Satu...
Biru. Langit kota terlihat sangat
cerah dan menawan. Awan putih yang menghiasi bentangan langit seakan menambah
keelokan pemandangan semesta hari ini. Suara kicauan burung menjadi musik yang
menenangkan hati, begitu pula dengan hembusan angin yang dengan lembutnya
menyentuh daun-daun pohon.
Terlihat
seorang gadis yang sedang duduk di kursi yang berada di halaman rumahnya.
Tangannya menggenggam erat sebuah ponsel dan buku catatan tebal. Sesekali dia
menghembuskan nafas panjang setelah melihat layar ponselnya, wajahnya masam,
dan mendengus kesal. Seakan suasana pagi itu tidak dapat menghiburnya sama
sekali. Hari yang memilukan.
“Astaga,
apa lagi sekarang!” Dengus perempuan berkulit putih itu. Hari ini merupakan
hari libur dan ia menyempatkan untuk pulang menemui orang tuanya di Bandung.
Namun, pekerjaan menjadikannya seperti buronan yang kemanapun ia pergi—bahkan sedang
libur sekalipun—selalu mengikutinya, oh tidak, lebih tepatnya memburunya.
Nadine
Nathania. Gadis berkacamata dengan rambut sebahu itu memiliki nama yang indah.
Kulit putih seakan seperti selalu mandi susu, postur tubuh yang ideal, dan
wajah yang menawan, menjadikan nama itu terdengar sangat cocok dengannya. Beberapa
tahun sudah ia mengabdikan dirinya pada suatu perusahaan agen sekolah ke
berbagai negara di dunia. Selama itu pula ia telah menjadi konselor untuk
ratusan client. Rasa jenuh tidak pernah ia alami karena pekerjaan ini
menjadikannya bisa berkunjung ke negara-negara dimana sekolah yang memiliki
kerjasama dengan perusahaannya berada. Tujuannya adalah mengurus client,
menambah relasi sekolah, pameran pendidikan, dan lain sebagainya. Perjalanan
terakhirnya adalah ke Jerman, Nadine menghabiskan waktu sekitar dua minggu disana
bersama rekan kerjanya—Diandra.
Hari ini
adalah hari libur nasional yang membuahkan libur panjang bagi para pegawai di
Indonesia. Ya, hari libur ini jatuh di hari Jumat, oleh karena itu Nadine
memutuskan untuk bertemu orang tuanya. Gadis itu merasa sudah lama tidak pulang
mengunjungi kampung halamannya, pekerjaannya mengharuskan dia untuk berada di
Jakarta selama bertahun-tahun. Namun, kesibukan yang dimilikinya tidak membuat
ia sulit bertemu dengan orang taunya, karena ayah dan ibu Nadine sering mengunjungi
Nadine bahkan dua minggu sekali.
Terdengar
suara ibu dari gadis berumur 23 tahun itu memanggil namanya. Ia menoleh dan
menjawab. “Ya bu… I’m here.”
Wanita
separuh baya itu menghampiri anaknya yang sedang duduk dengan melipat kakinya
di kursi rotan bulat dengan penutup dibagian atas dan dilengkapi dengan bantal
untuk diduduki. Kursi itu menjadi favorit Nadine sejak kecil, baginya kursi
tersebut bukan hanya dijadikannya tempat bersantai, tetapi juga sudah menjadi
saksi bisu kesedihan dan kebahagiannya. Karena itu adalah tempat ia menangis
dan tertawa lepas.
Ya, tepat satu tahun lalu ia pulang
dengan membawa duka dalam. Bahkan ketika sampai di rumahnya itu, ia langsung
berlari ke kursi tersebut dan membenamkan dirinya disana. Menangis tersedu-sedu.
Alasannya memang sangat pahit, cinta pertamanya sedang melangsungkan pernikahan
tepat di hari itu, dan Nadine baru tahu saat teman-temannya menanyakan
kehadirannya di pernikahan tersebut. Bagaimana mungkin gadis itu bisa datang
kalau acaranya pun ia baru tahu ketika itu? Bagaimana mungkin gadis itu bisa
datang kalau kenyataan mengatakan bahwa ia telah patah hati? Bertahun-tahun
mengharapkan lelaki itu, namun pada akhirnya... ah sudahlah.
“Kenapa
masih disini? Kau akan mengantar ibu ke acara pernikahan anak Pak Rusli kan?”
kata ibu Nadine dengan memasang muka kesal.
Nadine membetulkan
letak kacamatanya lantas tersenyum kecil sambil berkata, “Sebentar ya bu,
hehehe… Nadine akan siap-siap dulu.” Ia pun langsung berlari ke kamarnya untuk
bersiap-siap. Ibunya hanya menggelengkan kepala melihat anaknya yang sudah
cukup matang namun kelakuannya terkadang seperti anak kecil.
***
Nadine
duduk di sudut gedung pernikahan sesaat setelah bersalaman dengan pengantin
yang sedang berbahagia hari itu. Mereka tidak saling mengenal, hanya orang tua
pengantin lelaki adalah teman lama orang tua Nadine. Gadis itu bersyukur karena
orang tuanya tidak memiliki niatan untuk menjodohkan mereka, sampai pada
akhirnya Zian—pengantin lelaki itu menemukan tambatan hatinya.
“Nadine!”
Teriakan
itu membuyarkan lamunan Nadine yang sedang memikirkan pesan singkat dari
atasannya pagi hari tadi yang membuat wajahnya masam.
Terlihat
seorang perempuan berambut panjang berwarna coklat berlari menghampirinya
dengan wajah yang berbinar-binar, dan memeluknya erat ketika telah selangkah
lebih dekat. Nadine memasang wajah kebingungan, namun tetap balik memeluk
hangat perempuan itu.
“Kemana
saja? Ya ampun sudah lama sekali tidak bertemu!” ujar gadis itu dengan sangat
semangat.
Wajah
Nadine memang tidak bisa dikontrol, ia tetap saja masih memasang wajah
kebingungan. Untungnya, perempuan berambut coklat itu mengerti bahwa Nadine
tidak mampu mengingat siapa dia.
“Kamila! Kau
sudah lupa?” katanya lalu melanjutkan, “Teman SMA.”
Seolah
diberikan clue yang lengkap, Nadine
seketika tersenyum lebar seraya berkata, “Astaga! Kamila!!! Bagaimana mungkin
aku bisa melupakanmu.” Lalu disambung tawa oleh keduanya.
Hari itu di
pesta pernikahan tersebut Nadine habiskan untuk berbincang dengan Kamila,
setelah sekitar 6 tahun tidak bertemu menjadikan keduanya antusias untuk saling
menceritakan kehidupan dan pekerjaan mereka. Satu lagi, Nadine pun tak lupa
menceritakan mengenai cinta pertamanya saat SMA yang memutuskan menikah dengan
wanita lain.
Sampai pada
akhirnya, perbincangan mereka terputus karena ibu Nadine mengajaknya untuk
segera pulang. “Nadine ayo kita pulang sekarang, ibu sudah beres ngobrol dengan
teman-teman ibu.”
“Yah ibu..
giliran Nadine yang sedang asyik ngobrol dengan teman lama malah diajak
pulang,” gumam Nadine sambil memasang wajah kecewa. Ibunya hanya tersenyum dan
mengucapkan selamat tinggal kepada Kamila.
“Bye
Kamila, see you again!” ujar Nadine sambil memeluk temannya itu, seakan itu
akan menjadi pertemuan terakhir kalinya lagi. Kamila akan pindah ke Jambi, kota
dimana ia bersama keluarganya berasal. Tentunya itu akan menjadikan kedua gadis
itu sulit untuk bertemu.
***
“Jadi siapa pacarmu sekarang?”
Nadine yang
sedang fokus mengendarai mobilnya tersentak dengan pertanyaan yang dilontarkan
ibunya. “Hm?” kata Nadine seakan tidak mendengar pertanyaan ibunya.
“I guess
you still have no one,” ujar ibunya mengejek.
“I am
looking for a prince, don’t worry.” Jawab Nadine santai, namun suaranya agak
memekik. Ibunya hanya tertawa.
Bagi Nadine
yang telah 4 tahun single, bukan masalah serius kalau di usianya yang sekarang
ia belum memiliki kekasih. Bukan karena masa lalu tentang cerita cinta yang
kelam, namun karena keputusannya yang lebih memilih mementingkan pekerjaan.
Meskipun rasa kecewa ditinggalkan cinta pertama masih terus menghantui dirinya.
Ibu dan
ayah Nadine sering menasehati untuk segera menikah, namun gadis itu berpikir
bagaimana bisa menikah jika pasangannya pun masih samar-samar? Blur? Abstrak?
Terkadang orang tua selalu memiliki pemikiran yang usang, seharusnya sudah
dimuseumkan.
“Kau single
bukan karena Sam kan?” pertanyaan ibunya kembali membuyarkan fokus gadis itu.
Nadine
menggeleng lantas menjawab, “Bukan, bagaimana mungkin aku masih bisa
mengharapkan lelaki yang kini telah memiliki istri?” Ibunya tersenyum. Nadine
melanjutkan, “Kau mau aku mengganggu rumah tangganya?”
Kalimat itu
sontak membuat keduanya tertawa. Astaga lelucon yang selalu Nadine ucapkan
ketika orang-orang mengkhawatirkannya karena lelaki bernama Sam tersebut. “Tidak tidak, aku telah melupakan cinta
pertamaku!” ujar Nadine dalam hati lebih kepada dirinya sendiri.
***
“Nad, sepertinya aku tidak bisa ikut ke Aussie.”
Nadine terbangun dari tempat
tidurnya seketika membaca pesan dari rekan kerjanya Diandra. Tak lama ia
langsung menelepon sahabatnya itu.
“Halo, Di! Kenapa? Coba jelaskan
alasanmu, kenapa?!”
“Hanya tidak bisa saja Nad.. Clientku
di Jepang sedang mendapat masalah besar menyangkut sekolahnya.”
“Lalu dengan siapa aku pergi?”
“Hmm kau sendirian saja kan bisa, lagi
pula disana kan ada kantor jadi kau tidak usah merasa sendirian. Yang bekerja
disana kan banyak orang Indonesia juga.”
“Tapi..”
“Dan lagi pula, hanya kau yang
disuruh, kau yang sekarang memegang project untuk di Australia, jadi aku tidak
perlu ikut hmm..”
“Hmm kau benar. Tapi bayangkan saja,
berbulan-bulan Diandra.. astaga kau bisa rasakan bagaimana jadi aku. Dan bisa
saja aku akan menetap disana selamanya!”
“Hahaha santai saja Nadine Nathania,
asal kau tahu, negara itu aman. Hmm kau bahkan akan menemukan jodohmu jika kau
beruntung.”
Setelah
mendengar kalimat terakhir Diandra, Nadine memutuskan untuk menutup panggilan
tersebut dan kembali berbaring di kasurnya. Bagaimana mungkin Diandra mengajak bercanda
di saat-saat seperti ini.
Hari ini adalah hari terakhir ia
menghabiskan waktunya di rumahnya. Malam nanti ia harus kembali ke Jakarta dan
besok harus menjalani rutinitasnya kembali.
Libur
singkat ini ia habiskan untuk memikirkan perintah atasannya untuk terbang ke
Australia. Tujuannya adalah mengurus client yang telah berkuliah disana, dan
terlebih lagi ada pameran pendidikan yang akan diadakan kedutaan besar
Indonesia. Pusat perusahannya memang baru pindah ke Australia baru-baru ini,
setelah bertahun-tahun berlokasi di Singapura. Alasannya adalah marketnya lebih
menjanjikan dan suasana yang lebih nyaman. Di kantor pusat tersebut terdapat
beberapa pegawai perwakilan dari setiap negara yang menjadi pegawai utama di
perusahaan ini. Ya, kantor pusat merupakan kantornya para project manager. Kali
ini, project manager Indonesia menunjuk Nadine untuk membantunya mengurus client-client[1] yang
bersekolah di Australia, selain juga membantu pekerjaan yang lain. Sebelumnya,
memang bukan Nadine yang memegang urusan dengan Australia, namun karena rekan
kerjanya yang sebelumnya bertanggung jawab urusan ini memilih resign dengan
alasan akan pindah ke Malaysia mengikuti suaminya.
Bagi
Nadine, mengurus client yang bersekolah di Australia merupakan hal baru karena
sejak awal masuk perusahaan ini ia hanya bertanggung jawab untuk urusan study
ke Jerman, berdua dengan Diandra. Namun, persoalan client yang Australia
akhir-akhir ini sedang hectic, ditambah pegawai yang resign, sehingga Nadine
ditarik untuk mengurusi hal ini. Sebenarnya, tidak ada alasan bagi gadis itu
untuk menolak perintah atasannya tersebut.
“Ibu, Ayah,
aku akan ke Australia selama beberapa bulan. Tidak tahu pastinya, namun aku
akan mengajukan working holiday visa1.”
Ujar Nadine dengan wajah sedikit ragu. Sore itu, mereka sedang berkumpul di
ruangan tengah sambil menyalakan televisi.
Ayahnya yang
baru saja hendak mengganti channel menengok dan sontak bertanya, “Kapan? Kenapa
tidak membicarakannya dari kemarin-kemarin?”
Sambil
mengganti posisi duduknya gadis itu menjawab, “Nadine hanya masih ragu, tapi
sekarang sepertinya tidak ada pilihan lain. Ini perintah dari atasan.” Nadine
memasang raut wajah bersalah. Bagaimana tidak, untuk memutuskan hal semacam ini
dalam waktu singkat bukanlah hal mudah, terlebih lagi ia harus mengantongi izin
dari keluarganya.
“Apakah
akan lama sekali, nak?” Tanya ibunya yang sedari tadi menatap Nadine.
Nadine
menjelaskan panjang lebar mengenai alasannya harus meninggalkan Indonesia
selama beberapa bulan lamanya. Sampai pada akhirnya orang tuanya mengerti dan
mengizinkannya. Saat itu pula, Nadine menelepon kakaknya—Radit—yang sedang
berada di Surabaya dengan alasan pekerjaan untuk meminta izin.
“Jadi kapan
kau akan berangkat?” Papa Nadine bertanya memastikan bahwa anaknya masih
memiliki waktu yang lama untuk berada di Indonesia.
“Besok
Nadine akan langsung mengurus visanya, secepatnya saja, karena memang sedang urgent
sekali,” ujar Nadine mencoba menjelaskan. “Nadine janji, sesampainya disana
Nadine akan menjaga diri. Disana banyak sekali orang Indonesia jadi ayah dan ibu
tidak perlu khawatir,” lanjutnya.
Percakapan
malam itu ditutup dengan Nadine yang bergegas ke kamarnya untuk membereskan
barang-barang, karena sekitar dua jam lagi ia harus kembali ke Jakarta.
Jam telah menunjukkan pukul 07.00
malam. Nadine yang telah selesai memasukkan barang-barangnya ke mobil langsung
bergegas memeluk erat ibu dan ayahnya untuk berpamitan.
“Kabari Ibu dan Ayah jika visanya
keluar dan sudah dapat tiket penerbangan, nanti kami akan mengantarmu ke
bandara,” pesan ibunya sambil memegangi wajah Nadine.
Kala itu Nadine hanya mengangguk dan
tersenyum. Wajahnya masih menunjukkan keraguan yang teramat sangat untuk
meninggalkan Indonesia selama berbulan-bulan bahkan mungkin saja setahun.
“Nadine berangkat dulu Bu, Yah..”
tutup Nadine lalu masuk ke mobilnya.
***
Kebisingan
kota Jakarta kini telah terdengar kembali. Suara klakson yang saling menimpali
membuat telinga seakan ingin ditutup saja dengan kapas. Langit kota yang tidak
lagi biru, serta awan yang coklat, membuat mata sulit untuk melihat keindahan
alam di tempat ini.
Pagi ini
Nadine pergi ke kantornya yang berada di Jakarta Selatan dengan terburu-buru. Gadis
itu telat sekitar 30 menit dari jam biasanya ia berangkat ke kantor. Dia sudah
memperkirakan bahwa ia akan telat, terlebih lagi ia harus menyiapkan
dokumen-dokumen untuk mengurus visa ke Australia. Hari ini sepertinya akan
menjadi hari yang sangat sibuk bagi Nadine.
“Astaga,
gara-gara mimpi bertemu Dan Stevens jadi telat begini,” gerutu Nadine sambil
menunggu kendaraan di depannya maju. Ya, Nadine terjebak macet seperti
biasanya. Sesekali ia membunyikan klakson mobilnya karena merasa kesal apabila
ada angkutan kota yang secara tiba-tiba berhenti atau bahkan menyalip dengan
brutal. Sepertinya mood gadis itu akan semakin memburuk.
Benar saja,
sesampainya di kantor Nadine memasang wajah masam. Gadis itu berjalan dengan
tergesa-gesa menggunakan heels tingginya menuju ke arah lift. Pintu lift
terbuka ketika Nadine baru saja sampai di depannya. Tanpa memperhatikan
orang-orang yang keluar dari lift tersebut, ia buru-buru masuk dengan
berdesak-desakan.
Pukul
08.45.
“Wow telat
45 menit!!!” sambut Diandra saat melihat Nadine memasuki ruangan kantornya dan
bergegas duduk di meja kerjanya. Nadine masih memasang wajah masam seraya
mendelikkan matanya pada temannya itu.
“Kau jadi
mengurus visa hari ini?” tanya Diandra mengalihkan pembicaraan. Nadine menarik
napas panjang lalu menjawab, “Totally!”
Diandra
tersenyum kecil dan mengepalkan tangan seraya mengangkatnya sebagai tanda
memberikan semangat pada gadis berwajah masam itu. Nadine lagi-lagi hanya
mendelikkan matanya.
Saat itu,
Nadine membereskan berkas-berkas untuk keperluan pengajuan visanya. Ini
merupakan kali pertama ia mengurus visa Australia, biasanya ia hanya mengurus
visa ke Eropa baik untuk clientnya ataupun dirinya sendiri. Saat menyiapkan
persyaratan visanya, Nadine memang sambil menelepon atasannya yang berada di
Australia untuk memastikan bahwa berkas Nadine tidak ada yang kurang.
Tak terasa
hari telah siang dan sepertinya Nadine tidak jadi apply visa hari itu juga.
Karena ia harus mengejar jam kerja kedutaan yang sudah dipastikan akan tutup
ketika Nadine sampai disana. Jadi, ia memutuskan untuk ke kedutaan keesokan
harinya. Lalu sisa jam kerjanya ia gunakan untuk mengurus pekerjaan lainnya. Lebih
tepatnya memberitahukan seluruh client yang dipegangnya di Jerman untuk tidak
menghubunginya jika terjadi apa-apa, dan cukup perlu menghubungi Diandra.
“Kau tidak
akan makan?” tanya Diandra sembari merangkul Nadine. Nadine yang masih duduk
sembari melihat ke monitor komputernya mendongak lalu tak lama kemudian ia
mengangguk dengan tangan memegangi perut. Ia baru tersadar bahwa sedari pagi ia
belum makan apapun. Diandra pun tertawa lalu menarik tangan Nadine segera.
Ketika
Nadine masuk ke perusahaan ini, ia memang langsung dekat dengan Diandra karena
mereka merupakan satu angkatan. Diandra merupakan penduduk Jakarta asli, namun
siapa yang menyangka ia adalah belasteran Austria-Betawi. Ya, ayahnya adalah
seorang bule Austria. Tak heran wajah Diandra begitu cantik. Hidung mancung dan
warna bola mata coklat muda sepertinya menurun dari ayahnya. Namun potongan
rambut yang sangat pendek menjadikan dirinya terlihat tomboy. Hmm.. Gadis itu
memang memiliki selera yang sangat berbeda dengan Nadine.
“Diandra,
kau tidak akan bertemu denganku dalam waktu yang cukup lama. Just imagine it.
You’ll gonna miss me,” ujar Nadine memecah keheningan sesampainya di food court
yang berada di mall seberang kantor mereka.
Diandra
tertawa seraya berkata, “Don’t worry. I won’t miss you darling. I will busier
than ever, you know.”
Nadine menyeringai kesal.
Tak lama kemudian, terdengar suara
bising seperti teriakan para wanita dari luar food court. Nadine dan Diandra
menoleh penasaran dengan apa yang terjadi di luar sana. Terlihat orang-orang
yang mayoritas masih ABG berlari seperti mengejar sesuatu.
Pelayan food court yang sedang
mengantarkan makanan di samping meja pun menjadi sasaran ke-kepo-an dua gadis
itu. “Mas, ada apa ribut-ribut di luar sana?” tanya Diandra. Pelayan itu menjawab,
“Oh, itu ada artis sedang launching film barunya, mbak.” Setelah mendengar hal
tersebut, rasa penasaran Nadine dan Diandra pun terpecahkan lantas hanya
mengangguk dan kembali membicarakan pekerjaannya.
***
Satu bulan kemudian...
Nadine memandangi layar komputer
sembari memangku dagunya. Sudah sekitar satu jam ini ia membaca suatu tulisan
yang membuat hatinya tak karuan.
“Granted?”
Nadine
seakan tersadar dari lamunannya dan menoleh memastikan siapa yang bertanya.
“Di..” gumam Nadine seraya menganggukan kepalanya.
Setelah hampir
satu bulan submit visa, Nadine mendapat informasi via email dari imigrasi
Australia bahwa visanya granted.
Gadis itu terlihat tidak begitu senang, karena jadwal keberangkatannya ke
Australia hanya tinggal menghitung hari. Hal itulah yang membuat Nadine hanya
terdiam diatas meja kerjanya sembari memandangi tulisan berbahasa inggris
tersebut.
“Really?!
Wow congratulation darling! Aku sudah yakin pasti visamu akan disetujui dan
sangat-sangat tidak mungkin ditolak,” ujar Diandra antusias.
Tak lama
kemudian ponsel Nadine berdering tanda telepon masuk. Bu Tirta. Melihat nama
itu yang muncul di layar ponselnya, Nadine lalu menarik napas panjang dan
menghebuskannya bersama-sama dengan mengangkat telepon tersebut.
“Bagaimana
sudah ada kabar dengan visanya?” Terdengar suara dari balik telepon. Nadine
mengiyakan. Astaga bahkan Bu Tirta seperti sudah memprediksi bahwa visa Nadine
akan turun di hari ini.
“Ok, cepat
pesan tiket pesawat ya. Business class saja supaya cepat dapatnya. Saya harap
minggu depan kau sudah ada disini, dear.”
Mendengar atasannya berkata seperti itu, Nadine menggigit bibirnya. Kerutan di
dahinyanya sudah jelas terpampang bahkan sejak Nadine mengangkat telepon
tersebut.
“Baik bu,”
jawab Nadine dengan nada yang sangat berat.
Diandra
yang sedari tadi menguping pembicaraan antara Nadine dengan bu Tirta terlihat
cekikikan sambil menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu. Lagi-lagi ia mengepalkan
tangan dan mengangkatnya tinggi sebagai tanda menyemangati. Nadine kembali
menghela napas panjang. Dugaannya benar, bahwa hanya tinggal menghitung hari ia
akan berangkat ke Australia.
***
“Bu, aku
akan berangkat ke Aussie selasa depan. Sudah dapat tiketnya,”
“Astaga, tiba-tiba
sudah dapat tiket saja,”
“Entahlah, semuanya dilancarkan,”
Nadine menjawab pertanyaan ibunya—yang sebenarnya ia pun kebingungan harus
menjawab apa—lalu melanjutkan, “Semuanya dibayar oleh kantor, jadi Nadine tidak
bisa menunda-nunda lagi. Apalagi visanya sudah turun kemarin.”
“Hati-hati
ya, Nak. Nanti ibu dengan ayah akan mengantarmu ke bandara.” Terdengar suara
dengan ekspresi kesedihan terdengar dari balik telepon.
Nadine pun mengangguk—meskipun ibunya tidak akan melihat hal
itu—lantas mengucapkan selamat malam dan menutup telepon.
Malam
minggu ini merupakan malam minggu terakhir yang ia habiskan di Indonesia dan
akan bertemu kembali beberapa bulan ke depan. Nadine hanya berbaring di tempat
tidur sambil menatap langit-langit apartemennya yang penuh dengan hiasan
bintang-bintang yang menyala. Ya, Nadine telah mematikan lampu kamarnya. Itu
merupakan kebiasaan yang selalu ia lakukan, yakni mematikan lampu sekitar pukul
setengah delapan malam dengan catatan ia tidak memiliki kegiatan untuk
dilakukan lagi.
Nadine
telah menyiapkan koper dengan segala keperluannya sejak siang tadi. Memang
masih dua hari lagi menuju keberangkatannya, namun ia berpikir untuk lebih awal
menyiapkan semuanya agar tidak ada yang tertinggal. Termasuk bambu hoki
hidrogel yang menjadi barang wajib dibawa oleh Nadine. Tumbuhan jenis bambu
yang ditanam di dalam tabung kaca kecil dengan ukuran 10cm dan diisi dengan
hidrogel berwarna hitam itu merupakan barang favorit Nadine pemberian
sahabatnya yang berada di Jepang, dan selalu dibawa kemanapun saat ia akan
pergi dalam jangka waktu lama. Apalagi ia akan pergi dalam konteks “a long
business trip”, jadi ia berencana akan menaruhnya di meja kerjanya nanti di
Australia. Bukan tanpa alasan, Nadine hanya ingin memastikan bambu itu tumbuh
dengan sempurna dan hidrogelnya tidak menciut sehingga membuat bambunya mati.
“Beberapa
bulan di Australia...” kata Nadine sambil melihat ke arah langit-langit
kamarnya, namun tiba-tiba saja ia teringat dengan perkataan sahabatnya di
telepon, “Kau akan bertemu degan jodohmu
jika kau beruntung.” Gadis itu buru-buru menggelengkan kepalanya dengan
maksud menghilangkan ingatan kalimat itu, serta memilih untuk tidak melanjutkan
perkataannya. Oh dear...
Nadine lalu menarik selimutnya dan
memejamkan matanya tanda ia akan tidur. Sudah beberapa tahun ini ia
menghabiskan malam minggunya dengan tidur cepat. Sesekali ia pergi hangout
bersama Diandra, namun terbilang sangat jarang—bahkan tidak pernah—ia habiskan
malam minggunya bersama seorang laki-laki. Independent woman, ya kata-kata itu
yang membuatnya sulit sekali dekat dengan lelaki. Nadine akan sangat mudah
menolak ajakan laki-laki manapun yang mengajaknya jalan-jalan atau bahkan
sekadar makan malam. Begitulah, gadis ini sepertinya akan menjadi perawan tua.
***
The day.
Hari yang
ditunggu pun tiba. Nadine bersama ibu, ayah, dan Diandra sampai di bandara
internasional Soekarno-Hatta. Kakaknya tidak bisa ikut mengantar karena bentrok
dengan kerjaanya yang sangat padat. Sehingga ia hanya berpamitan lewat telepon.
“Be
careful. Let me know if you get some problems in there,” kata Diandra dan
disambut pelukan hangat oleh Nadine.
Nadine pun
memeluk ibu dan ayahnya seraya berpamitan. Nadine memang tidak meneteskan air
matanya, namun ia sangat merasakan kesedihan yang mendalam karena harus
meninggalkan orang tuanya dalam jangka waktu yang sangat lama. Ini kali pertama
karena Nadine tidak pernah lama-lama berjauhan dengan orang tuanya.
“Pokoknya
kau harus sering menghubungi Ibu dan Ayah, Nak,” ujar ibu Nadine dengan suara
yang agak tercekat. Ibunya lalu tidak kuasa menahan tangis sambil memeluk kembali
anak bungsunya itu. Nadine mengangguk mantap sambil berkata, “Tenang saja..
Nadine pasti akan sering menghubungi Ayah, Ibu, dan kak Radit.”
Setelah berpamitan, Nadine pun bergegas
memasuki baggage checking. Dia pun
berjalan meninggalkan orang tua dan sahabatnya sambil sesekali membalikkan
badan dan melambaikan tangannya. Hari ini merupakan hari yang cukup berat bagi
Nadine dan orang-orang terdekatnya. Well, beberapa bulan bukanlah waktu yang
singkat. Apalagi jika atasannya tidak ingin Nadine kembali ke Indonesia setelah
beberapa bulan itu.
Setelah
melakukan rangkaian checking bandara,
Nadine berjalan menuju lounge untuk
business class. Seketika, terdengar suara ponsel Nadine berdering. Gadis itu
buru-buru mencari ponselnya, dan baru saja ia akan mengangkat telepon tersebut
tiba-tiba saja ada seseorang yang menabraknya sehingga menjadikan ponselnya
jatuh. Nadine berteriak sangat kencang sehingga menjadikan orang-orang yang
berada di bandara memperhatikannya.
Nadine
segera mengambil ponselnya dan memastikan bahwa barang mewah itu masih dalam
kondisi baik-baik saja. Dari jarak
sekitar dua meter dari gadis itu, terlihat lelaki bertopi dan berkacamata hitam
memandangi Nadine yang sedang jatuh terduduk sambil mengusap-usap layar ponselnya.
Tak lama kemudian, Nadine tersadar bahwa ia harus menemukan orang yang
menabraknya. Dalam satu tengokan cepat, Nadine langsung mendapati orang
tersebut. Ya, lelaki bertopi itulah pelakunya.
Nadine
buru-buru terbangun dari duduknya dan menghapiri lelaki itu seraya berkata, “Hey,
kau tahu jika jalan ini luas, kenapa masih sempat-sempatnya menabrakku?” Omelan
Nadine meluap tak terelakkan menarik perhatian orang-orang di sekitar mereka.
“Ma-maaf,”
sahut lelaki itu. Nafasnya terdengar masih terengah-engah.
Mendengar
hanya satu kata yang keluar dari mulut lelaki itu, emosi Nadine semakin
meningkat, lantas memarahi lelaki itu. Yang benar saja, pria itu baru saja akan
merusak ponsel Nadine, yang jika benar rusak maka tamat sudah nasib gadis itu
sesampainya di Australia. Tak tahu harus menghubungi atasannya dengan cara apa.
Tak lama kemudian
terdengar suara teriakan wanita yang semakin mendekat. Lelaki itu pun menoleh
ke arah datangnya suara itu dengan sangat sigap. Nadine yang sedang ngomel pun seketika
berhenti karena lelaki dihadapannya malah memperhatikan objek yang lain. Baru
saja gadis itu akan melihat ke arah dimana lelaki itu melihat, dalam satu
gerakan cepat lelaki itu langsung memeluk Nadine erat. Terlihat lelaki itu
melambaikan tangan ke arah wanita—sepertinya ada sekitar empat sampai lima
orang—yang memanggil-manggil namanya sejak tadi sambil tersenyum.
Nadine yang merasa
kaget dengan itu lantas buru-buru melepaskan pelukan lelaki itu dan berteriak
kencang, “Are you crazy?!”
Lagi-lagi tidak ada
tanggapan dari lelaki itu, dan ia malah menarik tangan Nadine dengan buru-buru.
Mata gadis itu terbelalak dan dalam satu gerakan tangan ia cepat mengambil
kopernya yang berada tidak jauh darinya.
Setelah berada jauh
dari tempat sebelumnya, akhirnya lelaki itu pun melepaskan genggamannya. Mereka
berdua berhenti dan saling memandang. Tak lama kemudian lelaki bertopi itu
membuka kacamata hitamnya. Nadine yang sudah tidak mampu menahan amarahnya
lantas menarik napas panjang sambil menatap sinis lelaki itu.
“How could you?!”
teriak Nadine.
Lelaki itu hanya
diam membisu, lantas menyodorkan bahunya. Nadine pun kebingungan dengan apa
yang dilakukan lelaki itu. Gadis itu lalu mengangkat alisnya sebelah pertanda
ia tidak mengerti.
“Pukul saja,” gumam
lelaki berkulit putih itu. Tampak keringat mengucur dari kening lantas mengenai
pipinya. Nafasnya masih terengah-engah bak maling yang telah dikejar-kejar
polisi.
Mendengar
pernyataan lelaki itu, Nadine lalu membelalakan matanya. Ia tidak mampu berkata
apa-apa lagi, terlebih ia harus buru-buru karena sebentar lagi pesawat yang
akan ia tumpangi take off. Akhirnya
gadis itu memilih pergi meninggalkan lelaki itu sambil mendengus kencang dan
memberikan wajah yang super masam.
Terlihat lelaki
dengan tinggi sekitar 175cm itu menatap ke arah Nadine yang telah berjalan
meninggalkannya. Ia menghela nafas panjang seakan ingin mengatur nafasnya
kembali. “Astaga, mereka benar-benar jeli melihatku dimana saja,” ujar lelaki
itu sambil berkacak pinggang.
***
Tak
lama waktu berselang, Nadine pun akhirnya sudah menduduki kursinya dan
mengeluarkan ponsel lalu menghidupkannya. Untungnya ponsel mewah itu masih
berjalan dengan baik, layarnya pun tidak retak, dan lcd-nya baik-baik saja.
Nadine masih diberi keberuntungan kala itu. Gadis itu pun buru-buru mengecek
panggilan masuk terakhir yang belum sempat dijawabnya karena insiden beberapa
menit yang lalu. Ternyata bu Tirta. Nadine tidak menelepon balik dan memilih
untuk mengiriminya pesan singkat, memberi kabar bahwa ia sudah akan take off.
Baru
saja Nadine mengubah pengaturan ponselnya menjadi air plane mode, tiba-tiba saja ada seseorang yang baru datang dan
menyimpan barang bawaannya di bagasi atas. Nadine pun menoleh dan seketika
jantungnya merasa mau copot. Matanya terbuka lebar dan nafasnya tercekat.
Hampir saja ia akan berteriak, namun untungnya ia terburu sadar bahwa ia hanya
melihat lelaki tadi. Ya, lelaki itu lagi.
Nadine
langsung memalingkan wajahnya ke kaca seakan sebelumnya tidak pernah bertemu
dengan orang tersebut. Terlihat lelaki itu tersenyum kecil sambil membuka
topinya.
“Jadi,
kau akan ke Sydney juga?” Tanya laki-laki itu setelah ia mendapatkan kursinya
yang tepat bersebelahan dengan Nadine. Astaga, ternyata mereka berada pada seat yang berdampingan.
Nadine
menoleh sedikit memastikan bahwa orang tersebut benar-benar bertanya atau
tidak, lantas menganggukan kepalanya. Dalam pikirannya, ia merasa sangat-sangat
tidak beruntung pada hari itu. Apalagi perjalanannya ini adalah suatu
perjalanan yang terpaksa. Baru saja akan berangkat sudah mendapat masalah,
bagaimana setelah sampai di Australia?
“Handphone?”
Nadine
menoleh lagi, laki-laki itu melanjutkan pertanyaannya yang membuat gadis
tersebut merasa risih. Ia lalu menarik napas panjang sambil berkata, “Tidak apa-apa,
masih bisa dipakai.”
Lelaki
itu mengangguk pelan. Tak lama kemudian ia menjulurkan tangannya seraya
menyebutkan namanya, “Nichol.”
Seakan
tak peduli dengan ajakan untuk berkenalan itu, Nadine hanya menjawab OK dan
kembali menatap arah kaca pesawat. Baginya, berkenalan dengan seseorang yang
telah membuat moodnya kacau adalah suatu hal yang tidak akan ia lakukan. Oleh
karena itu ia enggan memberitahu namanya pada laki-laki itu. Lagi pula, Nadine
sudah tahu nama lelaki itu saat kejadian tadi, perempuan-perempuan yang
mengejar lelaki itu memanggil namanya—Nichol— dengan sangat semangat.
Nichol
tersenyum sambil menarik kembali tangannya lalu mencoba mengambil ponsel untuk
mengganti mode menjadi air plane. Sebelum ia mengubah settingan ponselnya itu,
terdengar nada pesan masuk. Dia pun terlihat membukanya lantas buru-buru
kembali ke menu awal lalu mengganti mode setting.
Nadine
yang sedari tadi tidak memperdulikan keberadaan lelaki itu pun, kini mencoba
membuka percakapan untuk mencairkan suasana. Bayangkan, selama tujuh jam
kedepan dia akan berdampingan dengan Nichol dan diam seribu bahasa? Tidak
mungkin. Pada akhirnya gadis itu memang mengambil tindakan yang benar.
“Ehm,
sekarang kau bisa jelaskan kejadian tadi padaku.” Kata Nadine sambil tetap
melihat ke arah luar pesawat.
Nichol
kelihatan kaget sekali karena akhirnya gadis berkacamata itu membuka obrolan
dengannya. “Penggemarku,” jawabnya singkat.
“A-apa?!”
Nadine reflek menanggapi sambil menoleh namun sebelum akhirnya melanjutkan
kalimatnya, ia langsung menghembuskan napas karena merasa geli dengan apa yang
baru dikatakan lelaki itu.
“Ok,
so... Are you an actor or something kinda them?” Tanya Nadine sebagai upaya
untuk meneruskan obrolannya.
Nichol
menatap Nadine dengan wajah yang terheran-heran. Nadine pun balik menatap lelaki
itu, lantas berkata, “Apa?!”
Nichol
hanya menggelengkan kepalanya seakan enggan melanjutkan obrolan dengan gadis
itu. Dalam hatinya ia menggerutu, “How could this idiot girl doesn’t even know
me, oh my god!”
***
Sepertinya
niatan Nadine yang tadinya ingin bisa mengobrol banyak dengan Nichol tidak
tercapai. Karena pada akhrinya selama perjalanan mereka hanya diam membisu.
Dengan headphone yang terpasang ditelinganya, Nichol tertidur bahkan dari menit
pertama pesawat take off. Nadine yang merasa bosan karena lupa membawa
headphone atau hal lain semacam itu pun akhirnya mengeluarkan bambu hoki
hidrogel miliknya. Ia memandangi barang kesukaannya itu lantas memotretnya
dengan ponsel dengan background kaca pesawat yang saat itu terlihat lautan biru
dibawahnya.
Di
saat yang sama, Nichol tak sengaja terbangun karena terkena senggolan tangan
Nadine saat mengambil bambu hoki hidrogel dari tas tangannya. Namun sepertinya
gadis itu tidak sadar telah membangunkan Nichol. Lalu, dengan mata yang masih
membuka sedikit demi sedikit, laki-laki itu memperhatikan Nadine yang sedang
memotret barang berwarna hitam itu. Namun ketika Nadine mencoba selfie bersama
bambu hokinya, ia mendapati lelaki disampingnya itu sedang memperhatikannya
sehingga membuatnya dengan sergap menurunkan ponselnya.
Nichol
pun tertawa kecil lalu berkata, “Santai saja.”
Nadine
yang merasa kesal saat itu lantas mendengus kencang tanpa menanggapi kata-kata
Nichol. Tak lama, tampak pipi gadis itu memerah. Sedari kecil memang pipi
Nadine sangat mudah memerah bak tomat matang. Bukan karena sedang merasa malu
saja, namun ketika ia kepanasan dan juga kelelahan, pipinya akan berubah
menjadi merah merona.
Tujuh
jam berlalu.
Tak
terasa sebentar lagi pesawat akan landing.
Pramugari pun memberikan isyarat melalui pengeras suara bahwa penumpang harus
segera bersiap-siap. Nadine dan Nichol pun terbangun dari tidurnya setelah
mendengar suara tersebut lantas bergegas untuk membereskan barang-barangnya.
Setelah
keluar dari pesawat dan menuju tempat pemeriksaan passport dan visa, Nichol
melihat Nadine berjalan dengan terburu-buru. Saat itu Nichol ingin mencoba
memanggil kembali gadis itu namun tidak jadi. “Ah gadis itu dipanggil pun pasti
tidak akan menengok,” ujar Nichol lebih kepada dirinya sendiri.
***
“Welcome to
Aussie!!!” sambut Bu Tirta dengan sangat gembira saat melihat Nadine keluar
dari bandara, lantas memberi pelukan hangat.
Bu Tirta telah
menunggu sekitar satu jam. Ia memang sengaja menjemput Nadine dan hendak
mengantar gadis itu ke apartement yang telah ia sewakan.
“How was your
flight?” Tanya Bu Tirta sesaat setelah Nadine masuk ke dalam mobilnya dan
memasang safety belt.
“Menyenangkan,”
sahut Nadine dengan tersenyum sambil menyembunyikan rasa kesalnya jika ingat
hal yang terjadi sebelum take off.
“Aku lupa
mengingatkanmu bahwa musim gugur akan segera berakhir, kau mestinya membawa
jaket tebal dan pakaian musim dingin lainnya.” Ujar bu Tirta dengan sedikit
menyesal.
Nadine tersenyum,
saat itu ia memang tidak mengenakan pakaian yang cukup tebal, namun ternyata ia
telah mempersiapkan pakaian musim dinginnya. “Tenang saja, aku telah
membawanya.”
Bu Tirta pun
menengok, lantas tersenyum lebar. Dia memang tidak salah memiliki staff cerdas
seperti Nadine.
Nadine memperhatikan
ke arah luar kaca mobil. Terlihat bangunan-bangunan kokoh nan tinggi menjulang
bernuansa klasik khas Australia. Gadis itu menikmati keindahan kota Sydney dan
sesekali berdecak kagum. Terlihat orang-orang berjalan di trotoar kota, tak
terlalu banyak, namun wajahnya bukan seperti penduduk asli negara ini.
Orang-orang itu sepertinya orang Eropa, pikir Nadine.
Tibalah mobil
mereka di lampu merah. Sepanjang perjalanan, Bu Tirta menceritakan banyak hal tentang
Australia. Sebenarnya Bu Tirta pernah mengenyam pendidikan di negeri ini, jadi
sedikit banyaknya ia mengetahui budaya dan kebiasaan disini. Tidak terlalu
berbeda dengan orang bule kebanyakan dan negara-negara maju lainnya.
Sesekali Nadine
tertawa saat mendengar lelucon dari Bu Tirta yang menceritakan pengalamannya
saat pertama kali menginjakan kakiknya di Australia. Juga pengalaman wanita
separuh baya itu saat menjalin cinta dengan penduduk asli disini. “Ternyata
pribumi lebih asyik meski hitam-hitam,” terang wanita itu lalu disambut tawa
oleh keduanya.
Nadine merasakan
kesan pertama yang membuatnya nyaman berada di negeri kanguru ini. Candaan
atasannya itu mampu membuatnya tertawa setelah seharian moodnya berantakan.
Tidak usah ditanya, Nichol lah pelakunya.
Tawa Nadine
terhenti ketika melihat sesosok pria melintasi zebra cross di depan mobilnya.
Matanya tidak lepas memperhatikan orang tersebut. Hingga lampu hijau menyala,
Nadine masih tetap menengok ke arah dimana lelaki itu berbelok, namun ia telah
kehilangan jejak. Karena dia tidak
mendapati lagi wajah itu.
“Ada apa, Nad?”
Tanya Bu Tirta ketika melihat Nanad yang memutar badannya kembali setelah
menengok sekitar 90 derajat ke belakang.
Nadine menengok ke
arah lawan bicaranya lalu menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. Kala itu,
Nadine melihat wajah yang sejak lama ia idam-idamkan. Potongan rambut yang
rapi, tebal, dan sedikit bergelombang, hidung yang tampak mancung dari samping,
serta kulit yang tidak terlalu putih. Tinggi badannya sekitar 72 inci, eits,
jangan tanyakan berat badan, karena lelaki itu sangat-sangatlah ideal. Nadine
memang tidak terlalu menyukai lelaki berbadan gempal. Dan satu lagi, sepertinya
lelaki itu bukanlah bule.
Nadine terbangun
dari khayalannya tentang laki-laki yang baru saja dilihatnya di lampu merah
saat mendengar suara klakson dari jarak yang tidak jauh dari tempatnya berada.
Lantas tersadar ternyata Bu Tirta sudah ada di luar mobil. Gadis itu sontak
buru-buru keluar dan mengambil kopernya di bagasi.
“Maaf bu..” ujar
Nadine.
“Jangan banyak
melamun. Ayo sekarang kita ke unit apartementmu,” kata Bu Tirta sambil menghela
nafas panjang.
Nadine yang merasa
tidak enak lalu hanya menganggukkan kepalanya dan mengikuti atasannya itu.
Sampailah mereka di
unit apartement yang selama beberapa bulan ini akan ditempati oleh Nadine. Di
Australia, memang kebanyakan orang menyewa apartement untuk tempat tinggal.
Baik yang sudah berkeluarga maupun belum. Baik pemegang visa student, tourist,
maupun permanent resident. Bahkan citizen disini pun banyak yang tinggal di
apartement ketimbang memiliki rumah. Karena, memiliki rumah di negara maju ini
sepertinya harus punya banyak uang. Meskipun bayaran untuk pekerja disini
tergolong tinggi, namun tetap saja akan membutuhkan sekitar 5 tahun untuk
mengumpulkan uang demi membeli rumah.
“Nadine, besok
langsung kerja saja ya. Kantornya ada di Castlereagh Street. Lengkapnya nanti
saya kirim melalui whatsapp,” kata Bu Tirta lalu melanjutkan, “Oiya ini opalmu,
jadi nanti kau bisa naik bus ke kantornya, honestly ke setiap tempat hehehe.”
Bu Tirta memberikan
semacam kartu yang selanjutnya bisa digunakan ketika Nadine menggunakan bus.
Tidak seperti naik bus yang membayar ongkosnya ke abang kenek—seperti di
Indonesia, namun kartu ini merupakan uang elektronik yang digunakan untuk
membayar bus tersebut.
“Tahu kan cara
memakainya?” Tanya Bu Tirta memastikan sambil tertawa mengejek.
“Of course,” jawab
Nadine diselingi tawa. Bahkan jika ia tidak tahu pun ia akan bertanya pada
tetangga apartementnya.
Bu Tirta pun
berpamitan dengan Nadine untuk kembali lagi ke kantor karena ada urusan yang
mendesak. Di sisi lain, wanita itu ingin memberikan waktu beristirahat setelah
sepertinya Nadine masih jetlag.
Selepas Bu Tirta
pergi, Nadine pun buru-buru memberi kabar orang tuanya dan Diandra bahwa ia
telah berada di apartement, lalu dengan satu gerakan cepat ia merebahkan
tubuhnya di kasur. Dengan kaus kaki yang masih menyelimuti kaki, Nadine
memutuskan untuk langsung tidur. Sepertinya ia sangat lelah akibat perjalanan
jauh ini.
***
No comments:
Post a Comment
Silahkan komentar guna menambah inspirasi saya