sudah
aku dipermalukan. Seharusnya hari ini menjadi hari yang baik bagiku, namun
kata-kata itu terlalu menusuk hati. Ketika namaku dipanggil untuk menerima
raport akhir semesterku, kata-kata yang meluncur begitu saja dari mulut
seseorang itu. ‘Kau masih mempunyai tunggakan, kapan kau akan bayar?’
Pertanyaan itu masih terngiang-ngiang di telingaku. Detik itu juga aku langsung
mengutuknya. Pantaskah berbicara seperti itu? Bertanya sekeras itu? Bahkan aku
pikir akan lebih menusuk dan menyakitkan jika aku tak mendapat peringkat.
“Bersisa beberapa
bulan lagi untukku berada disini, disini!” seruku dalam hati, kedua tanganku
telah mengepal, begitu inginnya aku membeli segala ucapan orang itu.
Aku memang tidak
terlahirkan dari sebuah keluarga yang sangat kaya raya, namun hidup
berkecukupan seperti sekarang sudah sangat aku syukuri. Hidup bahagia bersama
ibu dan kakak laki-lakiku.
Ayahku?
Orangtuaku bercerai
sekitar delapan tahun lalu, tepat ketika aku duduk di kelas empat sekolah
dasar. Aku belum pernah bertemu lagi dengannya, bahkan mendengar suaranya di
telepon pun hanya tidak kurang dari tiga kali. Komunikasi diantara kami sangat
buruk―ia yang memperburuk, bukan aku atau ibu juga kakakku. Itu semua yang
menjadikan perekonomian keluargaku tersendat. Aku tidak membencinya, tetapi itu
cukup menambah sakit jiwaku jika mengingatnya. Ibuku memang seorang wanita
karir, namun apakah cukup untuk memenuhi kebutuhan dua orang anak yang sedang
haus akan uang demi sekolahnya? Tidak.
Aku memang bukan
satu-satunya siswi yang “terlilit hutang”,
temanku pun ada. Aku sangat ingin tak terlalu memikirkannya, namun setiap kali
daftar tagihan itu datang, aku langsung terkesiap. Jika selembar kertas dapat
membunuh, maka aku telah terkapar tak bernyawa. Tetapi tidak begitu, aku selalu
bertekad bahwa suatu saat nanti aku bisa membayarnya. Bahkan bertekad setelah
dewasa kelak aku akan kelebihan uang sehingga mampu membeli sekolah elit ini.
Aku menarik napas
panjang, lalu mencari sesuatu dalam tasku. Buku raport. Lembar demi lembar aku
buka hingga halaman terakhir yang terdapat goretan-goretan pulpen.
“Lihat, bahkan nilaiku
sangatlah bagus. Ibu pasti akan bangga padaku,” aku tersenyum masam. Aku
tiba-tiba tersadar, penglihatanku terhalang oleh sesuatu. Aku mencoba berkedip
namun yang terjadi adalah setetes air mata terjatuh. Segera aku menyeka air
mataku.
Begitu menyakitkan
melihat ibuku bolak-balik ke sekolah untuk meminta tenggang waktu pembayaran.
Tapi, jika tidak begitu maka aku dan kakakku tidak akan bisa mengikuti ujian
dan lain sebagainya.
Menangis seperti ini
jadi mengingatkanku pada sebuah kejadian. Dulu pun aku sempat menangis di
samping temanku. Begitu sesaknya dadaku saat
seseorang menyuruh cepat membayar uang bulanan dan sisa-sisa hutang atau
jika tidak orangtuaku akan dipanggil. Saat itu aku bahkan tak sanggup
menceritakan bagaimana keadaan keluargaku pada temanku, aku hanya bisa
menangis, menangis yang menjadi-jadi. Mengapa untuk mendapatkan uang sangat
sulit bagi sebagian orang?
Aku tersadar, buku
raportku kini telah basah oleh air mataku. Segera aku menghapus air mata dengan
punggung tanganku. Helaan napas panjang sedikit melegakan dada yang sakit. Lalu
aku berniat memasukkan kembali buku raportku ketika beranjak dari dudukku.
Memakai tas gendongku dan memastikan itu sudah tertutup rapat.
“Tuhan, aku berjanji,
aku akan sekuat tenaga menjadikan diriku yang biasa ini menjadi seseorang yang
sukses. Seseorang yang mampu membuktikan bahwa aku tak akan lagi dipandang
sebelah mata karena harta. Seseorang yang akan selalu bertekad mampu membeli
setiap perkataan menyakitkan itu.” Kalimat-kalimat itu lancar meluncur dari
mulutku. Kalimat-kalimat luapan dari hati yang sesak dan menyakitkan.
***
Suara klakson berbagai macam kendaraan di belakang mobil berhasil
membuyarkan segala lamunanku. Aku mengerjapkan mata beberapa kali, lalu tak
tanggung-tanggung langsung menancap gas―menghindari amukan masa. Sekilas aku
tak lagi melihat sepeda motor milik ibu yang membonceng anaknya itu, sepertinya
mereka telah tancap gas sedari tadi. Ah, begitu lamakah aku melamun?
Kali ini mobilku
terisi dengan alunan musik lagu barat melow yang terputar dari radio yang
kuceritakan di awal saat pertama kali menyetelnya. Namun tiba-tiba saja suara
ponsel mencampur aduk segalanya, dalam satu gerakan tangan aku langsung
mengambil ponselku dari tas tangan yang berada di jok sebelahku.
“Halo?” aku membuka
percakapan. Mas Raga. “Oh iya Mas, bagaimana?” Selama beberapa menit aku
mendengarkan apa yang dikatakannya. Akan tetapi ketika kata-kata terakhir yang
dikeluarkan mas Raga masuk ke telingaku, seulas senyum langsung tersungging
dari bibirku. Paper yang kubuat berhasil meyakinkan stasiun televisi yang
mengontrakku, bukan hanya itu, mas Raga berpesan bahwa saat presentasi nanti
aku harus tampil percaya diri. Menjadi jurnalis seperti ini sangat menyenangkan
meskipun melelahkan, terlebih lagi jurnalis selebriti sepertiku ini.
“Uangmu telah menumpuk,
jangan lupa membawa banyak-banyak uangmu saat pergi kesana, produser tak akan
menyertakan honormu,” ujar mas Raga menutup percakapan. Aku hanya tertawa lepas
mendengarnya. Aku tahu itu hanya sebuah guyonan.
Mataku kembali fokus
menatap arah depan, tempat yang kutuju semakin dekat.
“Hm, kali ini kota
impianku akan segera kujamahi. Inilah yang disebut hasil. Hasil segala rasa
prihatinku, rasa sakitku, dan ambisiku yang membara selama ini, selama masa
remaja yang menyakitkan itu,” aku meremas stir mobil.
Setiap perjuangan memang tak akan berujung, bahkan saat
pertama kali aku melakukan perjuangan itu sepuluh tahun lalu. Perjuangan yang
menjadikan ibu dan kakakku bangga. Perjuangan atas semua orang yang menjadi
pecutan dan hinaan hidupku. Perjuangan pembuktian segala yang kuucapkan yang
menjadi prinsip dalam hidupku dulu hingga sekarang.
-The End-
No comments:
Post a Comment
Silahkan komentar guna menambah inspirasi saya