Wednesday, May 17, 2017

Autumn Without You #1

Satu...

Biru. Langit kota terlihat sangat cerah dan menawan. Awan putih yang menghiasi bentangan langit seakan menambah keelokan pemandangan semesta hari ini. Suara kicauan burung menjadi musik yang menenangkan hati, begitu pula dengan hembusan angin yang dengan lembutnya menyentuh daun-daun pohon.
            Terlihat seorang gadis yang sedang duduk di kursi yang berada di halaman rumahnya. Tangannya menggenggam erat sebuah ponsel dan buku catatan tebal. Sesekali dia menghembuskan nafas panjang setelah melihat layar ponselnya, wajahnya masam, dan mendengus kesal. Seakan suasana pagi itu tidak dapat menghiburnya sama sekali. Hari yang memilukan.
            “Astaga, apa lagi sekarang!” Dengus perempuan berkulit putih itu. Hari ini merupakan hari libur dan ia menyempatkan untuk pulang menemui orang tuanya di Bandung. Namun, pekerjaan menjadikannya seperti buronan yang kemanapun ia pergi—bahkan sedang libur sekalipun—selalu mengikutinya, oh tidak, lebih tepatnya memburunya.
            Nadine Nathania. Gadis berkacamata dengan rambut sebahu itu memiliki nama yang indah. Kulit putih seakan seperti selalu mandi susu, postur tubuh yang ideal, dan wajah yang menawan, menjadikan nama itu terdengar sangat cocok dengannya. Beberapa tahun sudah ia mengabdikan dirinya pada suatu perusahaan agen sekolah ke berbagai negara di dunia. Selama itu pula ia telah menjadi konselor untuk ratusan client. Rasa jenuh tidak pernah ia alami karena pekerjaan ini menjadikannya bisa berkunjung ke negara-negara dimana sekolah yang memiliki kerjasama dengan perusahaannya berada. Tujuannya adalah mengurus client, menambah relasi sekolah, pameran pendidikan, dan lain sebagainya. Perjalanan terakhirnya adalah ke Jerman, Nadine menghabiskan waktu sekitar dua minggu disana bersama rekan kerjanya—Diandra.
            Hari ini adalah hari libur nasional yang membuahkan libur panjang bagi para pegawai di Indonesia. Ya, hari libur ini jatuh di hari Jumat, oleh karena itu Nadine memutuskan untuk bertemu orang tuanya. Gadis itu merasa sudah lama tidak pulang mengunjungi kampung halamannya, pekerjaannya mengharuskan dia untuk berada di Jakarta selama bertahun-tahun. Namun, kesibukan yang dimilikinya tidak membuat ia sulit bertemu dengan orang taunya, karena ayah dan ibu Nadine sering mengunjungi Nadine bahkan dua minggu sekali.
          
  “Nadine…”
            Terdengar suara ibu dari gadis berumur 23 tahun itu memanggil namanya. Ia menoleh dan menjawab. “Ya bu… I’m here.”
            Wanita separuh baya itu menghampiri anaknya yang sedang duduk dengan melipat kakinya di kursi rotan bulat dengan penutup dibagian atas dan dilengkapi dengan bantal untuk diduduki. Kursi itu menjadi favorit Nadine sejak kecil, baginya kursi tersebut bukan hanya dijadikannya tempat bersantai, tetapi juga sudah menjadi saksi bisu kesedihan dan kebahagiannya. Karena itu adalah tempat ia menangis dan tertawa lepas.
Ya, tepat satu tahun lalu ia pulang dengan membawa duka dalam. Bahkan ketika sampai di rumahnya itu, ia langsung berlari ke kursi tersebut dan membenamkan dirinya disana. Menangis tersedu-sedu. Alasannya memang sangat pahit, cinta pertamanya sedang melangsungkan pernikahan tepat di hari itu, dan Nadine baru tahu saat teman-temannya menanyakan kehadirannya di pernikahan tersebut. Bagaimana mungkin gadis itu bisa datang kalau acaranya pun ia baru tahu ketika itu? Bagaimana mungkin gadis itu bisa datang kalau kenyataan mengatakan bahwa ia telah patah hati? Bertahun-tahun mengharapkan lelaki itu, namun pada akhirnya... ah sudahlah.
            “Kenapa masih disini? Kau akan mengantar ibu ke acara pernikahan anak Pak Rusli kan?” kata ibu Nadine dengan memasang muka kesal.
            Nadine membetulkan letak kacamatanya lantas tersenyum kecil sambil berkata, “Sebentar ya bu, hehehe… Nadine akan siap-siap dulu.” Ia pun langsung berlari ke kamarnya untuk bersiap-siap. Ibunya hanya menggelengkan kepala melihat anaknya yang sudah cukup matang namun kelakuannya terkadang seperti anak kecil.
***
            Nadine duduk di sudut gedung pernikahan sesaat setelah bersalaman dengan pengantin yang sedang berbahagia hari itu. Mereka tidak saling mengenal, hanya orang tua pengantin lelaki adalah teman lama orang tua Nadine. Gadis itu bersyukur karena orang tuanya tidak memiliki niatan untuk menjodohkan mereka, sampai pada akhirnya Zian—pengantin lelaki itu menemukan tambatan hatinya.
            “Nadine!”
            Teriakan itu membuyarkan lamunan Nadine yang sedang memikirkan pesan singkat dari atasannya pagi hari tadi yang membuat wajahnya masam.
            Terlihat seorang perempuan berambut panjang berwarna coklat berlari menghampirinya dengan wajah yang berbinar-binar, dan memeluknya erat ketika telah selangkah lebih dekat. Nadine memasang wajah kebingungan, namun tetap balik memeluk hangat perempuan itu.
            “Kemana saja? Ya ampun sudah lama sekali tidak bertemu!” ujar gadis itu dengan sangat semangat.
            Wajah Nadine memang tidak bisa dikontrol, ia tetap saja masih memasang wajah kebingungan. Untungnya, perempuan berambut coklat itu mengerti bahwa Nadine tidak mampu mengingat siapa dia.
            “Kamila! Kau sudah lupa?” katanya lalu melanjutkan, “Teman SMA.”
            Seolah diberikan clue yang lengkap, Nadine seketika tersenyum lebar seraya berkata, “Astaga! Kamila!!! Bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu.” Lalu disambung tawa oleh keduanya.
            Hari itu di pesta pernikahan tersebut Nadine habiskan untuk berbincang dengan Kamila, setelah sekitar 6 tahun tidak bertemu menjadikan keduanya antusias untuk saling menceritakan kehidupan dan pekerjaan mereka. Satu lagi, Nadine pun tak lupa menceritakan mengenai cinta pertamanya saat SMA yang memutuskan menikah dengan wanita lain.
            Sampai pada akhirnya, perbincangan mereka terputus karena ibu Nadine mengajaknya untuk segera pulang. “Nadine ayo kita pulang sekarang, ibu sudah beres ngobrol dengan teman-teman ibu.”
            “Yah ibu.. giliran Nadine yang sedang asyik ngobrol dengan teman lama malah diajak pulang,” gumam Nadine sambil memasang wajah kecewa. Ibunya hanya tersenyum dan mengucapkan selamat tinggal kepada Kamila.
            “Bye Kamila, see you again!” ujar Nadine sambil memeluk temannya itu, seakan itu akan menjadi pertemuan terakhir kalinya lagi. Kamila akan pindah ke Jambi, kota dimana ia bersama keluarganya berasal. Tentunya itu akan menjadikan kedua gadis itu sulit untuk bertemu.
***
           
“Jadi siapa pacarmu sekarang?”
            Nadine yang sedang fokus mengendarai mobilnya tersentak dengan pertanyaan yang dilontarkan ibunya. “Hm?” kata Nadine seakan tidak mendengar pertanyaan ibunya.
            “I guess you still have no one,” ujar ibunya mengejek.
            “I am looking for a prince, don’t worry.” Jawab Nadine santai, namun suaranya agak memekik. Ibunya hanya tertawa.
            Bagi Nadine yang telah 4 tahun single, bukan masalah serius kalau di usianya yang sekarang ia belum memiliki kekasih. Bukan karena masa lalu tentang cerita cinta yang kelam, namun karena keputusannya yang lebih memilih mementingkan pekerjaan. Meskipun rasa kecewa ditinggalkan cinta pertama masih terus menghantui dirinya.
            Ibu dan ayah Nadine sering menasehati untuk segera menikah, namun gadis itu berpikir bagaimana bisa menikah jika pasangannya pun masih samar-samar? Blur? Abstrak? Terkadang orang tua selalu memiliki pemikiran yang usang, seharusnya sudah dimuseumkan.
            “Kau single bukan karena Sam kan?” pertanyaan ibunya kembali membuyarkan fokus gadis itu.
            Nadine menggeleng lantas menjawab, “Bukan, bagaimana mungkin aku masih bisa mengharapkan lelaki yang kini telah memiliki istri?” Ibunya tersenyum. Nadine melanjutkan, “Kau mau aku mengganggu rumah tangganya?”
            Kalimat itu sontak membuat keduanya tertawa. Astaga lelucon yang selalu Nadine ucapkan ketika orang-orang mengkhawatirkannya karena lelaki bernama Sam tersebut. “Tidak tidak, aku telah melupakan cinta pertamaku!” ujar Nadine dalam hati lebih kepada dirinya sendiri.
 ***
“Nad, sepertinya aku tidak bisa ikut ke Aussie.”
Nadine terbangun dari tempat tidurnya seketika membaca pesan dari rekan kerjanya Diandra. Tak lama ia langsung menelepon sahabatnya itu.
“Halo, Di! Kenapa? Coba jelaskan alasanmu, kenapa?!”
“Hanya tidak bisa saja Nad.. Clientku di Jepang sedang mendapat masalah besar menyangkut sekolahnya.”
“Lalu dengan siapa aku pergi?”
“Hmm kau sendirian saja kan bisa, lagi pula disana kan ada kantor jadi kau tidak usah merasa sendirian. Yang bekerja disana kan banyak orang Indonesia juga.”
“Tapi..”
“Dan lagi pula, hanya kau yang disuruh, kau yang sekarang memegang project untuk di Australia, jadi aku tidak perlu ikut hmm..”
“Hmm kau benar. Tapi bayangkan saja, berbulan-bulan Diandra.. astaga kau bisa rasakan bagaimana jadi aku. Dan bisa saja aku akan menetap disana selamanya!”
“Hahaha santai saja Nadine Nathania, asal kau tahu, negara itu aman. Hmm kau bahkan akan menemukan jodohmu jika kau beruntung.”
            Setelah mendengar kalimat terakhir Diandra, Nadine memutuskan untuk menutup panggilan tersebut dan kembali berbaring di kasurnya. Bagaimana mungkin Diandra mengajak bercanda di saat-saat seperti ini.
Hari ini adalah hari terakhir ia menghabiskan waktunya di rumahnya. Malam nanti ia harus kembali ke Jakarta dan besok harus menjalani rutinitasnya kembali.
            Libur singkat ini ia habiskan untuk memikirkan perintah atasannya untuk terbang ke Australia. Tujuannya adalah mengurus client yang telah berkuliah disana, dan terlebih lagi ada pameran pendidikan yang akan diadakan kedutaan besar Indonesia. Pusat perusahannya memang baru pindah ke Australia baru-baru ini, setelah bertahun-tahun berlokasi di Singapura. Alasannya adalah marketnya lebih menjanjikan dan suasana yang lebih nyaman. Di kantor pusat tersebut terdapat beberapa pegawai perwakilan dari setiap negara yang menjadi pegawai utama di perusahaan ini. Ya, kantor pusat merupakan kantornya para project manager. Kali ini, project manager Indonesia menunjuk Nadine untuk membantunya mengurus client-client[1] yang bersekolah di Australia, selain juga membantu pekerjaan yang lain. Sebelumnya, memang bukan Nadine yang memegang urusan dengan Australia, namun karena rekan kerjanya yang sebelumnya bertanggung jawab urusan ini memilih resign dengan alasan akan pindah ke Malaysia mengikuti suaminya.
            Bagi Nadine, mengurus client yang bersekolah di Australia merupakan hal baru karena sejak awal masuk perusahaan ini ia hanya bertanggung jawab untuk urusan study ke Jerman, berdua dengan Diandra. Namun, persoalan client yang Australia akhir-akhir ini sedang hectic, ditambah pegawai yang resign, sehingga Nadine ditarik untuk mengurusi hal ini. Sebenarnya, tidak ada alasan bagi gadis itu untuk menolak perintah atasannya tersebut.
            “Ibu, Ayah, aku akan ke Australia selama beberapa bulan. Tidak tahu pastinya, namun aku akan mengajukan working holiday visa1.” Ujar Nadine dengan wajah sedikit ragu. Sore itu, mereka sedang berkumpul di ruangan tengah sambil menyalakan televisi.
            Ayahnya yang baru saja hendak mengganti channel menengok dan sontak bertanya, “Kapan? Kenapa tidak membicarakannya dari kemarin-kemarin?”
            Sambil mengganti posisi duduknya gadis itu menjawab, “Nadine hanya masih ragu, tapi sekarang sepertinya tidak ada pilihan lain. Ini perintah dari atasan.” Nadine memasang raut wajah bersalah. Bagaimana tidak, untuk memutuskan hal semacam ini dalam waktu singkat bukanlah hal mudah, terlebih lagi ia harus mengantongi izin dari keluarganya.
            “Apakah akan lama sekali, nak?” Tanya ibunya yang sedari tadi menatap Nadine.
            Nadine menjelaskan panjang lebar mengenai alasannya harus meninggalkan Indonesia selama beberapa bulan lamanya. Sampai pada akhirnya orang tuanya mengerti dan mengizinkannya. Saat itu pula, Nadine menelepon kakaknya—Radit—yang sedang berada di Surabaya dengan alasan pekerjaan untuk meminta izin.
            “Jadi kapan kau akan berangkat?” Papa Nadine bertanya memastikan bahwa anaknya masih memiliki waktu yang lama untuk berada di Indonesia.
            “Besok Nadine akan langsung mengurus visanya, secepatnya saja, karena memang sedang urgent sekali,” ujar Nadine mencoba menjelaskan. “Nadine janji, sesampainya disana Nadine akan menjaga diri. Disana banyak sekali orang Indonesia jadi ayah dan ibu tidak perlu khawatir,” lanjutnya.
            Percakapan malam itu ditutup dengan Nadine yang bergegas ke kamarnya untuk membereskan barang-barang, karena sekitar dua jam lagi ia harus kembali ke Jakarta.
Jam telah menunjukkan pukul 07.00 malam. Nadine yang telah selesai memasukkan barang-barangnya ke mobil langsung bergegas memeluk erat ibu dan ayahnya untuk berpamitan.
“Kabari Ibu dan Ayah jika visanya keluar dan sudah dapat tiket penerbangan, nanti kami akan mengantarmu ke bandara,” pesan ibunya sambil memegangi wajah Nadine.
Kala itu Nadine hanya mengangguk dan tersenyum. Wajahnya masih menunjukkan keraguan yang teramat sangat untuk meninggalkan Indonesia selama berbulan-bulan bahkan mungkin saja setahun.
“Nadine berangkat dulu Bu, Yah..” tutup Nadine lalu masuk ke mobilnya.
***
            Kebisingan kota Jakarta kini telah terdengar kembali. Suara klakson yang saling menimpali membuat telinga seakan ingin ditutup saja dengan kapas. Langit kota yang tidak lagi biru, serta awan yang coklat, membuat mata sulit untuk melihat keindahan alam di tempat ini.
            Pagi ini Nadine pergi ke kantornya yang berada di Jakarta Selatan dengan terburu-buru. Gadis itu telat sekitar 30 menit dari jam biasanya ia berangkat ke kantor. Dia sudah memperkirakan bahwa ia akan telat, terlebih lagi ia harus menyiapkan dokumen-dokumen untuk mengurus visa ke Australia. Hari ini sepertinya akan menjadi hari yang sangat sibuk bagi Nadine.
            “Astaga, gara-gara mimpi bertemu Dan Stevens jadi telat begini,” gerutu Nadine sambil menunggu kendaraan di depannya maju. Ya, Nadine terjebak macet seperti biasanya. Sesekali ia membunyikan klakson mobilnya karena merasa kesal apabila ada angkutan kota yang secara tiba-tiba berhenti atau bahkan menyalip dengan brutal. Sepertinya mood gadis itu akan semakin memburuk.
            Benar saja, sesampainya di kantor Nadine memasang wajah masam. Gadis itu berjalan dengan tergesa-gesa menggunakan heels tingginya menuju ke arah lift. Pintu lift terbuka ketika Nadine baru saja sampai di depannya. Tanpa memperhatikan orang-orang yang keluar dari lift tersebut, ia buru-buru masuk dengan berdesak-desakan.
            Pukul 08.45.
            “Wow telat 45 menit!!!” sambut Diandra saat melihat Nadine memasuki ruangan kantornya dan bergegas duduk di meja kerjanya. Nadine masih memasang wajah masam seraya mendelikkan matanya pada temannya itu.
            “Kau jadi mengurus visa hari ini?” tanya Diandra mengalihkan pembicaraan. Nadine menarik napas panjang lalu menjawab, “Totally!”
            Diandra tersenyum kecil dan mengepalkan tangan seraya mengangkatnya sebagai tanda memberikan semangat pada gadis berwajah masam itu. Nadine lagi-lagi hanya mendelikkan matanya.
            Saat itu, Nadine membereskan berkas-berkas untuk keperluan pengajuan visanya. Ini merupakan kali pertama ia mengurus visa Australia, biasanya ia hanya mengurus visa ke Eropa baik untuk clientnya ataupun dirinya sendiri. Saat menyiapkan persyaratan visanya, Nadine memang sambil menelepon atasannya yang berada di Australia untuk memastikan bahwa berkas Nadine tidak ada yang kurang.
            Tak terasa hari telah siang dan sepertinya Nadine tidak jadi apply visa hari itu juga. Karena ia harus mengejar jam kerja kedutaan yang sudah dipastikan akan tutup ketika Nadine sampai disana. Jadi, ia memutuskan untuk ke kedutaan keesokan harinya. Lalu sisa jam kerjanya ia gunakan untuk mengurus pekerjaan lainnya. Lebih tepatnya memberitahukan seluruh client yang dipegangnya di Jerman untuk tidak menghubunginya jika terjadi apa-apa, dan cukup perlu menghubungi Diandra.
            “Kau tidak akan makan?” tanya Diandra sembari merangkul Nadine. Nadine yang masih duduk sembari melihat ke monitor komputernya mendongak lalu tak lama kemudian ia mengangguk dengan tangan memegangi perut. Ia baru tersadar bahwa sedari pagi ia belum makan apapun. Diandra pun tertawa lalu menarik tangan Nadine segera.
            Ketika Nadine masuk ke perusahaan ini, ia memang langsung dekat dengan Diandra karena mereka merupakan satu angkatan. Diandra merupakan penduduk Jakarta asli, namun siapa yang menyangka ia adalah belasteran Austria-Betawi. Ya, ayahnya adalah seorang bule Austria. Tak heran wajah Diandra begitu cantik. Hidung mancung dan warna bola mata coklat muda sepertinya menurun dari ayahnya. Namun potongan rambut yang sangat pendek menjadikan dirinya terlihat tomboy. Hmm.. Gadis itu memang memiliki selera yang sangat berbeda dengan Nadine.
            “Diandra, kau tidak akan bertemu denganku dalam waktu yang cukup lama. Just imagine it. You’ll gonna miss me,” ujar Nadine memecah keheningan sesampainya di food court yang berada di mall seberang kantor mereka.
            Diandra tertawa seraya berkata, “Don’t worry. I won’t miss you darling. I will busier than ever, you know.”
Nadine menyeringai kesal.
Tak lama kemudian, terdengar suara bising seperti teriakan para wanita dari luar food court. Nadine dan Diandra menoleh penasaran dengan apa yang terjadi di luar sana. Terlihat orang-orang yang mayoritas masih ABG berlari seperti mengejar sesuatu.
Pelayan food court yang sedang mengantarkan makanan di samping meja pun menjadi sasaran ke-kepo-an dua gadis itu. “Mas, ada apa ribut-ribut di luar sana?” tanya Diandra. Pelayan itu menjawab, “Oh, itu ada artis sedang launching film barunya, mbak.” Setelah mendengar hal tersebut, rasa penasaran Nadine dan Diandra pun terpecahkan lantas hanya mengangguk dan kembali membicarakan pekerjaannya.
***
Satu bulan kemudian...          
Nadine memandangi layar komputer sembari memangku dagunya. Sudah sekitar satu jam ini ia membaca suatu tulisan yang membuat hatinya tak karuan.
            “Granted?”
            Nadine seakan tersadar dari lamunannya dan menoleh memastikan siapa yang bertanya. “Di..” gumam Nadine seraya menganggukan kepalanya.
            Setelah hampir satu bulan submit visa, Nadine mendapat informasi via email dari imigrasi Australia bahwa visanya granted. Gadis itu terlihat tidak begitu senang, karena jadwal keberangkatannya ke Australia hanya tinggal menghitung hari. Hal itulah yang membuat Nadine hanya terdiam diatas meja kerjanya sembari memandangi tulisan berbahasa inggris tersebut.
            “Really?! Wow congratulation darling! Aku sudah yakin pasti visamu akan disetujui dan sangat-sangat tidak mungkin ditolak,” ujar Diandra antusias.
            Tak lama kemudian ponsel Nadine berdering tanda telepon masuk. Bu Tirta. Melihat nama itu yang muncul di layar ponselnya, Nadine lalu menarik napas panjang dan menghebuskannya bersama-sama dengan mengangkat telepon tersebut.
            “Bagaimana sudah ada kabar dengan visanya?” Terdengar suara dari balik telepon. Nadine mengiyakan. Astaga bahkan Bu Tirta seperti sudah memprediksi bahwa visa Nadine akan turun di hari ini.
            “Ok, cepat pesan tiket pesawat ya. Business class saja supaya cepat dapatnya. Saya harap minggu depan kau sudah ada disini, dear.” Mendengar atasannya berkata seperti itu, Nadine menggigit bibirnya. Kerutan di dahinyanya sudah jelas terpampang bahkan sejak Nadine mengangkat telepon tersebut.
            “Baik bu,” jawab Nadine dengan nada yang sangat berat.
            Diandra yang sedari tadi menguping pembicaraan antara Nadine dengan bu Tirta terlihat cekikikan sambil menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu. Lagi-lagi ia mengepalkan tangan dan mengangkatnya tinggi sebagai tanda menyemangati. Nadine kembali menghela napas panjang. Dugaannya benar, bahwa hanya tinggal menghitung hari ia akan berangkat ke Australia.
***
            “Bu, aku akan berangkat ke Aussie selasa depan. Sudah dapat tiketnya,”
            “Astaga, tiba-tiba sudah dapat tiket saja,”
“Entahlah, semuanya dilancarkan,” Nadine menjawab pertanyaan ibunya—yang sebenarnya ia pun kebingungan harus menjawab apa—lalu melanjutkan, “Semuanya dibayar oleh kantor, jadi Nadine tidak bisa menunda-nunda lagi. Apalagi visanya sudah turun kemarin.”
            “Hati-hati ya, Nak. Nanti ibu dengan ayah akan mengantarmu ke bandara.” Terdengar suara dengan ekspresi kesedihan terdengar dari balik telepon.
Nadine pun mengangguk—meskipun ibunya tidak akan melihat hal itu—lantas mengucapkan selamat malam dan menutup telepon.
            Malam minggu ini merupakan malam minggu terakhir yang ia habiskan di Indonesia dan akan bertemu kembali beberapa bulan ke depan. Nadine hanya berbaring di tempat tidur sambil menatap langit-langit apartemennya yang penuh dengan hiasan bintang-bintang yang menyala. Ya, Nadine telah mematikan lampu kamarnya. Itu merupakan kebiasaan yang selalu ia lakukan, yakni mematikan lampu sekitar pukul setengah delapan malam dengan catatan ia tidak memiliki kegiatan untuk dilakukan lagi.
            Nadine telah menyiapkan koper dengan segala keperluannya sejak siang tadi. Memang masih dua hari lagi menuju keberangkatannya, namun ia berpikir untuk lebih awal menyiapkan semuanya agar tidak ada yang tertinggal. Termasuk bambu hoki hidrogel yang menjadi barang wajib dibawa oleh Nadine. Tumbuhan jenis bambu yang ditanam di dalam tabung kaca kecil dengan ukuran 10cm dan diisi dengan hidrogel berwarna hitam itu merupakan barang favorit Nadine pemberian sahabatnya yang berada di Jepang, dan selalu dibawa kemanapun saat ia akan pergi dalam jangka waktu lama. Apalagi ia akan pergi dalam konteks “a long business trip”, jadi ia berencana akan menaruhnya di meja kerjanya nanti di Australia. Bukan tanpa alasan, Nadine hanya ingin memastikan bambu itu tumbuh dengan sempurna dan hidrogelnya tidak menciut sehingga membuat bambunya mati.
            “Beberapa bulan di Australia...” kata Nadine sambil melihat ke arah langit-langit kamarnya, namun tiba-tiba saja ia teringat dengan perkataan sahabatnya di telepon, “Kau akan bertemu degan jodohmu jika kau beruntung.” Gadis itu buru-buru menggelengkan kepalanya dengan maksud menghilangkan ingatan kalimat itu, serta memilih untuk tidak melanjutkan perkataannya. Oh dear...
Nadine lalu menarik selimutnya dan memejamkan matanya tanda ia akan tidur. Sudah beberapa tahun ini ia menghabiskan malam minggunya dengan tidur cepat. Sesekali ia pergi hangout bersama Diandra, namun terbilang sangat jarang—bahkan tidak pernah—ia habiskan malam minggunya bersama seorang laki-laki. Independent woman, ya kata-kata itu yang membuatnya sulit sekali dekat dengan lelaki. Nadine akan sangat mudah menolak ajakan laki-laki manapun yang mengajaknya jalan-jalan atau bahkan sekadar makan malam. Begitulah, gadis ini sepertinya akan menjadi perawan tua.
***
            The day.
            Hari yang ditunggu pun tiba. Nadine bersama ibu, ayah, dan Diandra sampai di bandara internasional Soekarno-Hatta. Kakaknya tidak bisa ikut mengantar karena bentrok dengan kerjaanya yang sangat padat. Sehingga ia hanya berpamitan lewat telepon.
            “Be careful. Let me know if you get some problems in there,” kata Diandra dan disambut pelukan hangat oleh Nadine.
            Nadine pun memeluk ibu dan ayahnya seraya berpamitan. Nadine memang tidak meneteskan air matanya, namun ia sangat merasakan kesedihan yang mendalam karena harus meninggalkan orang tuanya dalam jangka waktu yang sangat lama. Ini kali pertama karena Nadine tidak pernah lama-lama berjauhan dengan orang tuanya.
            “Pokoknya kau harus sering menghubungi Ibu dan Ayah, Nak,” ujar ibu Nadine dengan suara yang agak tercekat. Ibunya lalu tidak kuasa menahan tangis sambil memeluk kembali anak bungsunya itu. Nadine mengangguk mantap sambil berkata, “Tenang saja.. Nadine pasti akan sering menghubungi Ayah, Ibu, dan kak Radit.”
             Setelah berpamitan, Nadine pun bergegas memasuki baggage checking. Dia pun berjalan meninggalkan orang tua dan sahabatnya sambil sesekali membalikkan badan dan melambaikan tangannya. Hari ini merupakan hari yang cukup berat bagi Nadine dan orang-orang terdekatnya. Well, beberapa bulan bukanlah waktu yang singkat. Apalagi jika atasannya tidak ingin Nadine kembali ke Indonesia setelah beberapa bulan itu.
            Setelah melakukan rangkaian checking bandara, Nadine berjalan menuju lounge untuk business class. Seketika, terdengar suara ponsel Nadine berdering. Gadis itu buru-buru mencari ponselnya, dan baru saja ia akan mengangkat telepon tersebut tiba-tiba saja ada seseorang yang menabraknya sehingga menjadikan ponselnya jatuh. Nadine berteriak sangat kencang sehingga menjadikan orang-orang yang berada di bandara memperhatikannya.
            Nadine segera mengambil ponselnya dan memastikan bahwa barang mewah itu masih dalam kondisi baik-baik saja.  Dari jarak sekitar dua meter dari gadis itu, terlihat lelaki bertopi dan berkacamata hitam memandangi Nadine yang sedang jatuh terduduk sambil mengusap-usap layar ponselnya. Tak lama kemudian, Nadine tersadar bahwa ia harus menemukan orang yang menabraknya. Dalam satu tengokan cepat, Nadine langsung mendapati orang tersebut. Ya, lelaki bertopi itulah pelakunya.
            Nadine buru-buru terbangun dari duduknya dan menghapiri lelaki itu seraya berkata, “Hey, kau tahu jika jalan ini luas, kenapa masih sempat-sempatnya menabrakku?” Omelan Nadine meluap tak terelakkan menarik perhatian orang-orang di sekitar mereka.
            “Ma-maaf,” sahut lelaki itu. Nafasnya terdengar masih terengah-engah.
            Mendengar hanya satu kata yang keluar dari mulut lelaki itu, emosi Nadine semakin meningkat, lantas memarahi lelaki itu. Yang benar saja, pria itu baru saja akan merusak ponsel Nadine, yang jika benar rusak maka tamat sudah nasib gadis itu sesampainya di Australia. Tak tahu harus menghubungi atasannya dengan cara apa.
Tak lama kemudian terdengar suara teriakan wanita yang semakin mendekat. Lelaki itu pun menoleh ke arah datangnya suara itu dengan sangat sigap. Nadine yang sedang ngomel pun seketika berhenti karena lelaki dihadapannya malah memperhatikan objek yang lain. Baru saja gadis itu akan melihat ke arah dimana lelaki itu melihat, dalam satu gerakan cepat lelaki itu langsung memeluk Nadine erat. Terlihat lelaki itu melambaikan tangan ke arah wanita—sepertinya ada sekitar empat sampai lima orang—yang memanggil-manggil namanya sejak tadi sambil tersenyum.
Nadine yang merasa kaget dengan itu lantas buru-buru melepaskan pelukan lelaki itu dan berteriak kencang, “Are you crazy?!”
Lagi-lagi tidak ada tanggapan dari lelaki itu, dan ia malah menarik tangan Nadine dengan buru-buru. Mata gadis itu terbelalak dan dalam satu gerakan tangan ia cepat mengambil kopernya yang berada tidak jauh darinya.
Setelah berada jauh dari tempat sebelumnya, akhirnya lelaki itu pun melepaskan genggamannya. Mereka berdua berhenti dan saling memandang. Tak lama kemudian lelaki bertopi itu membuka kacamata hitamnya. Nadine yang sudah tidak mampu menahan amarahnya lantas menarik napas panjang sambil menatap sinis lelaki itu.
“How could you?!” teriak Nadine.
Lelaki itu hanya diam membisu, lantas menyodorkan bahunya. Nadine pun kebingungan dengan apa yang dilakukan lelaki itu. Gadis itu lalu mengangkat alisnya sebelah pertanda ia tidak mengerti.
“Pukul saja,” gumam lelaki berkulit putih itu. Tampak keringat mengucur dari kening lantas mengenai pipinya. Nafasnya masih terengah-engah bak maling yang telah dikejar-kejar polisi.
Mendengar pernyataan lelaki itu, Nadine lalu membelalakan matanya. Ia tidak mampu berkata apa-apa lagi, terlebih ia harus buru-buru karena sebentar lagi pesawat yang akan ia tumpangi take off. Akhirnya gadis itu memilih pergi meninggalkan lelaki itu sambil mendengus kencang dan memberikan wajah yang super masam.
Terlihat lelaki dengan tinggi sekitar 175cm itu menatap ke arah Nadine yang telah berjalan meninggalkannya. Ia menghela nafas panjang seakan ingin mengatur nafasnya kembali. “Astaga, mereka benar-benar jeli melihatku dimana saja,” ujar lelaki itu sambil berkacak pinggang.
***
            Tak lama waktu berselang, Nadine pun akhirnya sudah menduduki kursinya dan mengeluarkan ponsel lalu menghidupkannya. Untungnya ponsel mewah itu masih berjalan dengan baik, layarnya pun tidak retak, dan lcd-nya baik-baik saja. Nadine masih diberi keberuntungan kala itu. Gadis itu pun buru-buru mengecek panggilan masuk terakhir yang belum sempat dijawabnya karena insiden beberapa menit yang lalu. Ternyata bu Tirta. Nadine tidak menelepon balik dan memilih untuk mengiriminya pesan singkat, memberi kabar bahwa ia sudah akan take off.
            Baru saja Nadine mengubah pengaturan ponselnya menjadi air plane mode, tiba-tiba saja ada seseorang yang baru datang dan menyimpan barang bawaannya di bagasi atas. Nadine pun menoleh dan seketika jantungnya merasa mau copot. Matanya terbuka lebar dan nafasnya tercekat. Hampir saja ia akan berteriak, namun untungnya ia terburu sadar bahwa ia hanya melihat lelaki tadi. Ya, lelaki itu lagi.
            Nadine langsung memalingkan wajahnya ke kaca seakan sebelumnya tidak pernah bertemu dengan orang tersebut. Terlihat lelaki itu tersenyum kecil sambil membuka topinya.
            “Jadi, kau akan ke Sydney juga?” Tanya laki-laki itu setelah ia mendapatkan kursinya yang tepat bersebelahan dengan Nadine. Astaga, ternyata mereka berada pada seat yang berdampingan.
            Nadine menoleh sedikit memastikan bahwa orang tersebut benar-benar bertanya atau tidak, lantas menganggukan kepalanya. Dalam pikirannya, ia merasa sangat-sangat tidak beruntung pada hari itu. Apalagi perjalanannya ini adalah suatu perjalanan yang terpaksa. Baru saja akan berangkat sudah mendapat masalah, bagaimana setelah sampai di Australia?
            “Handphone?”
            Nadine menoleh lagi, laki-laki itu melanjutkan pertanyaannya yang membuat gadis tersebut merasa risih. Ia lalu menarik napas panjang sambil berkata, “Tidak apa-apa, masih bisa dipakai.”
            Lelaki itu mengangguk pelan. Tak lama kemudian ia menjulurkan tangannya seraya menyebutkan namanya, “Nichol.”
            Seakan tak peduli dengan ajakan untuk berkenalan itu, Nadine hanya menjawab OK dan kembali menatap arah kaca pesawat. Baginya, berkenalan dengan seseorang yang telah membuat moodnya kacau adalah suatu hal yang tidak akan ia lakukan. Oleh karena itu ia enggan memberitahu namanya pada laki-laki itu. Lagi pula, Nadine sudah tahu nama lelaki itu saat kejadian tadi, perempuan-perempuan yang mengejar lelaki itu memanggil namanya—Nichol— dengan sangat semangat.
            Nichol tersenyum sambil menarik kembali tangannya lalu mencoba mengambil ponsel untuk mengganti mode menjadi air plane. Sebelum ia mengubah settingan ponselnya itu, terdengar nada pesan masuk. Dia pun terlihat membukanya lantas buru-buru kembali ke menu awal lalu mengganti mode setting.
            Nadine yang sedari tadi tidak memperdulikan keberadaan lelaki itu pun, kini mencoba membuka percakapan untuk mencairkan suasana. Bayangkan, selama tujuh jam kedepan dia akan berdampingan dengan Nichol dan diam seribu bahasa? Tidak mungkin. Pada akhirnya gadis itu memang mengambil tindakan yang benar.
            “Ehm, sekarang kau bisa jelaskan kejadian tadi padaku.” Kata Nadine sambil tetap melihat ke arah luar pesawat.
            Nichol kelihatan kaget sekali karena akhirnya gadis berkacamata itu membuka obrolan dengannya. “Penggemarku,” jawabnya singkat.
            “A-apa?!” Nadine reflek menanggapi sambil menoleh namun sebelum akhirnya melanjutkan kalimatnya, ia langsung menghembuskan napas karena merasa geli dengan apa yang baru dikatakan lelaki itu.
            “Ok, so... Are you an actor or something kinda them?” Tanya Nadine sebagai upaya untuk meneruskan obrolannya.
            Nichol menatap Nadine dengan wajah yang terheran-heran. Nadine pun balik menatap lelaki itu, lantas berkata, “Apa?!”
            Nichol hanya menggelengkan kepalanya seakan enggan melanjutkan obrolan dengan gadis itu. Dalam hatinya ia menggerutu, “How could this idiot girl doesn’t even know me, oh my god!”
***
            Sepertinya niatan Nadine yang tadinya ingin bisa mengobrol banyak dengan Nichol tidak tercapai. Karena pada akhrinya selama perjalanan mereka hanya diam membisu. Dengan headphone yang terpasang ditelinganya, Nichol tertidur bahkan dari menit pertama pesawat take off. Nadine yang merasa bosan karena lupa membawa headphone atau hal lain semacam itu pun akhirnya mengeluarkan bambu hoki hidrogel miliknya. Ia memandangi barang kesukaannya itu lantas memotretnya dengan ponsel dengan background kaca pesawat yang saat itu terlihat lautan biru dibawahnya.
            Di saat yang sama, Nichol tak sengaja terbangun karena terkena senggolan tangan Nadine saat mengambil bambu hoki hidrogel dari tas tangannya. Namun sepertinya gadis itu tidak sadar telah membangunkan Nichol. Lalu, dengan mata yang masih membuka sedikit demi sedikit, laki-laki itu memperhatikan Nadine yang sedang memotret barang berwarna hitam itu. Namun ketika Nadine mencoba selfie bersama bambu hokinya, ia mendapati lelaki disampingnya itu sedang memperhatikannya sehingga membuatnya dengan sergap menurunkan ponselnya.
            Nichol pun tertawa kecil lalu berkata, “Santai saja.”
            Nadine yang merasa kesal saat itu lantas mendengus kencang tanpa menanggapi kata-kata Nichol. Tak lama, tampak pipi gadis itu memerah. Sedari kecil memang pipi Nadine sangat mudah memerah bak tomat matang. Bukan karena sedang merasa malu saja, namun ketika ia kepanasan dan juga kelelahan, pipinya akan berubah menjadi merah merona.
            Tujuh jam berlalu.
            Tak terasa sebentar lagi pesawat akan landing. Pramugari pun memberikan isyarat melalui pengeras suara bahwa penumpang harus segera bersiap-siap. Nadine dan Nichol pun terbangun dari tidurnya setelah mendengar suara tersebut lantas bergegas untuk membereskan barang-barangnya.
            Setelah keluar dari pesawat dan menuju tempat pemeriksaan passport dan visa, Nichol melihat Nadine berjalan dengan terburu-buru. Saat itu Nichol ingin mencoba memanggil kembali gadis itu namun tidak jadi. “Ah gadis itu dipanggil pun pasti tidak akan menengok,” ujar Nichol lebih kepada dirinya sendiri.
***
“Welcome to Aussie!!!” sambut Bu Tirta dengan sangat gembira saat melihat Nadine keluar dari bandara, lantas memberi pelukan hangat.  
Bu Tirta telah menunggu sekitar satu jam. Ia memang sengaja menjemput Nadine dan hendak mengantar gadis itu ke apartement yang telah ia sewakan.
“How was your flight?” Tanya Bu Tirta sesaat setelah Nadine masuk ke dalam mobilnya dan memasang safety belt.
“Menyenangkan,” sahut Nadine dengan tersenyum sambil menyembunyikan rasa kesalnya jika ingat hal yang terjadi sebelum take off.
“Aku lupa mengingatkanmu bahwa musim gugur akan segera berakhir, kau mestinya membawa jaket tebal dan pakaian musim dingin lainnya.” Ujar bu Tirta dengan sedikit menyesal.
Nadine tersenyum, saat itu ia memang tidak mengenakan pakaian yang cukup tebal, namun ternyata ia telah mempersiapkan pakaian musim dinginnya. “Tenang saja, aku telah membawanya.”
Bu Tirta pun menengok, lantas tersenyum lebar. Dia memang tidak salah memiliki staff cerdas seperti Nadine.
Nadine memperhatikan ke arah luar kaca mobil. Terlihat bangunan-bangunan kokoh nan tinggi menjulang bernuansa klasik khas Australia. Gadis itu menikmati keindahan kota Sydney dan sesekali berdecak kagum. Terlihat orang-orang berjalan di trotoar kota, tak terlalu banyak, namun wajahnya bukan seperti penduduk asli negara ini. Orang-orang itu sepertinya orang Eropa, pikir Nadine.
Tibalah mobil mereka di lampu merah. Sepanjang perjalanan, Bu Tirta menceritakan banyak hal tentang Australia. Sebenarnya Bu Tirta pernah mengenyam pendidikan di negeri ini, jadi sedikit banyaknya ia mengetahui budaya dan kebiasaan disini. Tidak terlalu berbeda dengan orang bule kebanyakan dan negara-negara maju lainnya.
Sesekali Nadine tertawa saat mendengar lelucon dari Bu Tirta yang menceritakan pengalamannya saat pertama kali menginjakan kakiknya di Australia. Juga pengalaman wanita separuh baya itu saat menjalin cinta dengan penduduk asli disini. “Ternyata pribumi lebih asyik meski hitam-hitam,” terang wanita itu lalu disambut tawa oleh keduanya.
Nadine merasakan kesan pertama yang membuatnya nyaman berada di negeri kanguru ini. Candaan atasannya itu mampu membuatnya tertawa setelah seharian moodnya berantakan. Tidak usah ditanya, Nichol lah pelakunya.
Tawa Nadine terhenti ketika melihat sesosok pria melintasi zebra cross di depan mobilnya. Matanya tidak lepas memperhatikan orang tersebut. Hingga lampu hijau menyala, Nadine masih tetap menengok ke arah dimana lelaki itu berbelok, namun ia telah kehilangan  jejak. Karena dia tidak mendapati lagi wajah itu.
“Ada apa, Nad?” Tanya Bu Tirta ketika melihat Nanad yang memutar badannya kembali setelah menengok sekitar 90 derajat ke belakang.
Nadine menengok ke arah lawan bicaranya lalu menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. Kala itu, Nadine melihat wajah yang sejak lama ia idam-idamkan. Potongan rambut yang rapi, tebal, dan sedikit bergelombang, hidung yang tampak mancung dari samping, serta kulit yang tidak terlalu putih. Tinggi badannya sekitar 72 inci, eits, jangan tanyakan berat badan, karena lelaki itu sangat-sangatlah ideal. Nadine memang tidak terlalu menyukai lelaki berbadan gempal. Dan satu lagi, sepertinya lelaki itu bukanlah bule.
Nadine terbangun dari khayalannya tentang laki-laki yang baru saja dilihatnya di lampu merah saat mendengar suara klakson dari jarak yang tidak jauh dari tempatnya berada. Lantas tersadar ternyata Bu Tirta sudah ada di luar mobil. Gadis itu sontak buru-buru keluar dan mengambil kopernya di bagasi.
“Maaf bu..” ujar Nadine.
“Jangan banyak melamun. Ayo sekarang kita ke unit apartementmu,” kata Bu Tirta sambil menghela nafas panjang.
Nadine yang merasa tidak enak lalu hanya menganggukkan kepalanya dan mengikuti atasannya itu.
Sampailah mereka di unit apartement yang selama beberapa bulan ini akan ditempati oleh Nadine. Di Australia, memang kebanyakan orang menyewa apartement untuk tempat tinggal. Baik yang sudah berkeluarga maupun belum. Baik pemegang visa student, tourist, maupun permanent resident. Bahkan citizen disini pun banyak yang tinggal di apartement ketimbang memiliki rumah. Karena, memiliki rumah di negara maju ini sepertinya harus punya banyak uang. Meskipun bayaran untuk pekerja disini tergolong tinggi, namun tetap saja akan membutuhkan sekitar 5 tahun untuk mengumpulkan uang demi membeli rumah.
“Nadine, besok langsung kerja saja ya. Kantornya ada di Castlereagh Street. Lengkapnya nanti saya kirim melalui whatsapp,” kata Bu Tirta lalu melanjutkan, “Oiya ini opalmu, jadi nanti kau bisa naik bus ke kantornya, honestly ke setiap tempat hehehe.”
Bu Tirta memberikan semacam kartu yang selanjutnya bisa digunakan ketika Nadine menggunakan bus. Tidak seperti naik bus yang membayar ongkosnya ke abang kenek—seperti di Indonesia, namun kartu ini merupakan uang elektronik yang digunakan untuk membayar bus tersebut.
“Tahu kan cara memakainya?” Tanya Bu Tirta memastikan sambil tertawa mengejek.
“Of course,” jawab Nadine diselingi tawa. Bahkan jika ia tidak tahu pun ia akan bertanya pada tetangga apartementnya.
Bu Tirta pun berpamitan dengan Nadine untuk kembali lagi ke kantor karena ada urusan yang mendesak. Di sisi lain, wanita itu ingin memberikan waktu beristirahat setelah sepertinya Nadine masih jetlag.
Selepas Bu Tirta pergi, Nadine pun buru-buru memberi kabar orang tuanya dan Diandra bahwa ia telah berada di apartement, lalu dengan satu gerakan cepat ia merebahkan tubuhnya di kasur. Dengan kaus kaki yang masih menyelimuti kaki, Nadine memutuskan untuk langsung tidur. Sepertinya ia sangat lelah akibat perjalanan jauh ini.
***





[1] Jenis visa untuk bekerja dan berlibur Australia dengan jangka waktu satu tahun.

No comments:

Post a Comment

Silahkan komentar guna menambah inspirasi saya